Ruteng, Vox NTT – Kasus dugaan penganiayaan yang menimpa Pemimpin Redakdsi (Pemred) Floresa, Herry Kabut di Poco Leok, pada Rabu, 2 Oktober 2024 lalu masuk dalam tindak pidana serius.
Demikian pernyataan Tim Satgas Antikekerasan Jurnalis Dewan Pers, Erick Tanjung saat menggelar konfrensi pers di Labuan Bajo, Manggarai Barat pada Senin (7/10/2024).
Dikatakan Erick, kasus yang menimpa Herry bukan pelanggaran biasa, melainkan pelanggaran yang masuk dalam tindak pidana serius. Karena itu harus diusut tuntas dengan seadil-adilnya.
Menurut Erick, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap jurnalis Herry sudah sangat keterlaluan hingga dengan sengaja menghalangi tugas-tugas jurnalistik.
Karena itu sedikitnya ada tiga poin pelanggaran yang dirangkum Dewan Pers atas kasus dugaan penganiayaan ini, yakni: pertama, kekerasan fisik dengan cara menarik, mencekik, memukul dan menendang.
Kedua, perampasan alat kerja dengan cara menyita handphone, memeriksa rekaman hasil wawancara dan penghapusan file di laptop.
Ketiga, intimidasi atau sengaja menghalangi tugas jurnalistik.
Atas dasar tiga poin pelanggaran itu, Dewan Pers akan memakai Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 18 ayat 1 tentang pers sebagai landasan hukum yang kuat untuk melanjutkan kasus ini.
Dalam Undang-undang pers itu, kata Erick, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp500.000.000,00.
“Jadi kasus ini tidak bisa dianggap sepele, ini kasus serius yang telah mengancam kemerdekaan pers, sehingga pelakunya harus diproses hukum,” jelas Erick.
Erick mendesak agar aparat yang melakukan penganiayaan harus diproses. Sehingga, harus ada pemeriksaan secara etik yang dilakukan Bidpropam, termasuk yang melakukan perintah, “apakah ada perintah dari Kapolres Manggarai karena ini adalah pelanggaran serius.”
Ditambahkan dia, selaku Satgas pihaknya akan menyurati Kapolres Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan pemeriksaan terhadap Kapolres Manggarai atas peristiwa ini. Hal itu demi komitmen memutus rantai kekerasan kepada jurnalis.
Pada kesempatan konfrensi pers itu, Erick juga menanggapi klarifikasi yang dibeberkan Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh sebelumnya, terkait permintaan kartu pers dan penunjukan surat tugas oleh korban Herry.
Dalam penjelasan klrafikasinya, Kapolres Edwin bilang bahwa anggota sempat meminta kartu pers dari Herry untuk membuktikan bahwa ia betul sebagai seorang jurnalis, tetapi Herry hanya menunjukan surat tugas.
Menurut Kapolres Edwin, jika memang Herry sebagai jurnalis saat itu ia harus menunjukan kartu pers, bukan hanya surat tugas.
Lantas ia pun mengancam akan melaporkan jurnalis ke dewan pers karena tidak mengikuti SOP dan standar jurnalistik saat berada di lokasi liputan.
Menanggapi pernyataan Kapolres, Erick menjelaskan bahwa kartu pers dan surat tugas sama-sama bagian dari SOP jurnalistik. Karena itu status hukum antara kartu pers dan surat tugas yang melekat pada seorang jurnalis sama.
“Jadi kalau tunjuk surat tugas sama halnya dengan tunjuk kartu pers, legalitasnya sama dan telah memenuhi SOP,” jelas Erick.
“Herry sudah berusaha menunjukan itu di hadapan para aparat, harusnya Herry dihormati apalagi sudah menunjukan bukti sebagai Pemred Floresa, tetapi yang terjadi malah kekerasan, karena itu kami akan lanjut terus,” tambah Erick.
Kontributor: Berto Davids