Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Dalam beberapa tahun terakhir, proses demokratisasi telah memperlihatkan sebuah kemajuan yang signifikan, dengan terciptanya ruang-ruang kebebasan yang semakin luas dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa.
Proses ini telah memperluas cakrawala partisipasi publik, memungkinkan individu untuk terlibat lebih aktif dalam diskursus politik, serta memberikan kebebasan untuk menyuarakan pandangan dan aspirasi mereka tanpa merasa tertekan.
Demokratisasi dengan demikian, telah menyuburkan tanah subur bagi pertumbuhan ide-ide yang beragam, menumbuhkan semangat inovasi sosial, dan memfasilitasi pembentukan masyarakat yang lebih adil dan terbuka.
Dalam kerangka ini, kebebasan yang diperoleh tidak hanya berfungsi sebagai hak, tetapi juga sebagai landasan bagi pembentukan struktur sosial yang lebih inklusif dan seimbang.
Namun, meskipun pencapaian ini patut dirayakan demokrasi saat ini menghadapi ancaman serius dari apa yang bisa disebut sebagai “kontrademokrasi.”
Ancaman ini meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa, melalui praktik-praktik merusak seperti korupsi yang merongrong kepercayaan publik dan mencederai keadilan sosial, politik uang yang mencemari proses pemilihan dengan ketidakadilan, serta kekerasan dan terorisme yang menciptakan ketidakamanan dan ketegangan.
Selain itu, konflik horizontal antara kelompok-kelompok masyarakat juga menambah kompleksitas tantangan ini, menghambat dialog konstruktif dan merusak kohesi sosial.
Dalam ranah demokrasi yang seharusnya subur dan dinamis, terdapat semacam “parasit” yang perlahan-lahan merusak struktur dan integritasnya.
Parasit ini, yang dapat diibaratkan sebagai “politikus parasit,” secara perlahan tetapi pasti menggerogoti pohon demokrasi, merusak sistem metabolisme yang seharusnya mendukung fungsi demokrasi yang sehat, mengacaukan arus sirkulasi informasi dan kekuasaan, serta menghancurkan jejaring akar yang menopang keseimbangan dan stabilitasnya.
Politikus parasit ini, sebagai zoon politicon, tidak hanya beroperasi secara individual tetapi juga membentuk kelompok atau jejaring yang berfungsi sebagai alat untuk memanipulasi dan mengeksploitasi sistem.
Dalam konteks ini, mereka mengganggu dan merusak tempat-tempat di mana mereka berada, seperti partai politik, parlemen, departemen pemerintah dan negara itu sendiri, dengan tujuan untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri dengan mengorbankan kesehatan dan keberlanjutan sistem yang lebih luas.
Ketika kita melihat lebih mendalam, kelompok-kelompok ini menciptakan sebuah “sistem parasit” yang terstruktur dan sistematis, di mana elemen-elemen masyarakat demokratis bergabung dalam membangun dan menerapkan tindakan kontrademokratis secara kolektif.
Sistem ini mencakup korupsi yang melibatkan banyak pihak, rekayasa berkelompok yang bertujuan untuk memperkuat kekuasaan dan pengaruh mereka, serta kebohongan yang disebarkan secara bersama-sama untuk menutupi kepentingan pribadi mereka.
Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini bekerja sama untuk membentuk jaringan kekuasaan yang merusak integritas demokrasi, memperlemah prinsip-prinsip keadilan dan transparansi, dan mengancam keberlangsungan sistem demokratis itu sendiri.
Dalam menghadapi fenomena ini, penting untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangkal pergerakan parasit yang mengancam, serta mengembalikan fokus pada nilai-nilai fundamental demokrasi yang mendasari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Sistem parasit merupakan sebuah fenomena di mana suatu entitas bergantung pada keberadaan dan kesejahteraan sistem lain untuk bertahan hidup, sekaligus merusak dan mengganggu ekosistem yang menopangnya.
Sebagai “penumpang gelap,” parasit tidak hanya memanfaatkan tempat yang ia tinggali baik itu pohon, tubuh, masyarakat, atau institusi tetapi juga mengakibatkan kerusakan yang mendalam pada tempat tersebut serta pada seluruh komponen hidup yang terdapat di dalamnya.
Dengan kata lain, parasit berfungsi sebagai “perusak sistem,” yang efek merusaknya tidak hanya terbatas pada tempat tinggalnya, tetapi juga mencakup keseluruhan ekosistem yang membentuk struktur dan fungsi sistem yang lebih besar.
Kerusakan ini dapat menciptakan ketidakseimbangan yang berpotensi menghancurkan harmoni dan keberlanjutan sistem secara keseluruhan.
Menurut Michel Serres dalam karyanya The Parasite, konsep parasit tidak hanya berlaku pada sistem alam, tetapi juga pada berbagai sistem lainnya seperti politik, hukum, pendidikan, dan ekonomi, termasuk sistem demokrasi itu sendiri.
Dalam pandangan ini, manusia juga dapat berfungsi sebagai parasit bagi lingkungan, masyarakat, dan institusi yang mereka huni.
Politisi yang merusak partai politik, pegawai yang mengeksploitasi lembaga, jaksa yang terlibat dalam praktik korupsi, dan hakim yang menyalahgunakan kekuasaan, semuanya adalah contoh bagaimana individu dapat bertindak sebagai parasit dalam struktur sosial dan hukum.
Fenomena “tanaman makan tanaman” menggambarkan bagaimana parasitisme dapat muncul dalam kelompok-kelompok tersebut, di mana individu-individu parasit saling mengeksploitasi dan merugikan satu sama lain, memperburuk kerusakan yang sudah ada dan mengancam integritas sistem secara keseluruhan.
Dalam konteks politik, parasit dapat berkembang dalam bentuk lapisan-lapisan yang saling tumpang tindih dan berinteraksi secara timbal balik, menciptakan situasi yang penuh ironi dan kompleksitas.
Fenomena ini sering kali menimbulkan paradoks di mana korban dari tindakan parasit politik malah terjebak dalam pola yang sama, seperti ketika individu yang terkena dampak korupsi akhirnya terlibat dalam tindakan korupsi itu sendiri.
Ironi politik ini juga dapat terlihat ketika para pelaku korupsi tetap tidak tersentuh oleh hukum, sementara mereka yang mencoba mengungkapkan kebenaran malah disingkirkan atau dihukum.
Dalam skenario ini, batas-batas antara pelaku dan korban, penuduh dan tertuduh, atau aparat dan penjahat menjadi kabur, menciptakan ruang gelap di mana peran dan tanggung jawab tidak dapat dibedakan dengan jelas, sehingga menambah lapisan kerumitan dalam upaya untuk memahami dan memperbaiki sistem yang rusak.
Justru kita bertanya mengapa sistem ini rusak? Kapan sistem ini diperbaiki? Secara konkret sistem ini rusak karena kebodohan, kedunguan dan ketidakmampuan kita dalam berpikir dan menganalisa semua problem yang ada.
Dalam kerangka pemikiran politik, zoon politicon tidak hanya dapat digambarkan sebagai “serigala bagi sesama” sebagaimana dikemukakan oleh Hobbes, tetapi juga sebagai “parasit bagi sesama.”
Perbedaan mendasar antara manusia politik sebagai “pemangsa” dan “pengisap” terletak pada cara mereka memanipulasi dan mengeksploitasi sesama.
Manusia sebagai pemangsa terlibat dalam tindakan yang terang-terangan menindas dan memanfaatkan yang lemah, seperti yang dapat dilihat dalam sistem totalitarianisme yang represif.
Sebaliknya, manusia sebagai pengisap beroperasi dalam bentuk yang lebih halus dan tersembunyi, di mana individu saling menggerogoti kekuasaan, karakter, atau citra satu sama lain dalam struktur sosial yang lebih kompleks.
Saya berpikir dengan memahami peran manusia dalam konteks ini membantu mengungkapkan bagaimana kekuasaan dan pengaruh dapat merusak integritas sistem sosial, dan bagaimana perbaikan harus dilakukan untuk mengatasi dan mengelola dinamika parasitisme yang merusak tersebut.
Tentu dalam konteks sistem demokrasi, parasit politik berfungsi sebagai agen disruptif yang secara insidiuos merusak integritas dan fungsionalitas dari dalam. Mereka melakukan berbagai tindakan kontrademokrasi seperti kejahatan, korupsi, manipulasi, dan simulasi yang secara sistematis menggoyahkan fondasi demokrasi.
Setelah menciptakan kerusakan tersebut, mereka kemudian melakukan konsolidasi dengan sesama parasit untuk menyembunyikan kejahatan kolektif mereka.
Mereka mengalihkan perhatian dan kesadaran publik dari realitas hukum yang sebenarnya ke dalam “pencitraan hukum” yang menyesatkan.
Ini merupakan upaya untuk menutupi tindakan mereka dengan membangun citra hukum yang bersih dan sah, meskipun kenyataannya adalah sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Norberto Bobbio dalam The Future of Democracy, salah satu bentuk parasitisme dalam demokrasi adalah “kekuatan tak tampak”, sebuah kekuatan tersembunyi di balik topeng dan simulasi yang secara halus merusak sistem demokrasi dalam kegelapan yang tak terlihat.
Fenomena ini dapat digambarkan sebagai “mesin tak tampak” yang beroperasi di ruang gelap politik, menciptakan dan menyebarluaskan berbagai kepalsuan politik yang merusak struktur sosial dari dalam.
Di dalam “ruang gelap demokrasi,” parasit politik bertopeng beroperasi dengan cara yang sangat tersembunyi, di mana kejahatan yang mereka lakukan sering kali dipresentasikan dalam kemasan yang menipu dan retorika yang manipulatif.
