…..BACA Tulisan Sebelumnya DI SINI
Gurita Korupsi di NTT
Perdebatan tentang hubungan korupsi dan kemiskinan sudah berlangsung di Forum Academia NTT (FAN) empat bahkan enam tahun silam. Saya kira, para pemikir muda cerdas di FAN yang ikut dalam perdebatan itu menyumbangkan pikiran sangat bagus di forum itu.
Berikut ini saya kutip lurus-lurus tulisan di FAN itu. Saya kutip pernyataan Sri Palupi dari ECOSOC, Jakarta, yang menanggapi pikiran Silvester Ndaparoka.
Pertanyaan yang diajukan saat itu sungguh sangat menarik. Adakah hubungan timbal balik antara kemiskinan dan korupsi? Kalau korupsi disebabkan karena kemiskinan, maka pengandaiannya, setelah dibuat tidak miskin (misal dengan menaikkan gaji) maka korupsi akan berhenti.
Rasanya asumsi ini sulit diterima. Karena pada kenyataannya, korupsi tertinggi (di tingkat nasional) justru terjadi di sektor-sektor dan di kalangan birokrat yang tingkat renumerasinya termasuk paling tinggi dan dilakukan oleh pejabat/birokrat yg tingkat gajinya juga relatif tinggi. Selain itu, sistem juga membuka peluang pejabat/birokrat melakukan korupsi. Lihat saja bagaimana seorang Gubernur Gorontalo (pada masa silam) kaget ketika setiap bulan dia mendapatkan uang sebesar Rp 400 juta tanpa dia melakukan apa-apa.
Usut punya usut ternyata sistem yang berjalan selama ini membuat setiap proyek dianggarkan sekian persen untuk honor Gubernur, Sekda, dll. Itulah yg membuat Gubernur Gorontalo memilih untuk melakukan reformasi birokrasi. Sistem membuat para birokrat/pejabat mencari peluang-peluang untuk menambah penghasilan dari anggaran yang ada.
Kemiskinan di NTT bukan hanya karena korupsi, tetapi korupsi jelas menghambat penanggulangan kemiskinan dan memperburuk kondisi kemiskinan. Korupsi terjadi dan didorong oleh gaya hidup mewah dan boros para pejabat/birokrat di tengah kondisi keterbatasan ekonomi. Kalau kondisi ekonomi terbatas tapi gaya hidupnya bersahaja, tidak bakalan dia korupsi karena dia merasa cukup dengan apa yang diterima. Demikian Palupi.
Saya mau menambahkan informasi pendek yang sangat fenomenal di NTT. Tatkala DPRD Propinsi NTT baru dilantik lepas dua bulan (10 tahun lalu), yang pertama mereka perjuangkan di APBD adalah membeli laptop dan mobil untuk kepentingan mereka sendiri. Bagi rakyat kebanyakan pertanyaannya simple saja. Apakah laptop dan mobil yang diperjuangkan habis-habisan oleh anggota DPRD Propinsi NTT itu bagian dari menjawab dan menyelesaikan keluhan (greavances) dan tuntutan (demand) rakyat atau tidak? Apakah mobil dan laptop itu mengatasi kemiskinan rakyat ataukah menyelesaikan naluri ketamakan anggota DPRD sendiri?
Kisah Gurita Korupsi di daerah miskin tentu saja kejahatan sangat keji. Bagaimana tidak. Kondisi sebagian besar alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur boleh jadi tandus dan gersang. Kekeringan dan rawan pangan seolah menjadi bencana rutin yang dihadapi warga NTT hampir setiap tahun.
Saat Gubernur Frans Leburaya, realitas ini tidak berubah banyak. Karena itu, banyak kalangan menilai (terutama kaum pemikir radikalis), Frans Leburaya adalah profil gubernur gagal, lemah dan tak sanggup mengatasi masalah NTT.
Tampilan data statistik selama kepemimpinannya sama sekali tidak menolong apa pun, kecuali hanya ikut menegaskan kelemahannya. Hal itu diperburuk oleh kisah campur tangan adik kakak (famili) yang kelewat jorok, di luar batas kesopanan.
Kemiskinan, kasus gizi buruk, angka putus sekolah, serta angka penganggur yang tinggi pada akhirnya menjadi mata rantai lanjutan dari persoalan itu.
