Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang
Dasar konseptual dari demokrasi adalah bahwa kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Dalam segala aspek pembuatan kebijakan publik, kepentingan rakyat menjadi fokus utama.
Hukum dirumuskan dan diterapkan untuk melayani dan mengabdi kepada kepentingan rakyat. Seluruh struktur politik, ekonomi, dan hukum dirancang agar memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Demokrasi dalam praktiknya berlandaskan pada empat prinsip esensial. Prinsip-prinsip tersebut mencakup kebebasan individu untuk menentukan nasibnya sendiri, kesetaraan yang menjamin perlakuan yang adil bagi semua individu, representasi rakyat yang memadai, serta kepastian hukum yang menjamin keadilan untuk semua.
Keempat prinsip ini harus dipenuhi secara bersamaan untuk mewujudkan demokrasi yang sejati. Dengan menerapkan pendekatan ini, demokrasi dapat menjadi landasan yang mengarah pada keadilan dan kemakmuran bagi bangsa.
Sayangnya, demokrasi di Indonesia saat ini telah menyimpang dari jalurnya yang seharusnya. Demokrasi yang awalnya didukung oleh lembaga-lembaga yang mewakili dan melayani kepentingan rakyat, kini berubah menjadi sesuatu yang berbeda.
Sistem yang seharusnya memprioritaskan kesejahteraan rakyat kini beralih menjadi bentuk anarki, di mana pemerintahan tidak lagi terstruktur dengan baik.
Kekuasaan tidak lagi dipegang oleh rakyat yang sadar dan rasional, melainkan sering kali berada di tangan massa yang bertindak dengan cara yang tidak terkontrol dan irasional. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi telah kehilangan maknanya dan berada dalam keadaan kacau.
Presiden sebagai pemimpin yang dipilih melalui proses demokratis seringkali diabaikan dalam arahannya.
Hukum yang seharusnya menjadi landasan keadilan juga sering diabaikan oleh kelompok masyarakat yang bertindak destruktif dan anarkis.
Meskipun berbagai Undang-Undang telah disusun dan disahkan, implementasinya selalu menghadapi berbagai hambatan.
Indonesia terlihat sebagai komunitas politik yang beroperasi tanpa kepemimpinan yang tegas dan jelas.
Situasi ini mencerminkan krisis kepemimpinan di mana hukum dan perintah yang seharusnya ditaati sering diabaikan, yang berujung pada ketidakstabilan dan ketidakpastian di berbagai sektor.
Di Indonesia, demokrasi juga telah berubah menjadi bentuk oligarki, di mana kekuasaan pemerintahan dikuasai oleh sekelompok kecil orang kaya yang hanya memperhatikan kepentingan pribadi mereka.
Dinamika politik saat ini menunjukkan mayoritas pemimpin partai besar berasal dari kalangan pengusaha kaya dengan kekuatan finansial yang besar.
Baik calon pimpinan daerah maupun calon presiden seringkali berasal dari kalangan ini, menggunakan kekayaan mereka untuk memperkuat posisi politik mereka.
Hal ini menandakan bahwa sering kali kepentingan rakyat menjadi terabaikan, sementara prioritas utama adalah memenuhi kepentingan segelintir orang kaya.
Akibatnya, demokrasi yang seharusnya mewakili
kepentingan seluruh rakyat telah berubah menjadi alat untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan serta kekayaan bagi segelintir individu.
Mengapa pengusaha kaya dianggap tidak cocok untuk terlibat dalam politik? Pengusaha di Indonesia cenderung beroperasi dengan fokus pada kepentingan pribadi dan pencapaian keuntungan finansial yang maksimal dengan biaya yang minimal.
Mereka mengelola bisnis mereka untuk memenuhi tujuan pribadi, yaitu mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka sendiri.
Ketika pengusaha kaya ini memasuki dunia politik, ada kekhawatiran bahwa mereka akan membawa orientasi dan paradigma bisnis mereka ke dalam keputusan dan kebijakan pemerintahan.
Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada keuntungan pribadi dan kepentingan kelompok kaya, daripada pada kepentingan umum dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Sebagai pemimpin politik, seharusnya fokusnya adalah melayani publik, mengedepankan keadilan sosial, dan memperhatikan kesejahteraan seluruh warga negara, bukan hanya mempertimbangkan keuntungan finansial mereka sendiri.
Bagaimana seseorang yang terbiasa dengan pola pikir yang sangat mengutamakan kepentingan pribadi dan keuntungan finansial bisa menjadi pemimpin politik yang efektif? Seorang pemimpin politik harus mampu memperhatikan kepentingan banyak orang, bukan hanya dirinya sendiri.
Selain itu, ia harus dapat melihat masalah dari berbagai perspektif yang berbeda, bukan hanya dari sudut pandang keuntungan dan kerugian semata.
