Oleh: Edi Danggur
Paulo Coelhe dalam bukunya yang berjudul Seperti Sungai yang Mengalir bercerita bahwa ia mempunyai penggilingan tua di sebuah desa kecil di Prancis. Penggilingan itu dikelilingi pohon-pohon yang memisahkannya dengan tanah pertanian di sebelahnya.
Suatu Ketika ia didatangi tetangga pemilik rumah yang mempunyai tanah pertanian di sebelahnya. Usianya sudah 70-an tahun. Si petani itu menyampaikan protes agar pohon-pohon milik Coelhe dekat rumahnya itu ditebang. Sebab sering dedaunan dari pohon-pohon itu berguguran dan menumpuk di atas atap rumahnya.
Paulo Coelhe menolak protes petani tua itu. Sebab ia tidak mengerti mana mungkin orang desa yang sudah akrab dengan alam, justru minta menebang pohon-pohon miliknya itu. Hanya karena daun pohon-pohon itu bakal menimbulkan masalah pada atap rumahnya.
Nasihat yang Gagal
Di waktu yang lain, Paulo Coelhe mengajak petani tua itu minum kopi bersamanya. Ia hendak menasihati petani tua itu agar mengurungkan tuntutannya menebang pohon-pohon itu.
Coelhe pun menawarkan ganti rugi yang besar manakala suatu ketika daun dari pohon-pohon di sekitar penggilingannya menimbulkan kerusakan pada atap rumah si petani tua itu. Di luar dugaan, petani tua itu menolak dengan tegas skema ganti rugi yang ditawarkan Paulo Coelhe tersebut.
Paulo Coelhe mulai marah. Ia menawarkan membeli sekalian tanah pertanian dan rumah si petani tua itu. Berapa pun harganya, Paulo Coelhe siap membayar. Ia pun menasehati petani tua itu. Usiamu dan istrimu sudah tua, pantasnya hanya menikmati hidup. Tak perlu stres karena mengalami musim dingin dan gagal panen di desa.
Labih lanjut, Paulo Coelhe menasehati, dengan uang penjualan rumah dan tanah pertanian itu, si petani tua bisa membeli rumah di kota, menikmati hidup dengan segala fasilitas yang ada di kota.
Lagi-lagi di luar dugaan, si petani tua itu menolak dengan tegas nasehat dan bujuk rayu Paulo Coelhe tersebut. “Rumah dan tanah pertanian saya tidak untuk dijual. Saya lahir dan dibesarkan di sini dan saya sudah terlalu tua untuk pindah”, kata si petani tua.
Paulo Coelhe pun merenung dengan pertanyaan-pertanyaan ini: Kenapa si petani tua itu tidak mau menjual rumah dan tanah pertaniannya itu? Mengapa si petani tua itu tidak ingin punya uang banyak, punya rumah di kota, bisa hidup bersenang-senang di hari tua?
Dari permenungannya, Paulo Coelhe pun menemukan penyebabnya: Seluruh hidup si petani tua itu hanya berupa satu cerita, dan ia tidak mau mengubah cerita itu. Pindah ke kota berarti terjun ke dunia yang masih asing baginya. Dunia yang memiliki nilai-nilai berbeda. Barangkali si petani tua itu menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru di kota.
Menasihati dengan Garam
Apa yang salah dari nasehat-nasehat yang disampaikan Paulo Coelhe kepada si petani tua itu? Menurut penulis, ada dua hal yang menjadi penyebab kegagalan Paulo Coelhe menasehati si petani tua itu.
Pertama, Paulo Coelhe menawarkan solusi tidak sesuai dengan kompetensi di petani tua itu. Menawarkan sesuatu hal yang berada jauh di luar diri si petani tua itu. Uang banyak dan hidup di kota adalah sesuatu yang jauh dan tidak terbayangkan oleh si petani tua itu.
Kedua, Paulo Coelhe mempunyai kepentingan (interest) dalam semua nasehat yang ia berikan kepada si petani tua itu. Sehingga nasehat-nasehat itu menjadi tidak objektif. Bukan demi kepentingan si petani tua tetapi demi kepentingan pribadi Paulo Coelhe.
Atas dasar itu, kaum bijak mengatakan, kalau hendak menasehati orang lain: nasehatilah dengan garam! Mengapa harus garam? Sebab garam pasti ada di setiap rumah tangga. Garam ada dimana-mana, hampir setiap masakan memerlukan garam. Maka semua manusia, selagi masih tetap membutuhkan makanan, pasti selalu berhubungan dengan garam.