Kini, lebih dari dua dekade pelaksanaan otonomi daerah, beban rakyat NTT semakin berat karena pada saat yang sama harus menghadapi bencana baru yang muncul akibat buruknya tata kelola pemerintahan daerah.
Bencana yang sudah ada di depan mata dan dipastikan makin memiskinkan rakyat NTT saat itu adalah korupsi. Teriakan para aktivis, nyaris tidak mengguling kekuatan masif korupsi di NTT.
Berdasarkan pantauan Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT sepanjang 2009 terhadap 16 dari 21 kabupaten/kota di NTT, ada 125 kasus dugaan korupsi dengan total indikasi kerugian negara Rp 256,3 miliar.
Padahal, dana sejumlah itu jika digunakan untuk melakukan intervensi pemulihan gizi buruk anak balita yang dalam 90 hari membutuhkan Rp 1,5 juta per anak balita, bisa menjangkau sekitar 170.000 anak balita.
Jumlah anak balita penderita gizi buruk di NTT mencapai 60.616 dari total 504.900 anak balita di sana. Ironis sekali memang, ketika bantuan untuk mengatasi gizi buruk ataupun rawan pangan yang digelontorkan pemerintah pusat dan lembaga donor lain belum juga bisa membuahkan hasil positif, sementara di sisi lain ada indikasi korupsi keuangan negara yang nilainya lebih dari dua kali lipat dari anggaran yang dibutuhkan untuk penanganan seluruh kasus gizi buruk itu. Mengapa? Karena leadership sangat lemah.
Gambaran lain, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ada 587 surat pengaduan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melaporkan indikasi tindak pidana korupsi di NTT.
Lebih dari seperempat kasus yang dilaporkan itu berada di pusat pemerintahan NTT, yakni di Kota Kupang. Data KPK itu sejalan dengan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2008 yang diselenggarakan Tranparency International Indonesia (TII) yang menyebutkan Kupang sebagai kota terkorup di antara 50 kota di Indonesia yang disurvei.
Dari hasil telaah KPK, ada 13,46 persen pengaduan yang benar-benar terindikasi tindak pidana korupsi dan diteruskan kepada penegak hukum. Masih ada pengaduan yang dikembalikan ke pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan.
Indonesia Budget Center (IBC), mengutip hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan, pada semester II tahun anggaran 2009, terdapat 1.804 temuan pemeriksaan di NTT dengan 3.305 rekomendasi atas penyimpangan anggaran daerah senilai Rp 5,29 triliun.
Dari jumlah itu, ada 1.300 rekomendasi yang nilai anggarannya mencapai Rp 2,06 triliun yang belum ditindaklanjuti.
Selain itu juga ditemukan 392 kasus kerugian negara senilai Rp 76,45 miliar pada penggunaan anggaran di NTT. Dari jumlah itu ada 280 kasus yang belum ditindaklanjuti dengan pengembalian atas kerugian negara dengan nilai kerugian Rp 58,08 miliar.
Padahal, jika mengacu pada pagu pemberian beasiswa bagi siswa SMA/SMK miskin di NTT tahun 2008 sebesar Rp 1,5 juta per orang dalam setahun, kerugian negara sejumlah itu bisa digunakan untuk membiayai pendidikan bagi hampir 13.000 siswa miskin hingga mereka tamat SMA/SMK.
Bencana korupsi yang melanda NTT bisa dikatakan sudah cukup kronis. Pelakunya merasuk dan tersebar di berbagai lapisan, mulai dari oknum pejabat Pemda, pimpinan proyek, entitas swasta, anggota DPRD, pengurus partai politik, camat, kepala desa, bahkan hingga kepala sekolah dan guru.
Aneh dan ironis saat korupsi justru terjadi di daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin mencapai 1,01 juta jiwa atau sekitar 23,3 persen dari jumlah penduduk (2009), justru pemimpinnya sangat rajin beribadah dan tekun sembayang sampai kelihatannya seperti orang kudus.
Jadi, yang saya mau katakan, banyak manusia munafik yang akan Anda temukan Gubernur. Dan, saya kira meski lainnya purna kuasa, sebaiknya dipanggil pulang untuk ikut tanggung jawab atas kelakuan buruk yang kami duga ada.
Di luar itu, ada sejumlah mantan bupati yang sempat tersangkut dugaan korupsi. Ada yang masih hidup lainnya sudah meninggal dunia.
