Oleh: Petrus Pile Mulan
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Dalam perjalanan sejarah, kita sering kali menyaksikan bagaimana kekuasaan yang bergantung pada kekuatan senjata lebih sering mengalahkan suara rakyat yang menginginkan keadilan.
Ironi zaman kita terletak pada kenyataan ini: ketika rakyat menuntut hak mereka, mereka justru ditekan; sementara militer, yang seharusnya melindungi, justru dimanjakan dan diberi keistimewaan.
Di tengah kegaduhan kekuasaan ini, kita harus mengingat dan menggaungkan kembali kebenaran yang telah lama terabaikan: supremasi sipil bukanlah sekadar lelucon, melainkan fondasi yang mutlak bagi peradaban yang adil dan bermartabat.
Reformasi militer dan kepolisian adalah langkah yang tak bisa ditunda jika kita menginginkan negara yang beradab. Militer harus tunduk sepenuhnya pada otoritas sipil, bukan sebaliknya.
Ketundukan ini bukanlah penghinaan terhadap kehormatan militer, melainkan penempatan yang adil: kekuatan bersenjata harus melayani rakyat, bukan menguasai mereka.
Sejarah mengajarkan kita, dengan luka-luka yang masih membekas, bahwa ketika militer bebas dari kontrol sipil, tirani pun muncul, dan demokrasi tercerai-berai.
Membangun tatanan baru tidak cukup dengan sekadar restrukturisasi aparatur. Yang lebih mendalam dan esensial adalah penguatan institusi sipil: pendidikan, hukum, media, dan organisasi masyarakat yang bebas dan kuat.
Institusi sipil adalah benteng peradaban yang menjaga negara dari kerapuhan otoritarianisme. Tanpa lembaga-lembaga ini yang kokoh, kekuasaan senjata akan mengisi kekosongan nilai, dan rakyat sekali lagi akan kehilangan suaranya di tengah hiruk-pikuk kepentingan elitis.
Supremasi sipil menghendaki negara yang mampu membela warganya dari ketidakadilan yang dibungkus dalam retorika keamanan.
Dalam arsitektur negara yang adil, perlindungan hak asasi manusia harus menjadi pilar utama. Hakikat kemanusiaan menuntut perlakuan yang setara dan penghormatan terhadap martabat setiap insan.
Tidak ada alasan, baik itu dalih keamanan nasional, stabilitas politik, atau pertahanan negara, yang membenarkan pengabaian hak-hak dasar manusia.
Ketika suara rakyat dibungkam atas nama ketertiban, yang sesungguhnya terjadi adalah pengkhianatan terhadap nurani kolektif.
Perlindungan hak asasi manusia adalah syarat mutlak agar negara tidak menjelma menjadi monster yang merobek tubuh bangsanya sendiri.
Namun, supremasi sipil tidak akan tumbuh dalam tanah yang tandus dari kesadaran. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi rakyat menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda.
Pendidikan ini bukan hanya memperkenalkan prosedur demokrasi atau teori kekuasaan, melainkan membangkitkan kesadaran kritis rakyat terhadap hak, kewajiban, dan peran mereka dalam mengawasi negara.
Rakyat yang terdidik secara politik adalah benteng terakhir kebebasan; tanpa mereka, konstitusi hanya akan menjadi dokumen mati, dan demokrasi hanya menjadi sandiwara yang dimainkan untuk meninabobokan mereka.
Pengawasan ketat atas kebijakan militerisasi adalah nadi dari supremasi sipil yang sejati. Tidak boleh ada satu pun langkah militer yang dilepaskan dari mata waspada rakyat dan wakil-wakilnya.
Di setiap keputusan yang melibatkan penggunaan kekuatan bersenjata, harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang ketat, transparan, dan independen.
Kita harus menolak dengan tegas setiap upaya untuk mengembalikan militer ke ruang-ruang sipil, baik itu dalam bentuk penempatan tentara di jabatan-jabatan pemerintahan, pelibatan dalam penegakan hukum sipil, maupun pembiaran terhadap impunitas.
Karena begitu ruang sipil ditembus oleh militerisme, benih-benih otoritarianisme akan tumbuh tanpa kita sadari.
Dalam terang pemikiran para filsuf klasik, negara bukanlah alat kekuasaan segelintir orang, melainkan ekspresi kolektif kehendak rakyat untuk hidup dalam keadilan.
Plato berbicara tentang pemerintahan para bijak, di mana kekuasaan harus tunduk pada akal budi, bukan pada kekerasan.
Aristoteles menegaskan bahwa politik sejati adalah upaya bersama untuk mencapai kebaikan bersama.
Supremasi sipil adalah perwujudan modern dari gagasan-gagasan luhur ini: bahwa kekuasaan harus bersumber dari legitimasi rakyat, dan bahwa kekuatan militer hanyalah pelayan, bukan tuan dari masyarakat.
Di zaman ini, kita juga diajarkan bahwa demokrasi bukanlah hadiah yang abadi, melainkan perjuangan yang harus terus diperbaharui.
Musuh utama dari supremasi sipil bukan hanya peluru dan senjata, tetapi juga sikap apatis, ketidakpedulian, dan ketakutan yang dipelihara dalam bayang-bayang kekuasaan.
Kita harus berani menyalakan lentera kesadaran di tengah malam panjang penindasan; kita harus berani bersuara meski suara kita gemetar dalam ketakutan.
Negara yang adil tidak lahir dari kompromi dengan ketidakadilan. Negara yang beradab tidak mungkin lahir dari penyerahan buta kepada kekuatan yang tidak akuntabel.
Kita harus menuntut agar supremasi sipil ditegakkan bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai jiwa dari seluruh bangunan negara kita.
Kita harus menolak segala bentuk militerisme yang bersembunyi di balik jubah nasionalisme palsu. Nasionalisme sejati adalah keberanian untuk mencintai rakyat, bukan keberanian untuk menindas atas nama rakyat.
Tugas kita adalah menjaga bara kesadaran ini tetap menyala, meskipun badai ketakutan berusaha memadamkannya. Supremasi sipil adalah cahaya yang harus kita jaga bersama, cahaya yang akan menuntun bangsa ini keluar dari bayang-bayang sejarah kelam menuju pagi yang lebih adil dan bermartabat.
Dalam setiap hati yang mencintai kebebasan, dalam setiap pikiran yang mendambakan keadilan, di situlah supremasi sipil harus hidup dan bertumbuh.
Pada akhirnya, sejarah akan menghakimi kita bukan dari kekuatan militer yang kita banggakan, melainkan dari seberapa jauh kita mampu menjaga martabat manusia di tengah godaan kekuasaan.
Supremasi sipil bukan sekadar konsep legalistik; ia adalah pertaruhan moral kita terhadap masa depan, terhadap generasi yang akan datang.
Apakah kita akan mewariskan negara yang merdeka dalam arti sejati, atau negara yang hanya berganti seragam dalam penindasan yang terus-menerus? Kita masih memiliki pilihan.
Selama kita belum membungkam suara hati, selama kita masih percaya bahwa kekuasaan sejati berasal dari legitimasi rakyat, selama itu pula harapan untuk supremasi sipil tetap hidup.
Rakyat yang ditekan hari ini harus bangkit sebagai rakyat yang berdaulat esok hari.
Militer yang dimanjakan hari ini harus kembali diposisikan sebagai pengabdi, bukan penguasa.
Demi masa depan yang lebih adil, demi negeri yang layak kita banggakan, marilah kita jaga bersama prinsip ini: dalam negara yang sejati, rakyat adalah tuan, dan kekuasaan hanyalah pelayan.