(Puisi-Puisi Yurgo Purab)
Menghapus Kenangan
“Mengenang adalah cara terbaik tuk tidak melupakan”
Seperti kemarin saat mendung di matamu pecah
Gerimis luruh bak garis-garis kenangan
Yang jatuh dari rindu yang dalam selain sesal yang malang
Barangkali saya harus kembali setelah semuanya berlalu
Setelah musim-musim berganti
Seolah dia yang tak terganti dari sekian wajah yang merekah
Mungkin sumpah ibarat ibadah
Saya tak boleh lari pulang kepada yang lain
Secepat risau yang terus menggamit
Memilih pergi adalah lebih baik
Selain kenangan dan ketakjujuran
Yang di dapat dari lipatan rindu yang sudah melumut
Memang tak ada yang lain
Selain dia yang tumbuh
Di musim begini tandus
Bolehkah aku kembali Tuhan
Seperti hujan membekas di aspal
Saat hilang di telan matahari
Sudahi saja yang telah lewat
Mungkin esok menemukan ruangnya sendiri
Hinga, 2018
Jauh di Dada
(Chelmy Koten)
Langit malam teramat sumir
Jauh di dada ada rasa gigil yang merunut
Angin malam kian gegas
Setelah ditimang remang yang terus larut
Engkau memanah cerita siang tadi
Dalam risau yang pelik dan ngajar yang gagal
Setelah dilumat tanya yang terus berkemas
Engkau tahu mencintai tak sekadar meraba angin
Dan menebak arah curiga
Tak lebih dari sepasang kasut yang tak mau pisah dari kaki
Lebih dari cemburu yang tak mau ditimang
Lebih dari kata-kata mesra yang meluap dalam gendang telinga
Mencintai tak seharusnya meniadakan yang lain
Tetapi juga tak mengadakan yang lain
Ia terbuka mengenal yang lain
Hinga, 2018
Mengenalmu
(Nova Piterson)
Mengenalmu jauh seperti saudari
Walau tak sedarah dari perut rahim yang sama
Saat gagal dan jatuh kau kalungkan semangat
Di hati yang sedang retak dan gundah sepanjang nian
Seperti tak ada yang dipercakapan lebih jauh
Selain pelajaran-pelajaran yang telah lewat ;
“kau orang yang kuat yang pernah ku kenal,
kau berharga di mata manusia dan Tuhan”
kata ini beriak dalam hatiku
seperti hujan mengapung di landai
pelan-pelan susut dicaplok matahari
seperti sesal mengapung di dada
pelan-pelan tumbuh semangat lagi
Barangkali
Barangkali doa tak lagi jadi alasan
Tuk mengobati rasa sakit yang kian menumpuk
Pun deretan masalah yang tak ada solusi
Mungkin benar
Setiap pendoa selalu memiliki alasan datang
Dan kerap pergi tanpa membawa apa-apa
Selain rasa sesal yang amat dalam
Dari rindu-rindu yang kian garang
Benar bahwa doa-doa kini tak lagi jinak dengan permohonan
Tak kala dera dan masalah kian meradang
Barangkali syukur dan puji perlu dipetik dalam-dalam
Agar anugerah kian melejit
Di tahun-tahun yang telah menua
Siapa tak sangka doa bisa merubah hidup
Walau hanya sebatas kata-kata
Benarkah Tuhan itu ada
Atau sekadar dongeng dalam Kitab Suci
Yang dimanipulasi tetua agama beribu-ribu tahun
Atau kah Tuhan seorang yang tuli tidak mau tahu dengan soal manusia
Kita tak pernah tahu
………………………..
Tuhan amat setia
Mendengarkan dengan jeli
Ucapan bibir para pemohon
(Hinga, 2018)
Sajak Para Peziarah
Setiap doa dilipat dalam batin
Tak dilupa sejak kata-kata telah runtuh
Dari bibir yang lusuh
Dan igauan yang tak memiliki arah
Semenjak doa menemukan ruangnya bernama sunyi
Iman tak lagi sekadar bunyi
Peziarah tak hanya butuh kaki
Tuk merawat kenangan sepanjang jalan
Juga bekal tuk mengisi perut selepas dahaga
Ia butuh iman sebesar biji sesawi
Tuk melumat jarak yang terbentang panjang
Dari barisan doa-doa yang terasa hambar
(Hinga, Adonara 2018)