Oleh: Patrison Benefaciendo Bulu Manu
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira Kupang
Negara yang bereksistensi artinya negara yang memiliki keberadaan nyata dan diakui secara sah. Penulis ingin mengkajinya dalam filsafat politik.
Filsafat politik telah lama merenungkan tentang bentuk pemerintahan yang ideal dan bagaimana negara seharusnya berfungsi untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dalam diskursus ini, demokrasi muncul sebagai sistem yang dianggap mampu mengakomodasi aspirasi dan hak-hak individu secara adil dan merata.
Dalam ranah filsafat politik, konsep negara demokratis sering kali dibahas sebagai manifestasi tertinggi dari kehendak rakyat.
Demokrasi, dalam pengertian yang paling mendasar, adalah sistem pemerintahan yang diatur oleh prinsip-prinsip partisipasi publik, kesetaraan, dan kebebasan.
Eksistensi negara dalam bayangan demokrasi tidak hanya melibatkan mekanisme formal seperti pemilu dan lembaga perwakilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan etis yang mengakar dalam masyarakat.
Sejalan dengan diskursus tentang eksistensi negara dalam filsafat politik, asal usul demokrasi dapat ditelusuri kembali ke Yunani Kuno, terutama dalam karya-karya filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Plato dalam bukunya “The Republic” mengkritik demokrasi sebagai sistem yang cenderung mengarah pada kekuasaan massa yang tidak teratur.
Namun, Aristoteles dalam “Politics” lebih menyukai demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang memungkinkan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam pandangan Aristoteles, demokrasi adalah sistem yang paling sesuai dengan sifat manusia sebagai makhluk politik yang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan kehendaknya.
Pada perkembangan selanjutnya, konsep demokrasi mengalami transformasi yang signifikan seiring dengan perubahan zaman dan konteks sosial-politik.
Di era modern, demokrasi tidak hanya dilihat sebagai mekanisme pemerintahan, tetapi juga sebagai suatu budaya politik yang menuntut keterlibatan aktif warga negara dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Demokrasi modern menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia.
Selain itu, demokrasi juga beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru seperti globalisasi, teknologi informasi, dan perubahan iklim, yang semuanya mempengaruhi cara negara dan masyarakat berinteraksi.
Oleh karena itu, diskursus tentang demokrasi terus berkembang, mengakomodasi realitas baru sambil tetap mempertahankan nilai-nilai dasar yang mendasarinya.
Filsuf modern seperti Immanuel Kant dan John Stuart Mill menekankan pentingnya demokrasi dalam konteks kebebasan dan otonomi individu.
Kant, dalam “Critique of Pure Reason,” mengusulkan konsep otonomi moral di mana individu harus dilihat sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk tujuan lain.
Demokrasi, dalam hal ini, menjadi mekanisme yang memungkinkan setiap individu untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan memastikan bahwa kebijakan publik mencerminkan kehendak dan kebutuhan rakyat.
John Stuart Mill, dalam “On Liberty” menggarisbawahi pentingnya kebebasan berpendapat sebagai fondasi demokrasi.
Ia berargumen bahwa melalui diskusi bebas dan terbuka, masyarakat dapat mencapai kebenaran dan memahami kepentingan bersama.
Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana ide-ide dapat dipertukarkan secara bebas dan kritis.
Artinya menjadi penting partisipasi aktif dan kebebasan berpendapat dalam menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan.
Meskipun demokrasi idealnya mencerminkan kehendak rakyat, dalam praktiknya sering menghadapi berbagai tantangan.
Salah satu kritik utama datang dari perspektif Marxis yang melihat demokrasi liberal sebagai alat untuk melanggengkan dominasi kelas kapitalis.
Karl Marx, dalam “The Communist Manifesto,” mengkritik demokrasi borjuis yang hanya memberikan kebebasan formal tanpa mengubah struktur ekonomi yang mendasarinya.
Menurut Marx, demokrasi sejati hanya dapat tercapai melalui penghapusan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan pembentukan masyarakat tanpa kelas.
