Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Birokrasi kesehatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan sedang bergejolak. Sebabnya banyak. Belum kelar masalah pemindahan dokter yang baru ditempatkan, kini ada lagi soal pengangkatan CPNS menjadi Kepala Puskesmas (voxntt.com, 15 Mei 2019). Belum selesai kasus gizi buruk, muncul masalah gedung Rumah Sakit Boking yang retak dan bocor (Pos Kupang, 22 Mei 2019).
Di kasus pemindahan para dokter yang baru ditempatkan, berhembus kabar tiga dari enam dokter adalah anak pejabat di TTS. Satu di antaranya adalah anak Bupati TTS (Pos Kupang, 20 Mei 2019). Di kasus pengangkatan CPNS menjadi Kepala Puskesmas, ada berita yang diangkat adalah anak Sekda TTS.
Itu beberapa fakta yang sudah menjadi rahasia umum di TTS. Masih banyak soal lain yang bisa saja ada di sana. Realitas seperti itu jelas menggambarkan kualitas birokrasi secara umum dan khususnya di bidang kesehatan di daerah ini. Memilukan dan amat memalukan.
Istri dan Anak Meninggal, Yafred Nekat Polisikan Dokter dan Bidan RSUD SoE
Memilukan karena praktik buruk birokrasi seperti itu terjadi di daerah ini. Praktik busuk demikian dilakukan di sebuah provinsi dengan tingkat kesehatannya masih berada di zona merah. Memalukan karena dugaan banyak pihak akan proyektisasi program pembangunan dan polisisasi birokrasi mendapatkan kepenuhannya dengan sangat vulgar.
Patologi birokrasi
Roh birokrasi kereta api ala Gubernur Viktor B Laiskodat rupanya salah dipahami oleh elite kekuasaan di TTS dan beberapa daerah lain di NTT. Disebutkan, birokrasi kereta api adalah model birokrasi yang dapat melayani masyarakat tidak saja tepat tetapi juga cepat.
Birokrasi dengan model demikian hanya dapat berjalan baik jika gerbong birokrasi itu lepas dari cengkeraman kepentingan, apa pun bentuknya. Ini yang belum dipraktikaan dibanyak daerah di NTT.
Gubernur NTT Sebut TTS Tidak Maju karena Pemimpin “Namkak” dan Tolol
Faktanya, masih banyak birokrasi di sini yang gemar dipraktikan karena ragam kepentingan, terutama kepentingan politik. Model balas jasa politik dan politik klik serta nepotisme masih kuat dipraktikan oleh elite kekuasaan.
Fakta seperti inilah yang disebut oleh banyak ahli sebagai patologi birokrasi. Mengutip Weber, Osborn & Plastrik (dalam Haryanto, 2007) menyebutkan prinsip-prinsip birokrasi yakni birokrasi tersentralisasi dan hirarkis, birokrasi yang dituntun oleh aturan, birokrasi yang terstandarisasi dan impersonal, birokrasi yang menggunakan proses-proses administratif, dan birokrasi yang memilih staf berdasarkan ujian bukan kriteria subyektif.
Sementara itu, Harianja (1998) pernah membuat peta patologi birokrasi. Disebutkan, ada beberapa patologi dalam birokrasi. Beberapa di antaranya ialah patologi berkaitan dengan persepsi, perilaku dan gaya manajerial; patologi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan; patologi berkaitan dengan tindakan birokrasi yang melanggar hukum; patologi berkaitan dengan situasi internal dalam berbagai instansi pemerintahan; dan patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku disfungsional.
Birokrasi Minus Prinsip
Merujuk pada prinsip birokrasi yang disampaikan Osborn dan Plastrik serta patologi birokrasi yang dipetakan Harianja di atas, mudah kiranya menilai model dan praktik birokrasi di TTS dan di beberapa daerah di NTT.
Menyebut birokrasi yang dituntun oleh aturan menjadi sulit ditemukan di sana. Sebab, membaca kasus di atas, sulit untuk tidak mengatakan bahwa birokrasi sudah dijalankan sesuai aturan.
Proses pemindahan dan penunjukan dokter yang terjadi khas membuktikan bahwa birokrasi di bidang kesehatan di Kabupaten TTS jauh dari aspek impersonal. Yang dipraktikan di sana ialah birokrasi yang amat personal. Sebab, mutasi dan penunjukan dokter dengan model seperti itu berkaitan dengan posisi atasan dari mereka yang dimutasi dan yang ditunjuk itu. Jika bukan sebagai bupati dan atau karena ayahnya seorang sekretaris daerah, mungkin kebijakan seperti itu tidak akan nampak ke permukaan.
Berkaitan dengan dua soal di atas, yang terjadi di sana memang khas birokrasi yang memilih staf berdasarkan kriteria subyektif dan bukan obyektif. Mutasi dan penunjukan dokter yang dilakukan bukan karena kapasitas dan urgensitas jelas merupakan bentuk praktik birokrasi subyektif.
Memeriksa mutasi dokter dan penunjukan dokter karena kepentingan keluarga atau karena berbasis politik, jelas merupakan bagian dari patologi birokrasi. Gaya manajerial seperti itu jauh dari kadar birokrasi meritokrasi yang menjadi popular saat ini.
Mutasi dan penempatan orang karena hanya karena kepentingan jelas mangabaikan aturan hukum yang berlaku di ASN. Ketika banyak anggota keluarga dari elite kekuasaan di TTS yang dimutasi atau diangkat menjadi kepala, kondisi ini bisa saja menjadi situasi internal dalam birokrasi di sana.
Ketakutan kita semua ialah praktik semacam itu sering terjadi dan kemudian didiamkan saja karena beragam kondisi sosial dan konteks budaya setempat. Efek patronase khas dipraktikan di TTS jika memang demikian.
Di titik yang lain, fakta robohnya bangunan rumah sakit yang belum dipakai khas membuktikan bahwa program pembangunan di sana lebih sering diproyekan. Setiap program pembangunan yang diubah menjadi proyek cenderung mengabaikan kualitas program.
Dengan begitu, birokrasi menjadi sangat disfungsional. Birokrasi bersifat fungsional jika dan hanya jika berkaitan dengan elite kekuasaan di dalam birokrasi itu. Sulit nian sebuah program menjadi berkualitas kalau sebuah program dilakukan dengan azas memerhatikan keluarga dan atau pendukung saat kontestasi dulu.
Ke depan
Model birokrasi kereta api ala Gubernur VBL sulit terwujud jika gerbong di belakangnya sarat kepentingan keluarga dan politik. Semua pihak harus segera meninggalkan cara dan model implementasi birokrasi yang penuh dengan kepentingan agar masyarakat dapat dilayani dengan baik.
Perlu dipahami bahwa beragam kasus kesehatan, terutama gizi buruk di NTT, salah satunya disebabkan karena praktik birokrasi yang acak adut. Penempatan tenaga kesehatan yang tidak merata, kualitas SDM tenaga kesehatan, buruknya fasilitas, dan busuknya praktik menajemen merupakan bentuk nyata dari apa yang disebut birokrasi yang dirundung kepentingan.
Bola birokrasi di daerah sekarang ada di kepala daerah. Ke depan, jika ingin agar NTT segera keluar dari berbagai masalah kesehatan, kepala daerah harus dapat menerapkan birokrasi berbasis meritokrasi; birokrasi karena kinerja dan bukan karena kepentingan.
Untuk kasus TTS, bijak kiranya jika semua elemen terkait dengan birokrasi kesehatan diperiksa. Tujuannya agar setiap yang memimpin TTS ke depan, bisa segera sadar dan tahu bahwa model kebijakan yang sarat kepentingan berujung pada buruknya kondisi pelayanan umum di sana.