Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Terima kasih Tuhan telah menitipkanku malaikat-Mu yang kusebut Ibu. Dari rahimnya aku dilahirkan, dari pelukannya aku mengenal dunia, dan dari air matanya aku belajar kesetiaan cinta yang tak pernah lelah.
Cinta ibu adalah puisi abadi yang ditulis di atas lembaran hidup anaknya, mengalir seperti air sungai yang tak pernah memungut upah atas kesetiaannya mengaliri ladang-ladang harapan.
Ibu tidak sekadar sosok biologis, tetapi misteri metafisis: kehadiran yang menyiratkan makna kasih ilahi dalam bentuk paling konkret dan membumi.
Seorang ibu adalah wujud nyata dari cinta yang memberi tanpa syarat, mencintai tanpa batas, dan berharap tanpa pamrih.
Dalam setiap helaan nafasnya terkandung doa-doa rahasia, dalam setiap peluhnya tersembunyi pengorbanan yang bahkan tak ia ingat lagi karena cinta telah menjadikannya amnesia terhadap penderitaan dirinya sendiri.
Aku mencintai ibu karena ia telah memberikanku segalanya. Dia beri aku cinta, dia beri aku jiwanya, dan dia memberiku seluruh waktunya.
Seperti pepatah lama, cinta seorang ibu adalah satu-satunya cinta di dunia yang tidak mengenal syarat, tak membutuhkan syarat, dan tak akan pernah mencabut kembali pemberiannya.
Ia tak bertanya apakah anaknya akan mencintainya kembali. Seperti sang surya yang menyinari dunia tanpa menimbang siapa yang layak menerima hangatnya, kasih ibu melampaui kalkulasi moral biasa.
Bahkan dalam kecewanya, ia tetap berdoa. Bahkan dalam lukanya, ia tetap mendoakan kebahagiaan anaknya. Seorang ibu bisa memahami apa yang belum dikatakan.
Ia memiliki telinga batin yang dapat menangkap deritamu bahkan sebelum kamu bersuara, dan pelukannya adalah tempat paling suci untuk berteduh dari kelelahan dunia. Ia tak sekadar perempuan, ia adalah ruang pertama tempat manusia mengenal kehangatan.
Tokoh filsuf seperti Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa tindakan moral tertinggi adalah ketika seseorang melakukan sesuatu bukan karena ingin dihargai atau karena konsekuensi tertentu, tetapi karena itu adalah kewajiban dari dalam dirinya.
Kasih ibu adalah perwujudan agung dari gagasan itu. Dalam tindakan mencintai dan mengorbankan diri untuk anaknya, seorang ibu menunjukkan “imperatif kategoris” yang tak tertandingi: melakukan hal yang benar karena cinta itu sendiri.
Sementara itu, Simone de Beauvoir, dalam narasi eksistensialisnya, menegaskan bahwa perempuan seringkali menjadi “yang lain” dalam tatanan patriarkal.
Namun, dalam figur seorang ibu, kita melihat bahwa yang lain justru menjadi pusat dunia: ibu bukan hanya memberi hidup secara biologis, tetapi juga membentuk eksistensi anak secara spiritual.
Dalam dunia yang seringkali menindas perempuan, ibu tetap hadir sebagai simbol kekuatan yang tak terlihat, daya pencipta yang tak tergantikan, dan cinta yang tak mengenal akhir.
Dari perspektif teologi Katolik, Maria Bunda Kristus dihormati sebagai Theotokos, sang pembawa Allah dan keselamatan.
Ia bukan hanya simbol ketaatan, tetapi juga teladan pengorbanan yang hening. Ketika ia menerima kabar gembira, ia tahu bahwa cinta akan menuntut penderitaan, namun ia tetap menerima. Dalam setiap luka Yesus, terselip air mata Maria.
Dalam iman Katolik, ibu tidak hanya sosok pengasuh tetapi juga pembawa kasih ilahi yang tak berkesudahan. Dalam Islam, kedudukan ibu begitu agung hingga Nabi Muhammad bersabda, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.”
Ini bukan sekadar metafora spiritual, melainkan penegasan teologis bahwa jalan menuju keselamatan manusia salah satunya adalah melalui bakti kepada ibu. Seorang ibu dalam Islam adalah pintu surga yang hidup, tak ada jihad yang lebih mulia selain merawat ibu yang renta.
Dalam Hindu, konsep keibuan (matrutva) adalah aspek sakral dari Shakti, kekuatan feminin ilahi.
Dewi Parvati, sebagai ibu dari Ganesha, melambangkan cinta ibu yang protektif dan penuh pengorbanan. Ibu bukan hanya figur rumah tangga, melainkan representasi kosmis dari energi pencipta.
Dalam Buddhisme, konsep kasih sayang ibu dihubungkan dengan welas asih universal.
Buddha mengajarkan bahwa kasih seorang ibu terhadap anaknya adalah gambaran paling jelas dari cinta tanpa benci, dan menjadi dasar meditasi karuna (kasih sayang) bagi semua makhluk.
Dalam semua jalan spiritual ini, ibu ditempatkan di puncak pemuliaan karena cintanya adalah pantulan dari kasih yang transenden, tak terbatas oleh ruang dan waktu.
Namun kini, banyak dari kita hidup berjauhan dari ibu. Merantau di negeri orang, jauh dari pelukannya yang menenangkan, kita hanya bisa menitip rindu lewat angin.
Dan ketika ibu telah tiada, kita tidak lagi memiliki rumah di mana pelukan tak ditagih balasan. Tidak ada masakan yang rasanya sempurna seperti tangannya.
Tidak ada suara yang dapat menggantikan kelembutan panggilannya. Dunia berubah, namun cinta ibu tetap tinggal, menjadi akar yang tak pernah mati dalam pohon hidup kita.
Kita mungkin tumbuh, berlayar jauh, menjadi hebat dan dihormati, namun semua itu adalah gema dari doanya yang ia bisikkan dalam malam-malam panjang, ketika kita bahkan belum mengerti apa arti kata cinta.
Khalil Gibran pernah mengatakan bahwa, “Cinta seorang ibu adalah segala-galanya. Ia adalah yang memulai dan mengakhiri segalanya.”
Maka marilah kita jaga cinta itu, bukan hanya dalam ingatan, tetapi dalam tindakan.
Karena cinta ibu adalah satu-satunya cinta yang ketika pergi, ia meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun, selain cinta yang kita teruskan dalam kebaikan kepada sesama.
Itulah warisan terdalam dari seorang ibu: kasih yang mengakar dalam jiwa manusia dan menjelma menjadi cahaya kehidupan.
Tinggalkan Balasan