Oleh: Wilibaldus Kuntam
Tenaga Ahli Komisi III DPR RI
Pemilu legislatif telah usai. Para wakil rakyat pun sudah terpilih dari tingkat daerah hingga tingkat pusat. Meski begitu, berbagai tanggapan pelaksanaan pemilu legislatif muncul di mana-mana.
Ada yang menilai pemilu tahun 2024 ini merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah pemilu Indonesia.
Berbagai bentuk kecurangan dan pelanggaran yang terjadi berbagai daerah menjadi contoh tak terbantahkan. Ini satu bentuk tanggapan publik.
Tanggapan lain justru menilai pemilu tahun 2024 ini cukup demokratis. Tak adanya konflik dan kekerasan di berbagai daerah dianggap sebagai bukti pemilu yang demokratis.
Sebetulnya, menerima dan menolak hasil pemilu bukan persoalan baru, malahan sudah menjadi rutinitas setiap pesta demokrasi.
Lagi pula sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa peradaban demokrasi justru terbangun dari pertengkaran gagasan dan pilihan.
Mendambakan pemilu tanpa cacat tentu tidak masuk akal. Sebabnya sederhana. Demokrasi itu sendiri belumlah selesai.
Ada yang bilang bahwa demokrasi sedang berproses mencapai kesempurnaan, selagi mencari kesempurnaan itu pada dasarnya hanyalah angan yang tak kunjung tiba.
Bila demokrasi tak sempurna, apa tak perlu lagi demokrasi? Tentu tidak.
Menggantikan demokrasi adalah langkah gegabah tapi juga tak mengatakan apa-apa sebab demokrasi hanyalah metode atau cara memahami realitas.
Winston Churchill sudah mewanti-wanti kepada kita bahwa demokrasi tidak lebih dari satu bentuk pemerintahan yang buruk tetapi bentuk yang lain tidak lebih baik dari demokrasi.
Kalau dirunut, sebetulnya cacat demokrasi sudah ada sejak pembentukannya. Karenanya, filsuf seperti Plato menolaknya.
Begitu pula Socrates. Ia menilai demokrasi sangat potensial menghasilkan pemimpin yang dungu.
Pemimpin Dungu
Mungkin kata dungu terlampau vulgar tetapi lebih baik begitu tetapi menyentuh inti persoalan. Bila pemimpin dungu terkesan abstrak, di sini perlu diberikan contoh sederhana.
Pada musim pemilu legislatif tahun 2024 ini, partai A mengusung caleg di berbagai dapil.
Para caleg ingin memenangkan kontestasi dengan segala macam cara sekalipun melawan hukum dan etika.
Mereka yang diusung sangat lemah dari segi kompetensi intelektual dan integritas moral.
Padahal teorinya, wakil rakyat adalah kumpulan orang terdidik (educated) dan bermoral.
Mungkin contoh ini tak cukup. Bolehlah ambil contoh lain. Beberapa caleg dari partai B maju pada kontestasi pemilu di dapil tertentu.
Mereka tak mempunyai wawasan dan pengetahuan yang mendalam soal peran wakil rakyat.
Bila dianalogikan, mereka seperti orang-orang yang memasuki belantara rimba raya tanpa tahu kemana arah. Mereka hanya andalkan profesi pengusaha atau kontraktor.
Kekuasaan material (uang) menjadi kekuatan utama memenangkan pemilihan. Tak peduli apakah uang itu hasil rampokan. Yang penting uang tersebut dipakai untuk membeli suara rakyat.
Sebetulnya, caleg seperti ini adalah kelompok oligark lokal yang hidup karena keberuntungan politik.
Meminjam bahasa Jeffrey A.Winters, mereka adalah kelompok oligark lokal yang membajak demokrasi untuk kepentingan sesaat (Jeffrey A.Winters, 2014).
Para oligark lokal ini tidak peduli dengan derita ketidakadilan, pengangguran, kemiskinan masyarakat. Orang-orang seperti ini hanya menjadikan pileg seperti pasar politik transaksi jual beli suara.
Celakanya, caleg QQ yang mempunyai uang banyak justru mendapatkan dukungan yang banyak pula. Itu artinya merekalah pemenang. Ini tak salah sebab begitulah prinsip demokrasi.
Paling tidak fenomena seperti inilah yang disebut pemimpin dungu oleh Socrates.