Menjadi pemimpin politik yang baik melibatkan kemampuan untuk memahami dan memenuhi kebutuhan serta aspirasi berbagai kelompok masyarakat.
Seorang pemimpin politik harus berkomitmen pada pelayanan publik, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum.
Ini berbeda jauh dengan paradigma seorang pengusaha yang umumnya fokus pada maksimalisasi keuntungan dan efisiensi biaya untuk kepentingan pribadi atau perusahaan.
Tentu saja, ada beberapa pengusaha yang berhasil melampaui orientasi mereka yang terbatas pada keuntungan pribadi dan menjadi negarawan yang baik, dengan fokus pada kepentingan publik.
Namun, berapa banyak pengusaha yang mampu melakukan transisi semacam itu? Faktanya, hanya sedikit pengusaha yang berhasil mengubah orientasi mereka secara mendalam untuk memenuhi tuntutan kepemimpinan politik yang sejati.
Kebanyakan pengusaha mungkin tetap terperangkap dalam paradigma keuntungan pribadi, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat secara memadai.
Di Indonesia, demokrasi saat ini telah tergelincir ke bentuk pemerintahan yang disebut parasitokrasi, di mana pemerintahan dijalankan oleh para parasit.
Dalam konteks politik, istilah “parasit” merujuk pada individu yang menuntut agar kebutuhan mereka dipenuhi namun enggan untuk berkontribusi secara nyata atau bekerja keras untuk mewujudkan tuntutan tersebut.
Mereka cenderung lebih suka mengkritik dan menuntut tanpa memberikan kontribusi yang nyata atau dengan semangat yang kurang.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada dunia politik, melainkan juga menyebar ke berbagai organisasi di Indonesia.
Jumlah individu yang mengadopsi perilaku seperti parasit semakin meningkat, yang menyulitkan upaya pembangunan dan kemajuan.
Mereka cenderung mengambil lebih banyak dari sistem daripada memberikan kontribusi yang setara, yang mengakibatkan stagnasi bahkan kemunduran dalam berbagai sektor.
Parasitokrasi ini berpotensi merusak demokrasi karena semakin banyak orang yang mengikuti sikap dan perilaku parasit, semakin sulit untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan berorientasi pada kepentingan umum.
Menurut saya, kemunduran demokrasi di Indonesia menuju anarki, oligarki, dan parasitokrasi terjadi karena prinsip-prinsip dasar demokrasi sudah tidak lagi diajarkan di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia dan tampaknya telah menghilang dari ranah publik.
Prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi dasar bagi kehidupan bersosialisasi dan pemerintahan saat ini tergantikan oleh prinsip keuntungan finansial yang dalam kapitalisme.
Sikap pragmatis ini telah mengurangi nilai-nilai demokratis yang lebih luas, seperti keadilan sosial dan partisipasi publik yang bermakna.
Di samping itu, prinsip-prinsip demokrasi juga semakin tergeser oleh fanatisme agama yang menekankan penerapan ajaran agama secara eksklusif.
Fanatisme ini lebih mengutamakan kepatuhan pada dogma agama daripada nilai-nilai pluralisme dan toleransi, yang merupakan esensi dari demokrasi.
Sebagai akibatnya, ruang untuk diskusi terbuka dan toleransi terhadap perbedaan semakin menyempit.
Kombinasi dominasi kapitalisme dan fanatisme agama telah mengakibatkan prinsip-prinsip demokrasi seperti kesetaraan, kebebasan, dan keadilan sosial terpinggirkan.
Hal ini menciptakan situasi di mana demokrasi tidak lagi berfungsi dengan baik, melainkan tergelincir menjadi bentuk pemerintahan yang tidak demokratis seperti anarki, oligarki, dan parasitokrasi.
Kebebasan individu telah digantikan oleh kewajiban untuk patuh pada perintah yang ada.
Konsep otonomi diri, yang seharusnya memungkinkan seseorang untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan tersebut, kini tergantikan oleh ketaatan sepenuhnya pada norma-norma dan ajaran yang diterapkan dari luar diri.
Fenomena ini menyebabkan orang lebih cenderung mengikuti pendapat orang lain daripada mempertimbangkan nurani atau hati nurani mereka sendiri dalam mengambil keputusan.
Aturan dan tekanan dari kelompok-kelompok sosial sering kali menghambat kemampuan kita untuk berpikir secara jernih dan rasional tentang apa yang sebenarnya baik dan benar.
Ketergantungan pada pandangan atau kehendak kelompok sering menggantikan proses refleksi dan evaluasi diri yang kritis.
Ini berarti bahwa kebebasan individu untuk memilih dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadi dan nurani dapat berkurang atau bahkan tidak ada dalam dinamika sosial yang menekankan kepatuhan dan konformitas.