Mantan Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka Pastor Frans Amanue (alm), teman akrabnya Leriy Mboeik, pernah mengungkapkan, filosofi otonomi daerah baik karena ingin mendekatkan pelayanan publik. Tetapi, ekses yang muncul justru virus korupsi menyebar di kabupaten hingga desa. Alokasi dana sulit diawasi.
Korupsi menjalar ke seluruh lapisan penyelenggara pemerintahan karena tidak ada tindakan hukum yang tegas kepada pelaku. Penegakan hukum perkara korupsi baru sebatas pada tingkatan staf dan belum menyentuh ke pejabat di pemda. Tambahan lagi, aparat pindahan ke NTT ini, rupaynya tidak terlalu tangguh jika masuk NTT. Mereka konon, ikut menjadi tak kuat mental.
“Kuncinya tindakan hukum yang tegas bagi pelaku, terutama bagi pejabat yang korup. Jika tidak ada contoh tegas bagi pejabat yang korupsi, pejabat lain tidak akan takut untuk korupsi,” katanya di Larantuka, waktu itu.
Tercatat, keprihatinan serupa disampaikan Koordinator Advokasi PIAR NTT Pace Subaki. Dari sekian banyak indikasi penyimpangan yang diungkapkan BPK, misalnya, belum banyak yang ditindaklanjuti. Sementara dari kasus dugaan korupsi yang mengemuka, belum banyak yang sampai ke pengadilan.
Daya rusak tindak pidana korupsi semakin terasa hebat karena sebagian mengakar hingga di lingkungan sekolah dan guru. Parahnya lagi, belum ada tindakan hukum yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya ataupun bagi aparatur yang lain.
“Guru tidak siap mengelola dana BOS (bantuan operasional sekolah) karena kurikulum di FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) tidak mengajarkan itu. Masyarakat juga belum banyak kritis mengawasi pengelolaan dana BOS,” kata anggota staf Divisi Antikorupsi PIAR NTT, Paul Sinlailoe. Menurut dia, otonomi daerah dalam pengelolaan dana dekonsentrasi pendidikan masih setengah hati.
Berdasarkan pantauan PIAR NTT, 44 persen kasus dugaan korupsi berada di bidang pemerintahan. Dari perspektif sektoral, 46,4 persen kasus korupsi ada di sektor pengadaan barang dan jasa dari pemerintah, disusul sektor APBD (34,4 persen). Tidak mengherankan jika muncul idiom baru dari NTT, yakni “Nusa Tetap Terkorup”.
Memang harus tulus diakui, tak semua pegawai di NTT terjangkiti virus korupsi. Di antara kubangan lingkungan birokrasi yang korup, ternyata masih ada pegawai yang tidak mau memanfaatkan kesempatan untuk korupsi meski secara ekonomi ia masih kekurangan. Salah satunya Charles Daris (42), pegawai Dinas Koperasi Kota Kupang yang ditemui di tepian pantai di Jalan Timor Raya, Kupang, Sabtu (8/5/2010).
Saat itu ia tengah berbincang dengan dua nelayan rekannya, Bonatus (62) dan Kornelis Pulanga (42). Charles adalah pegawai negeri yang memiliki pekerjaan sambilan sebagai nelayan. “Pagi hari sampai siang, beta kerja kantor. Sore pukul 15.00 hingga 06.00 pagi, beta cari ikan di laut,” katanya.
Sebagai pegawai golongan IID dengan gaji Rp 1,9 juta perbulan, tentu tidak akan mencukupi kebutuhan bapak empat anak itu. “Lebih baik beta kerja sambilan jadi nelayan daripada beta harus korupsi,” katanya.
Sejak diangkat menjadi pegawai tahun 1997, ia terus memegang jabatan bendahara. Baru beberapa tahun terakhir ia melepas jabatan itu karena ingin lebih tenang.
“Kawan-kawan bilang, beta ini bendahara bodoh. Dari dulu sampai sekarang tidak juga kaya, rumah itu-itu saja. Di sini, kalau jadi bendahara yang jujur itu justru dibilang bodoh,” katanya lantas tertawa, diikuti dua rekan lainnya.
Andai semua birokrat memiliki komitmen yang sama untuk tidak melakukan korupsi seperti Charles, bisa jadi persoalan kemiskinan dan rawan pangan di NTT tidak telanjur selaten saat ini (vide laporan Kompas, Kornelis Kewa Ama).
Begitulah Gubernur…