Dengan demikian, menasehati dengan garam, artinya: berikanlah nasehat kepada seseorang berdasarkan apa yang sudah dimilikinya, dan bantuan nasehat itu semata-mata demi kepentingan orang yang diberi nasehat, membuat orang yang dinasehati menjadi lebih enak dan nyaman. Bukan demi kepentingan tersembunyi dari si pemberi nasehat.
Dalam konteks yang lebih luas, kalau hendak menasehati masyarakat untuk bergerak maju dalam pembangunan, maka bangunlah masyarakat itu sesuai dengan kompetensi mereka dan sesuai dengan kompetensi daerah dimana mereka tinggal.
Jika masyarakat itu tinggal di pegunungan dan hanya punya kompetensi untuk bertani, maka beri mereka nasehat bagaimana mereka semakin mencintai dunia pertanian. Bangun kreativitas mereka untuk meningkatkan hasil pertanian mereka dengan memperkenalkan bibit unggul dan akses ke sumber modal serta teknologi pertanian yang memungkinkan terjadinya optimalisasi hasil pertanian mereka.
Begitu pula kalau masyarakat itu tinggal di tepi pantai dan bermatapencaharian sebagai nelayan. Berikanlah nasehat kepada mereka agar semakin mencintai lingkungan laut dan perikanan. Beri mereka motivasi agar ikut menjaga kebersihan laut agar ikan-ikan bisa berkembang biak dengan baik. Beri mereka akses ke sumber modal dan teknologi tangkap ikan yang lebih baik. Agar hasil tangkapan ikan lebih optimal.
Kalau nasehat yang diberikan tidak sesuai dengan kompetensi masyarakat dan daerahnya maka nasehat itu ibarat mengajak pemburu berburu di laut atau mengajak nelayan mengail di hutan. Hasil yang diperoleh hanya kesia-siaan belaka!
Kompeten dan Niat Baik
Dalam diri orang yang menjadi penggerak masyarakat yang sekaligus sebagai pemberi nasehat (penasehat), prasyarat kompeten dalam bidang tertentu saja tidak cukup, akan tetapi ia juga harus punya niat baik.
Memberikan nasehat tanpa kompetensi ibarat orang buta menuntun orang buta, semua terjerumus ke dalam lubang yang sama. Masalah tidak terselesaikan dan justru berpotensi memunculkan masalah baru.
Untuk itu datanglah minta nasehat pada orang yang kompeten. Jika seorang petani gagal panen, datanglah minta nasehat kepada ahli pertanian. Kalau para petani ada sengketa batas kepemilikan lahan, datanglah minta nasehat kepada ahli hukum.
Jangan datang minta nasehat kepada filsuf kalau gagal penen. Jangan pula datang kepada penyair kalau minta nasehat dalam hal terjadi sengketa kepemilikan lahan. Bovi noli imponere stratum! Jangan taruh pelana di atas sapi. Jangan bebankan seseorang dengan pekerjaan yang tidak sesuai kompetensinya.
Sebab filsuf dan penyair itu hanya menjual kata-kata indah dan maunya hanya ingin menggembirakan dan menyenangkan semua orang. Tidak peduli apakah masalah petani itu dapat teratasi atau tidak.
Dari sisi orang yang orang yang diminta nasehat, ia harus memberikan nasehat sesuai dengan kompetensinya, atau harus memastikan dirinya kompeten dalam bidang tersebut. Jangan memberikan nasehat untuk hal-hal di luar keahlian. Sciunt haec coqui! Untuk masak-memasak, serahkan ke juru masak, karena ia sangat mengerti hal itu.
Di samping kompeten tetapi lebih dari itu adalah niat baik. Harus ada niat baik agar orang yang dibantu atau diberi nasehat itu keluar dari persoalan yang dihadapinya. Bukan sekadar mendapat bayaran, dalam hal pemberian nasehat disepakati dengan bayaran.
Bagi orang yang punya niat baik, ia hanya mengeluarkan barang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik, sebab yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya. Atau kalau diibaratkan dengan pohon, setiap pohon dikenal dari buahnya. Tidak ada pohon baik yang menghasilkan buah busuk. Semoga!
Penulis adalah Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta.