Larantuka, Vox NTT-Moke sudah menjadi bagian yang utuh dalam budaya orang Nusa Tenggara Timur.
Setiap tempat punya sebutan yang berbeda untuk minuman alkohol tradisonal ini tapi hampir pasti posisinya sangat penting dalam setiap perayaan kultural orang NTT. Dalam setiap tegukan moke mengalir daya magis yang telah membentuk jejak-jejak tradisi.
Bagi sebagian orang, moke juga menjadi ladang yang darinya mereka bisa bertahan hidup. Ada pengiris moke yang senantiasa menaruh harapan hidup dari titik demi titik air moke. Demikian pula penjual moke yang mengharapkan rupiah dari setiap botolnya.
Harapan itu tampak dari kesibukan Robertus Nolianus di kebunnya, di kampung Weko, dusun Baoloka, Kangae pada 13 Desember 2018.
Dia tidak sedang mencangkul, menebar benih ataupun menebas ilalang seperti yang dilakukan pekerja kebun umumnya.
Robertus rupanya asyik ria di atas pohon lontar, mengiris nira, membetulkan dudukan dan memasang jeriken penadah.
Bagi dia, kebun adalah penghidupan yang punya jasa penting. Kalangan keluarganya telah melakukan itu sejak sekian lama dan diturunkan ke dia hingga kini. Robertus bahkan sampai lupa, dia merupakan keturunan ke berapa yang menjadi pengiris dan pemasak tuak.
“Sejak muda saya sudah mulai belajar iris dan masak,” katanya kepada awak media yang menemui dia secara langsung. Kami memang menunggu dia mengakhiri aktivitasnya di atas pohon, kemudian mengajaknya berbincang.
Di kebunnya itu juga, dekat jejeran pohon lontar, sebuah pondok pemasakan dibangun dari bambu, pelepah dan terdapat sedikit seng bekas yang mengelilingi.
Biasanya, setelah turun dari pohon, Robertus akan lanjut lagi ke pondok untuk atraksi penyulingan. Kayu api harus selalu siap sedia. Dia memantau terus dan tentu ini butuh kesabaran dan sikap disiplin yang menguras energi.
Hasil masakan atau penyulingan nira lontar itulah yang menghasilkan “moke” (sebutan orang Flores dan Maumere untuk minuman alkohol tradisional).
Makanya, tidak mengherankan apabila dia harus datang ke kebun pagi-pagi sekali lantas pulang pada malam harinya.
“Ini pekerjaan utama jadi ya harus seperti itu,” ujar dia singkat.
Sementara itu, istrinya Lusia Tersiana Kelen telah menunggu dia di rumah. Robertus akan membawa moke yang siap dipasarkan. Lusia memang bertugas sebagai pemasar atau penjual.
Ketika kami temui, dia katakan bahwa sasaran moke mereka adalah pasar Geliting karena di sana memang berjubel berbagai pembeli yang datang dari mana-mana.
“Bapa tugasnya di kebun, sementara nanti saya yang pergi jual. Kami sudah bagi tugas,” terang Lusia.
Moke duet Robert-Lusia itu dipatok dengan harga 20 ribu rupiah per botol. Mereka mengakui, dalam seminggu, moke yang dihasilkan dari kebun itu bisa mencapai 42 botol atau sekira 20 liter.
Namun, volume ini punya musimnya tersendiri. Bulan April, Mei dan Juni adalah waktu mangkal untuk panen moke karena, menurut mereka, embusan angin lagi baik dan hujan jarang sekali turun. Pengaruhnya tak hanya ada pada aspek kuantitas atau jumlah semata, tapi juga pada kualitas moke itu sendiri.
Tentang Pelegalan Moke
Rupanya mereka memang telah mendengar desas-desus termaktub di antara kalangan pemasak dan penjual bahwa moke bakal dilegalkan.
“Kami sudah dengar itu hanya kami belum tahu aturannya seperti apa. Sebagai penghasil moke, kami pasti senanglah. Yang penting gubernur itu bisa atur yang baik-baik,” Lusia memberikan tanggapan.
Namun, mereka pun memberikan usulan kepada gubernur agar bisa menetapkan harga moke yang pasti. Musababnya, di kalangan para penjual, ada yang sering menaikturunkan harga seenaknya.
Tentu ini bisa jadi suatu kerumitan tersendiri, sebab harga moke sendiri tergantung pada kualitasnya. Kalau moke enak, harganya mahal, kalau masam, harganya murah.
Pendapat lain juga datang dari Marselinus, pembuat arak asal desa Bea Pawe, Golewa, Ngada. Pria yang telah 8 tahun menjadi pengiris tuak itu mengapresiasi langkah berani Viktor Laiskodat.
“Kalau bapak gubernur izinkan, saya rasa lebih baik lagi karena itu sudah jadi bagian hidup saya dan penyadap lainnya” tutur Marselinus.
Menurut dia, aturan tersebut tentu membuat masyarakat Ngada secara umum terpacu untuk senantiasa menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Yang dia maksud sebagai kearifan lokal adalah setiap kali orang Ngada melakukan upacara adat Reba ataupun upacara yang berkaitan dengan para leluhur lainnya, pasti membutuhkan minuman alkohol tradisional tersebut untuk memberi “sesajian” kepada nenek moyang.
“Kan tidak mungkin kami pake air toh?” tanyanya balik.
Meskipun begitu, senada dengan pasangan Nolianus-Lusia, Marselus meminta gubernur ataupun timnya turun langsung ke kehidupan para petani moke dan mendengarkan mereka. Dengan begitu, kebijakan yang diambil kelak akan punya prosedur mantap sehingga menguntungkan petani.
“Jangan sampai kami para yang usaha moke ini rugi lagi sendiri,” harapnya.
Di Flores Timur sendiri, keberadaan moke sebagai bagian warisan kultural tadi malah diikutsertakan dalam Festival Budaya Nubun Tawa di Leworahang, kecamatan Lewolema beberapa waktu lalu.
Salah seorang pengunjung festival keturunan Prancis, namanya Jean-Pazcal Elbaz, berdecak kagum dengan pengolahan moke yang dipraktikkan orang-orang Leworahang.
Bagi dia, itu masih sangat natural dan semestinya terus dipelihara sampai kapan pun.
“Ini taste alkoholnya masih sangat murni. Mungkin belum ada campuran macam-macam,” tuturnya kepada media ini.
Legalisasi Moke
Desas desus yang beredar di masyarakat seperti yang didengar pasangan Nolianus-Lusia dan Marselus sungguh merupakan ikhtiar politis Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat. Ia bertekad untuk melegalkan moke di Nusa Tenggara Timur.
Tim kami merekamnya kala politisi Nasdem ini memberikan kuliah umum bertajuk “Merajut Mimpi menuju NTT yang Lebih Baik” di Aula Thomas Aquinas STFK Ledalero, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, akhir November 2018 lalu.
Gubernur Laiskodat meminta para bupati dan wali kota di NTT mencabut peraturan daerah yang melarang produksi, penjualan, dan konsumsi moke. Ia juga meminta polisi berhenti menangkap para penjual moke.
“Saya sudah minta bupati dan walikota yang punya peraturan darah larang moke cabut. Saya minta polisi untuk tidak boleh tangkap,” katanya.
Sebagai tindak lanjut permintaan tersebut, Gubernur Laiskodat meminta perguruan tinggi di NTT melakukan penelitian tentang moke.
“Menurut saya, moke ini baik. Kita jaga agar standar alkoholnya baik,” katanya.
Keputusan politik Gubernur Laiskodat didukung juga oleh bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo.
Bagi Bupati Robby, keputusan untuk melegalkan moke bukanlah hal baru bila berkaca pada pengalaman di daerah lain ataupun negara lain. Di Bali misalnya, ada minuman berlabel yang diolah dan difermentasi dari tanaman tertentu.
Baginya, upaya melegalkan moke harus didukung dan butuh terobosan untuk mewujudkannya. Pengelolaan melalui perusahaan daerah bisa menjadi alternatif untuk usaha ini sambil memperhatikan kesejahteraan bagi petani-petani yang mengitari usaha moke ini.