Selain itu, fenomena populisme dan munculnya otoritarianisme modern menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Populisme sering kali mengeksploitasi ketidakpuasan rakyat terhadap elit politik dan ekonomi, namun dalam banyak kasus justru mengikis institusi demokratis dan mengarah pada pemerintahan yang lebih otoriter.
Contoh kontemporer dapat dilihat di berbagai negara di mana pemimpin populis berhasil meraih kekuasaan melalui pemilu tetapi kemudian mengkonsolidasikan kekuasaan dengan melemahkan sistem checks and balances.
Demokrasi juga dihadapkan pada tantangan dari teknologi informasi dan media sosial yang mempengaruhi dinamika politik secara signifikan.
Penyebaran informasi yang cepat dan luas dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi opini publik atau menyebarkan disinformasi, mengancam integritas proses demokratis dan kemampuan masyarakat untuk membuat keputusan yang berdasarkan fakta.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan regulasi yang bijaksana terhadap media menjadi krusial dalam menjaga kesehatan demokrasi di era digital ini.
Untuk mempertahankan dan memperkuat demokrasi, perlu ada upaya berkelanjutan untuk memastikan partisipasi politik yang inklusif dan adil.
Ini melibatkan pendidikan politik yang memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara serta mendorong keterlibatan aktif dalam proses politik.
Pendidikan politik harus diarahkan pada peningkatan kesadaran kritis terhadap isu-isu sosial, ekonomi, dan politik, sehingga warga negara dapat berpartisipasi secara efektif dalam demokrasi.
Selain itu, penting untuk memperkuat institusi demokrasi yang independen dan berfungsi dengan baik, seperti lembaga peradilan, media massa, dan organisasi masyarakat sipil.
Lembaga-lembaga ini harus mampu menjalankan fungsi pengawasan dan memberikan ruang bagi akuntabilitas pemerintah.
Kebebasan pers, misalnya, memainkan peran penting dalam menginformasikan publik tentang tindakan pemerintah dan memungkinkan diskusi kritis yang diperlukan untuk demokrasi yang sehat.
Dalam konteks global saat ini, demokrasi menghadapi tantangan serius dari meningkatnya otoritarianisme di beberapa negara serta erosi nilai-nilai demokratis di negara-negara yang sebelumnya dianggap sebagai benteng demokrasi.
Krisis ekonomi, ketidaksetaraan, dan ketidakpastian global sering kali memperburuk ketidakpuasan yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan anti-demokrasi.
Meskipun demikian, ada juga harapan dalam bentuk gerakan pro-demokrasi yang aktif di berbagai belahan dunia, dipimpin oleh kaum muda yang mengadvokasi perubahan dan keadilan sosial.
Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa aspirasi untuk kebebasan dan partisipasi politik tetap kuat di tengah tantangan yang ada.
Di tengah dinamika kompleks ini, penting bagi komunitas internasional untuk menjalin kerja sama yang kuat guna memperkuat fondasi demokrasi dan melindungi nilai-nilai demokratis di seluruh dunia.
Eksistensi negara dalam bayangan demokrasi adalah refleksi dari cita-cita dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.
Demokrasi tidak hanya tentang prosedur formal, tetapi juga tentang prinsip-prinsip etis yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, demokrasi tetap menjadi sistem pemerintahan yang paling menjanjikan untuk mewujudkan kehendak rakyat dan menjamin hak-hak asasi manusia.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting untuk terus memperkuat institusi demokrasi, mendorong partisipasi politik yang inklusif, dan menjaga ruang publik yang bebas dan terbuka untuk diskusi kritis.
Penulis menekankan bahwa melalui upaya kerjasama lintas negara dan komitmen terhadap nilai-nilai demokratis, kita dapat membangun masyarakat yang adil, berkeadilan, dan berdasarkan kehendak serta kepentingan bersama rakyatnya. Demokrasi yang baik adalah demokrasi demi kesejahteraan bersama.