Ruteng, Vox NTT- Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di berbagai kota di Indonesia, indeks kebebasan pers masih terkurung dalam cengkraman tangan besi pihak keamanan.
Hingga akhit tahun 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Dari data ini, kekerasan fisik menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilakukan, yakni sebanyak 15 kasus, sementara kekerasan dalam bentuk teror dan intimidasi sebanyak 13 kasus.
Selain itu AJI juga mencatat kasus pelarangan liputan, yakni sebanyak 9 kasus dan kasus ancaman sebanyak 9 kasus.
Dewan Pers juga merilis hasil survei terhadap Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia pada bulan November 2024. Hasilnya indeks kebebasan pers menurun sebesar 2,21 ke angka 69,36.
Angka indeks kebebasan pers ini menurun dibanding pada tahun 2019 ketika saat itu indeks sangat terpuruk di angka 73,01.
Dari beberapa kasus kekerasan itu, polisi disebut-sebut sebagai oknum yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
“Nomor satu pelaku didominasi oleh kepolisian. Yang menjadi pelaku itu memang polisi, baik itu ancaman maupun intimidasi,” ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Ham Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengutip rekaman wawancara bersama iNews.
Julius berkata, belakangan ini jurnalis sebagai pilar demokrasi selalu menjadi target yang “dikendalikan”, baik dengan cara-cara represif maupun dengan cara lain.
Jadi peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis itu dikontrol dengan isu yang sudah terpola dengan metode yang sama dan bentuk kekerasan yang sama.
Julius menambahkan PBHI mencatat sejauh ini ada 48 peristiwa kekerasan jurnalis dimana total korban mencapai 85 orang, didominasi korban perempuan.
Isu terbesar dari kekerasan ini adalah peliputan tentang fenomena-fenomena pelanggaran HAM oleh negara, baik itu di sektor politik pemilu kemarin maupun pelanggaram HAM di bidang lingkungan hidup, termasuk peristiwa kekerasan oleh aparat penegak hukum yang sedang diliput jurnalis.
“Paling banyak itu polisi pelakunya. Yang kedua itu TNI dan yang ketiga ormas,” sebut Julius.
“Bentuk kekerasan terbesar itu intimidasi dan ancaman verbal, setelah itu baru diikuti dengan kekerasan fisik sampai ada pengeboman seperti yang terjadi di Papua,” tambah Julius.
Bentuk kekerasan terhadap jurnalis bukan saja terjadi di tingkat nasional tetapi juga terjadi di daerah seperti di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hermanus Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa.co pernah mengalami bentuk kekerasan fisik yang dilakukan aparat Polres Manggarai di lokasi Geothermal Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai 2 Oktober 2024 lalu.
Saat itu Hermanus mengalami kekerasan fisik dalam bentuk penganiayaan. Ia dicekik, ditarik, dipikul dan ditendang oleh aparat kepolisian saat meliput aksi demonstrasi warga yang menolak kehadiran proyek geothermal.
Tak hanya itu, barang pribadi Hermanus dirampas, alat kerja disita, pemeriksaan hasil rekaman wawancara hingga penghapusan file di laptop.
Beberapa anggota Polres Manggarai itu pun akhirnya diperiksa Propam Polda NTT hingga salah satu anggota Intelijen Polres Manggarai berinisial HH disebut sebagai terduga pelaku kekerasan.
Saat ini Polda NTT sedang melakukan gelar perkara untuk mencapai efisiensi penuntasan penanganan perkara tersebut.
Tim Satgas Anti Kekerasan Jurnalis Dewan Pers, Erick Tanjung mengatakan bahwa kasus yang menimpa Herry sapaan akrban Hermanus Kabut bukan pelanggaran biasa, melainkan pelanggaran yang masuk dalam tindak pidana serius. Karena itu harus diusut tuntas dengan seadil-adilnya.
Menurut Erick, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap jurnalis Herry sudah sangat keterlaluan hingga dengan sengaja menghalangi tugas-tugas jurnalistik.
Karena itu sedikitnya ada tiga poin pelanggaran yang dirangkum Dewan Pers atas kasus dugaan penganiayaan ini, yakni: pertama, kekerasan fisik dengan cara menarik, mencekik, memukul dan menendang.
Kedua, perampasan alat kerja dengan cara menyita handphone, memeriksa rekaman hasil wawancara dan penghapusan file di laptop.
Ketiga, intimidasi atau sengaja menghalangi tugas jurnalistik.
Atas dasar tiga poin pelanggaran itu, Dewan Pers akan memakai Undang-undang nomor 40 tahun 1999 pasal 18 ayat 1 tentang pers sebagai landasan hukum yang kuat untuk melanjutkan kasus ini.
Dalam Undang-undang pers itu, kata Erick, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp500.000.000,00.
“Jadi kasus ini tidak bisa dianggap sepele, ini kasus serius yang telah mengancam kemerdekaan pers, sehingga pelakunya harus diproses hukum,” jelas Erick.
Erick mendesak agar aparat yang melakukan penganiayaan harus diproses. Sehingga, harus ada pemeriksaan secara etik yang dilakukan Bidpropam, termasuk yang melakukan perintah, “apakah ada perintah dari Kapolres Manggarai karena ini adalah pelanggaran serius.”
Penulis: Berto Davids