Oleh: Fransiskus Sardi
Tujuh tahun. Waktu yang terasa singkat, tapi begitu berat untuk ditanggung rindu. Tujuh tahun sudah saya meninggalkan rumah yang ramah dan penuh kehangatan itu. Sejak lulus SMA 2016, saya jarang kembali ke rumah. Kini, Mama dan Papa semakin menua, menanti kepulangan yang entah kapan terjadi.
Suatu hari di tahun 2016, bulan Juli, awal kisah saya meninggalkan rumah. Kuucapkan selamat tinggal tuk kampung kecil, yang belum tersentuh aliran listrik, hanya diterangi lampu pelita.
Hari terakhir itu begitu sunyi, hanya deru angin dan suara jangkrik terdengar, tak ada polusi, apalagi macet. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, Papa dan Mama bangun untuk menyiapkan bekal perjalanan.
Anak kedua mereka akan berangkat ke Kota Kupang demi mengejar cita-cita.
Mama memasak nasi ketupat, bekal perjalanan di kapal.
Ketika saya menyantap sarapan terakhir di rumah, air mata saya tak terbendung. Mama menangis sambil menepuk pundakku. Saya merasakan perpisahan yang begitu berat.
Di sudut dapur rumah kolong kami itu, Papa hanya diam, menatap dalam hening. Seumur hidupnya papa tak pernah menangis, tetapi dari matanya, saya merasakan cinta yang dalam, tak pernah terucap, tetapi selalu hadir dalam cucuran keringat kerja kerasnya.
Sehari sebelum keberangkatan, Mama dengan telaten menyiapkan empat bungkus bekal nasi ketupat. Papa memanjat pohon kelapa di samping rumah, mengambil daun kelapa muda untuk dianyam menjadi ketupat.
Mama sangat lihai menganyam. Setiap lipatan daun terasa penuh cinta, seolah ia ingin menitipkan seluruh harapan di dalam ketupat itu.
Sebagai orang Rongga, keberangkatan seperti ini selalu diiringi tradisi adat. Malam itu, keluarga kecil kami berkumpul untuk acara wua wai, sebuah ritual doa kepada Tuhan dan para leluhur untuk perlindungan dan kelancaran perjalanan.
Dalam keheningan malam, hanya suara doa yang terdengar. Air mata saya entah mengapa tak berhenti mengalir. Malam itu terasa begitu panjang, seolah waktu ingin memberi ruang bagi kami untuk saling berpamitan dalam diam.
Hingga kini, setelah menyelesaikan kuliah, saya belum pernah pulang untuk sekadar melihat dapur rumah yang penuh kenangan itu. Mama sering berkata, “walo di Jaji ma, ghalo di Papa ne Mama ndia nua a.” (Pulanglah, Jaji, kunjungi Papa dan Mama di kampung) Suara Papa yang dulu tegas, kini terdengar lebih serak dan melemah “kau laa ma, mbaru kaju pering ganti mbaru watu dano mawa walo ma’a.” (Kau merantau dari rumah kayu hingga diganti rumah batu pun belum pulang).
Bagi saya ucapan yang sering saya dengar saat video call adalah doa, harapan, dan rindu yang tak pernah putus.
Tahun 2020 awal, saya merencanakan untuk pulang. Saat itu, saya sudah membeli tiket pesawat, meski harganya mahal. Demi rindu, saya rela mengeluarkan apa pun.
Namun, pandemi Covid-19 merusak semua rencana. Syarat surat keterangan sehat membuat perjalanan menjadi mustahil, karena saat itu saya didiagnosa positif Covid dan harus menjalankan karantina.
Sejak saat itu, hingga kini, setelah lulus kuliah dan dua tahun bekerja, saya belum juga punya kesempatan untuk pulang.
Untungnya bumi masih berputar, beberapa minggu lalu, kakak sepupu saya dari kampung datang ke Jogja. Kami bernostalgia tentang Paundoa.
Ia bercerita tentang jalan aspal yang dibangun sejak 2009, saat saya masih SMP, kini sudah rusak parah.
Aspal yang terkelupas membuat perjalanan seperti selalu terasa sedang jai (menari), mengingatkan saya pada ironi kehidupan di kampung perubahan terasa lambat, seolah waktu enggan menyentuhnya, meski kenangan di atas jalan tetap tak tergantikan.
Ia juga mengisahkan sumber air minum yang masih menjadi masalah. Sumur bor yang dulu digali kini tak lagi berfungsi.
Saya teringat betapa sabar dan uletnya Mama dan Papa berjalan jauh, mendaki bukit untuk mengambil air, dan mencari kayu bakar hingga saat ini.
Ketika kakak pulang ke kampung, saya menitipkan dua bungkus bakpia Jogja. Dua bungkus itu, saya harap cukup untuk Mama, Papa, dan adik bungsu yang masih SMA.
Bagi saya, bakpia bukan sekadar oleh-oleh; ia membawa cerita tentang Jogja, tempat saya berjuang. Setiap gigitan bakpia, saya bayangkan menjadi penghubung kecil antara dunia perantauan saya dan rumah yang selalu menanti.
Rumah kami, yang dulu penuh dengan canda tawa dan keramaian lima orang putra Papa Mama, kini hanya dihuni mereka bertiga. Setelah adik tamat SMA, mungkin rumah itu hanya akan menjadi tempat Mama dan Papa menghabiskan hari tua.
Saya sadar, dua bungkus bakpia tak akan pernah cukup untuk menggantikan rindu yang begitu besar. Namun, itu adalah cara kecil saya untuk mengirimkan cinta dan kangen. Semoga Tuhan memberikan umur panjang kepada Mama dan Papa.
Saya berikhtiar, suatu hari nanti, saya akan pulang, membawa lebih dari sekadar oleh-oleh, tetapi juga waktu dan cerita untuk kami bagi bersama.
Saya ingin bisa benar-benar pulang, bukan hanya menitipkan rindu, tetapi merasakan kembali hangatnya rumah, bersama mereka yang selalu menanti dengan doa dan harapan.
Senada dengan apa yang dilantunkan M. Gun Kelly CS., dalam lirik lagu Home, sebagai “a place where I can go, to take this off my shoulders” – tempat saya melepaskan segala penatnya kehidupan.
Biodata Penulis:
Fransiskus Sardi, akrab disapa Jaji oleh keluarganya, adalah anak kedua dari lima bersaudara. Lahir di Paundoa, Flores NTT. Sejak 2016 melanjutkan studi di Kupang dan tahun 2019 berpindah ke Jogja dan menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma tahun 2023. Saat ini aktif di komunitas Gusdurian Yogyakarta, dan sejak Juli 2024 menghabiskan hari-harinya mengajar di salah satu sekolah swasta di Jogja. Bisa sapanya di ig @sardhyf.