Wakil bupati Lembata, Thomas Ola Langoday pun melihat bahwa upaya moke sangat membantu dari banyak aspek, yaitu kesehatan, pendapatan perorangan dan daerah serta memberi kenyamanan bagi produsen. Akan ada dua hal yang ia tekankan terkait melegalkan moke.
Pertama uji lab untuk mengetahui kadar alkohol pada setiap kemasannya. Yang kedua adalah soal kemasan moke itu sendiri.
Jika konsumen mengetahui dengan pasti kadar alkohol moke pada setiap kemasan dengan tingkatan harga sesuai kadar alkohol serta pajak yang jelas maka tidak ada soal.
Selama ini masyarakat konsumen sudah terbiasa menikmati minuman alkohol fabrikasi dengan kadar alkohol yang berbeda-beda dan harga bervariasi.
Mengatur
Gagasan melegalkan moke bukan berarti membiarkan moke itu bebas diproduksi dan dikonsumsi.
Menurut wakil ketua DPRD Provinsi NTT, Alexander Take Ofong, rencana Gubernur Laiskodat melegalkan moke dalam artian mau mengatur.
Terobosan ini perlu didukung karena konsepnya adalah perlindungan dan pencapaian pendapatan ekonomi warga yang memproduksi dan yang menjual moke. Juga akan berpengaruh terhadap adanya Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurutnya, peran media adalah ikut mensosialisasikan konsep ini. Jadi mengatur peredaran moke itu sampai dengan di tempat dan siapa-siapa saja yang boleh membeli dan mengonsumsi moke.
Moke tidak dijual bebas serampangan tapi ada aturannya. Sebetulnya terobosan ini akan sangat membantu mulai dari proses produksi sampai konsumsi karena adanya perlindungan.
Moke yang diproduksi pun tentu yang berkualitas baik. Penjualannya pun diatur secara baik dan tepat. Tidak semua orang bisa beli dan tidak semua orang bisa minum.
Moke yang dijual juga tentunya adalah moke yang sudah berlabel. Akan ada Peraturan Gubernur (Pergub) dan juga Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur soal moke ini.
Anggota DPRD provinsi dari partai PKPI, Oswaldus punya pikiran yang sama dalam hal pelegalan moke oleh pemerintah provinsi NTT. Menurutnya, melegalkan moke sejalan dengan upaya mempertahankan nilai sosial-budaya dan ekonomi di baliknya.
“Saya dari dulu mendorong agar moke dapat dilegalkan produksinya, karena selain punya nilai sosial budaya yang tinggi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, moke dapat dimanfaatkan untuk pestisida organik dan juga dapat bermanfaat sebagai alkohol untuk kepentingan di rumah sakit,” jelasnya.
Menurutnya, moke akan menjadi masalah jika tata niaga atau distribusinya tidak diatur secara baik. Apabila distribusinya diatur baik maka pengrajin moke ini dapat menikmati keuntungan yang besar.
“Dengan tata niaga dan distribusi yang baik maka tingkat kriminal yang diakibatkan karena ‘mabuk’ moke dapat diminimalisir,” kata Oswaldus.
Ia pun mendorong agar perusahan daerah berperan dalam urusan ini. Perusahaan daerah harus mengambil peran, bila perlu monopoli untuk pemasaran moke ini.
Langkah gubernur melegalkan moke juga disambut baik oleh ketua STFK Ledalero, Otto Gusti Madung. Awal desember lalu, Otto Gusti mengatakan bahwa moke sudah lama menjadi minuman tradisional rakyat di NTT yang sarat dengan nilai kultural yang tinggi.
Menurutnya, inisiatif Gubernur Laiskodat melegalisasi moke dapat disambut positif apabila hal tersebut dapat memperkuat posisi rakyat penghasil moke dan tidak menjadi lahan para kapitalis mengeruk keuntungan dengan mengeksplotasi rakyat penghasil moke.
Penulis: Elvan De Porres, Engky Ola, Irenius J A Sagur
Artikel ini dimuat pertama kali pada media cetak EKORA NTT (Media cetak terbitan Maumere, Flores)