Dalam konteks ini, individu sering merasa terikat oleh harapan sosial dan tekanan untuk mematuhi norma yang ada, sehingga kemampuan untuk hidup dengan otonomi dan integritas pribadi sering terancam.
Hal ini menantang keberagaman dan kebebasan personal dalam masyarakat yang lebih mementingkan keseragaman dan ketaatan terhadap norma-norma yang sudah ada.
Prinsip kesetaraan yang seharusnya menjadi fundamental digantikan oleh stratifikasi sosial yang memisahkan manusia ke dalam kelas-kelas yang berbeda.
Feodalisme, yang meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan ketimpangan alami dan seharusnya ditempatkan dalam hierarki tetap, telah merasuk dalam pandangan umum masyarakat.
Individu yang dianggap miskin, kurang terdidik, kurang menarik secara fisik, atau mengalami cacat sering kali diabaikan atau diisolasi karena keterbatasan mereka dalam berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Segala aspek tata politik, ekonomi, hukum, dan budaya sering kali cenderung memberikan keuntungan kepada individu yang memiliki kekayaan, penampilan menarik, kecerdasan, dan dianggap “normal” dalam konteks sosial.
Kondisi ini menghasilkan ketidakadilan struktural di mana peluang meraih kesuksesan dan mengakses sumber daya lebih besar bagi mereka yang berada dalam posisi sosial dan ekonomi yang tinggi.
Kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat sering kali terabaikan atau dilanggar dalam praktiknya, yang menghasilkan polarisasi sosial yang semakin dalam antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Di sisi lain, penerapan hukum di Indonesia sering tidak konsisten. Meskipun berbagai aturan dan Undang-Undang telah dikeluarkan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan, kepastian pelaksanaannya sering terganggu.
Banyak celah yang memungkinkan praktik korupsi berkembang pesat, sehingga hukum dan aturan yang seharusnya menjaga keadilan malah terperangkap dalam ketidakberdayaan.
Ketidakmampuan untuk konsisten dan adil dalam memberlakukan hukum berkontribusi pada ketidakmerataan pengalaman masyarakat, di mana kepercayaan terhadap lembaga hukum dan pemerintah dapat terkikis.
Hal ini menghasilkan ketidakpastian dan kecurigaan terhadap integritas sistem hukum secara keseluruhan, serta menghambat upaya untuk membangun masyarakat yang adil.
Untuk mencegah kemunduran demokrasi, penting untuk menegakkan dengan kuat prinsip-prinsip dasarnya.
Prinsip-prinsip seperti otonomi individu, kebebasan, kesetaraan, dan kepastian hukum harus secara menyeluruh dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Integrasi ini tidak hanya mengenai pembelajaran formal, tetapi juga tentang memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi ini menjadi bagian integral dari pendidikan generasi muda.
Pendidikan yang mencakup prinsip-prinsip demokrasi tidak hanya menyediakan pengetahuan teoritis, tetapi juga membentuk sikap dan nilai-nilai yang mendasari tindakan individu dalam masyarakat.
Ini membantu mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya otonomi dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab, hak untuk berpartisipasi dalam proses demokratis, serta perlunya perlakuan yang adil bagi semua warga negara di mata hukum.
Integrasi prinsip-prinsip demokrasi dalam kurikulum
pendidikan dapat mengajarkan pentingnya menghormati kebebasan berpendapat dan perbedaan pendapat, serta cara-cara untuk menyelesaikan konflik atau perbedaan dengan damai dan konstruktif.
Dengan demikian, sistem pendidikan Indonesia dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membangun masyarakat inklusif, adil, dan berdasarkan pada nilai-nilai demokratis yang kokoh.
Sebagai warga negara, kita juga harus menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap tindakan dan partisipasi kita di ruang publik.
Dengan komitmen untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai seperti otonomi, kebebasan, kesetaraan, dan kepastian hukum, kita dapat berperan aktif dalam mencegah kemunduran demokrasi.
Hanya melalui keterlibatan yang sadar dan bertanggung jawab dalam proses demokratis, kita dapat membantu menjaga stabilitas dan integritas sistem demokrasi kita.
Menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya menunjukkan kesadaran akan pentingnya demokrasi sebagai landasan utama bangsa, tetapi juga merupakan langkah konkret untuk memperkuat fondasi bangsa menuju keadilan dan kemakmuran bersama.
Dengan demikian, partisipasi aktif dan perilaku yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dapat membimbing kita menuju arah yang tepat, mengurangi risiko penurunan kualitas demokrasi, dan mendukung pencapaian tujuan bersama untuk kehidupan yang lebih baik bagi semua bangsa Indonesia.