Masalahnya adalah para wakil rakyat yang terpilih seperti dua contoh di atas tidak mempunyai kompetensi intelektual dan integritas moral sama sekali.
Persoalan semakin rumit karena rakyat yang memilih mereka justru menuntut perannya sebagai wakil.
Yang terjadi adalah lingkaran setan, wakil rakyatnya bodoh dan rakyat yang memilih pun bodoh.
Terjadilah yang tertulis dalam kitab suci “orang buta menuntun orang buta akan masuk ke jurang”.
Pemilu bisa menghasilkan wakil rakyat yang dungu tentu satu hal tapi pemilu juga sangat potensial menghasilkan wakil rakyat kompeten dan beritegritas tentu hal lain yang tak boleh dilupakan.
Dari segi kuantitas, mereka tergolong sedikit ketimbang yang tak bermutu. Bolehlah kita kategorikan mereka dalam kelompok minoritas yang bermutu.
Beberapa kali terpilih sebagai wakil rakyat karena kemampuan intelektual dan integritas moral yang baik. Sejarah pemilu memang tak luput dari semacam darwinisme sosial.
Yang cerdas, merakyat, dan tidak korup akan dipilih berulangkali, sebaliknya yang tidak merakyat, bodoh, dan terlibat skandal korupsi akan mendapat hukuman rakyat.
Pemilu legislatif menghasilkan wakil rakyat yang dungu dan bermutu tergantung praktik demokrasi dari aktor (agency) demokrasi itu sendiri.
Praktik yang dimaksud itu adalah tindakan memilih saat pemilu. Bolehlah tindakan memilih ini disebut sebagai momen genting.
Momen Genting
Dalam praktik demokrasi, memilih menjadi momen genting sebagai kunci demokrasi agar semakin terlembagakan (Herry B. Priyono, 2014).
Di sini, cukup disebutkan dua jenis pilihan saja yakni memilih sebagai tindakan politik (political act) dan memilih sebagai selera pribadi (market choice).
Pertama, memilih sebagai tindakan politik. Memilih sebagai tindakan politik lebih digerakkan oleh kepentingan umum. Soal ini mungkin bisa dipahami dengan contoh sederhana berikut.
Badu memilih caleg dari partai tertentu karena kemampuan intelektualnya yang bagus.
Selain itu, sang caleg bisa mendiagnosa masalah sosial kemasyarakatan yang pelik, menjadi penyambung aspirasi masyarakat dan memberikan solusi atas persoalan yang kompleks.
Secara moral juga baik, katakanlah tidak tersandung tindak pidana korupsi. Badu tak peduli dengan hubungan kekerabatan.
Pilihan politiknya menerobos batas Suku, Agama, Ras dan Golongan (SARA). Jenis memilih yang pertama ini kategori lumayan jarang di negeri yang masyarakatnya masih banyak belum terdidik dan miskin, bahkan miskin ekstrem terutama di NTT.
Kedua, memilih sebagai selera pribadi. Memilih jenis ini lebih didominasi kepentingan pribadi dan bersifat jangka pendek.
Pemilih yang masuk kategori ini lebih memilih karena faktor suka dan tidak suka.
Mereka begitu mudah dibeli suaranya dengan uang. Tak peduli apakah caleg yang dipilihnya bodoh atau cedas (www.cnnindonesia.com, 11/03/24).
Yang penting mereka mendapatkan uang di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit. Mereka menghamba pada uang dan menggadaikan harga dirinya demi rupiah.
Inilah tentu menjadi salah satu sebab pelembagaan demokrasi belakangan ini berjalan lamban. Pelembagaan demokrasi hanya mungkin jika pelaku demokrasi berubah. Itu kuncinya.
Bukan soal perubahan fisik gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi (MK) dan sebagainya. Sejauh masyarakat masih banyak yang belum beradab maka sejauh itu pula pelembagaan demokrasi hanya buih verbal.
Perubahan seperti apa? Jawaban tentu beragam. Habitus demokrasi bisa jadi salah satunya.
Habitus itu tidak terjadi sekali saja tetapi butuh waktu yang lama dan berulang. Demikian pula halnya dengan pelembagaan demokrasi.
Ia butuh waktu yang lama. Bukan kerja semalam suntuk. Inilah yang belum dimulai dalam praktek demokrasi tingkat lokal dan nasional.
Semakin kuat habitus dalam praktek demokrasi, sejauh itu pula kita dapat melewati jalan terjal demokrasi. Tidak lebih tidak kurang begitu.