Dalam konteks ini, kejahatan mereka tampak seolah-olah tidak ada atau dilakukan oleh pihak lain, karena mereka menggunakan berbagai strategi untuk mengalihkan perhatian publik.
Di ruang gelap ini, terdapat para mafioso hukum yang terdiri dari oknum jaksa, hakim, polisi, dan anggota KPK bersama dengan mafioso politik dan mafioso parlemen.
Mereka semua beroperasi secara kolektif untuk menggerogoti dan merusak struktur demokrasi, menggerakkan agenda mereka sendiri sambil menutupi kekacauan yang mereka ciptakan.
Pada dasarnya dengan cara ini, sistem demokrasi menjadi rentan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh praktik korup dan manipulatif yang terjadi di balik layar, yang pada akhirnya mengancam keutuhan dan keberlanjutan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kemunculan kasus-kasus hukum yang perlahan menghilang dari sorotan publik memperlihatkan bahwa komunitas dan jejaring parasit dalam sistem sosial menunjukkan suatu bentuk “kecerdasan” yang sangat tajam.
Dalam karya Jean Baudrillard, The Intelligence of Evil, konsep “kecerdasan kejahatan” merujuk pada kemampuan inovatif untuk menciptakan dan menyembunyikan berbagai bentuk kejahatan dengan cara yang sangat cerdik, sehingga tindakan tersebut hampir tidak terlihat sebagai kejahatan di mata publik.
Kecerdasan ini tidak hanya mencakup inovasi dalam melakukan kejahatan, tetapi juga dalam membungkam semua bentuk reaksi yang dapat mengungkap tindakan tersebut, sehingga memperdaya masyarakat tentang adanya realitas hukum yang sebenarnya.
Kecerdasan kejahatan ini menghasilkan apa yang dapat disebut sebagai “kejahatan sempurna,” yaitu sebuah sistem kejahatan yang dirancang dengan sangat efisien untuk menghapuskan barang bukti, menutupi kesaksian, menciptakan alibi yang kredibel, merekayasa motif yang kompleks, mencari kambing hitam, dan mengurangi keterlibatan pelaku dalam kesalahan yang dilakukan.
Kejahatan sempurna ini menciptakan suatu kondisi di mana hukum beroperasi dalam bentuk “minimalisme hukum,” yang mengakibatkan “minimalitas kebenaran.”
Dalam sistem ini, proses “pembunuhan tanda-tanda” terjadi di mana semua bukti, termasuk barang bukti, rekaman, dokumen, saksi, dan tempat kejadian perkara dihancurkan atau disembunyikan.
Selain itu, terdapat juga upaya untuk memanipulasi kondisi psikis pelaku melalui teknik seperti hipnosis dan pembungkaman.
Namun, dalam beberapa kasus, tanda-tanda yang seharusnya disembunyikan dapat berbalik menjadi cermin dari “bunuh diri tanda,” di mana tuduhan yang dilemparkan kepada orang lain justru mencerminkan kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menuduh, sehingga menghasilkan “citra kejahatan diri sendiri” atau the semiotic suicide, sebuah paradoks di mana kejahatan itu sendiri menjadi alat untuk mengungkapkan dan mengekspos kebenaran yang tersembunyi.
Ketika berbagai bentuk tanda-tanda kejahatan seperti barang bukti, jejak digital, rekaman, dan dokumen dihilangkan, maka terbentuklah apa yang bisa disebut sebagai “ruang gelap semiotik,” sebuah kegelapan yang menyelimuti aspek-aspek tanda, makna, dan kebenaran dalam ranah politik dan hukum.
Dalam keadaan ini, apa yang tersisa hanyalah sebuah pertunjukan dari “permainan bebas bahasa” yang disajikan melalui berbagai media, khususnya televisi, di mana representasi realitas dan kebenaran terdistorsi oleh kecerdasan manipulatif dalam retorika tanda, bahasa, dan citra.
Di dalam ruang gelap politik ini, elite yang korup membangun sebuah “mesin cuci politik,” yaitu sebuah sistem yang bekerja secara tersembunyi dan terkoordinasi untuk menghilangkan jejak-jejak kejahatan dari pengamatan publik.
Ironisnya, aparat hukum yang seharusnya berperan dalam pemberantasan kejahatan sering kali justru menjadi bagian dari jaringan ini, menjadikannya sebagai “parasit berkedok pembasmi parasit.”
Fenomena menguapnya kasus-kasus hukum besar menjadi gambaran reproduktif dari sistem “mesin cuci politik,” di mana setiap kasus hukum yang signifikan selalu berakhir dalam siklus penghilangan bukti, pengaburan fakta, dan penyembunyian kebenaran.
Jika siklus ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi, jaringan parasit politik ini akan terus berkembang dan meluas, mengancam integritas sistem hukum dan pemerintahan.
Akibatnya, “rumah demokrasi” di masa depan akan semakin dipenuhi oleh generasi baru yang terdiri dari koruptor dan mafioso politik, menunjukkan sebuah kemunduran yang semakin mendalam dalam struktur dan etika sistem sosial kita.