Borong, Vox NTT-Nuansa hening seketika di tengah yel-yel perjuangan mahasiswa yang menggelora. Orasi yang berapi-api dari para aktivis pun berhenti sejenak. Musik instrumental di atas mobil pick up pun mulai diputar.
Mobil pick up itu diparkir tepat di depan kantor Bupati Manggarai Timur (Matim), NTT. Di kelilingnya ada massa aksi aliansi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Manggarai.
Terik mentari di Lehong, pusat Pemerintahan Kabupaten Matim pada Kamis (02/07/2020) siang, cukup menyengat kulit. Namun, semangat Ilak Sau tampak tidak memudar. Ia kemudian naik ke atas mobil dari kerumunan massa aksi.
Kader PMKRI Cabang Ruteng itu tampak menguasai intonasi, lafal, dan gaya bahasa. Ia membawakan puisi berjudul “Alamku Berkata”.
“Hai sang raja, buka matamu. Buka hatimu. Alam menangis. Alam gelisah, tapi engkau menutup mata. Engkau abaikan. Engkau tidak memikirkan hal itu. Bantu kami, bantulah kami. Emas kami adalah alam. Emas kami adalah kehidupan,” demikian penggalan puisi yang dibawakan Ilak.
Nada instrumental yang memenuhi harmonisasi bunyi terus mengiringi pembacaan puisi gadis berparas cantik itu. Sementara lingkungan sekitar tampak hening selama 5,55 menit durasi Ilak membawakan puisi.
Ekspresi wajah Ilak tampak sendu pada rima dan irama tertentu saat membawakan puisinya. Tekanan, lafal dan intonasi tampak ia kuasai.
Untaian puisi Ilak bukan tanpa sebab. Ia dan puluhan aktivis lainnya datang berunjuk rasa menolak rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Matim.
Ketua GMNI Cabang Manggarai Rikardus Joman mengatakan, lahan di Kampung Lingko Lolok menjadi target penambangan batu gamping.
Selama ini, kata dia, tanah di Lingko Lolok merupakan lahan produktif yang menjadi sumber kehidupan bagi warga. Di sana, bisa dikembangkan pertanian, peternakan dan pariwisata.
Tak hanya itu, Riki menyebut Lingko Lolok sebagai suatu kelompok masyarakat tentu saja tidak terlepas dari ikatan entitas kebudayaan. Warga Lingko Lolok adalah masyarakat yang beradat istiadat dan berbahasa sebagai ciri khas eksistensinya di tengah masyarakat lain.
Ciri khas tersebut telah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Karena itu, rencana relokasi hunian oleh perusahaan tambang tentu saja mengancam keberadaan adat warga Lingko Lolok.
Ia menambahkan, pertambangan merupakan kegiatan untuk mendapat logam, mineral, mangan, emas, batu gamping, dan lain-lain. Kegiatan ini tentu saja menghancurkan gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung.
Riki menegaskan, penambangan batu gamping di Lingko Lolok nanti bakal menghancurkan gunung, hutan, dan lahan produktif warga setempat.
“Termasuk warga itu sendiri serta entitas kebudayaan masyarakat Lingko Lolok,” ujarnya.
Menurut dia, apabila penambangan batu gamping di Lingko Lolok nanti tidak dibatalkan, maka bakal berdampak merusak alam dan kebudayaan setempat.
“Aktivitas pertambangan itu hanya menguntungkan korporasi saja, tidak menguntungkan masyarakat lokal,” tegas Riki.
Senada dengan Riki, Ketua PMKRI Cabang Ruteng Hendrikus Mandela mengatakan, Bupati Matim Agas Andreas telah mengeluarkan izin lokasi pabrik semen di Luwuk. Sementara kewenangan pemerintah pusat nanti akan menerbitkan izin eksploitasi tambang.
Jika izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan, maka menurut Heri, pemerintah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Tak hanya itu, kata dia, pemerintah nanti melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang peta wilayah ekoregion Indonesia. Hal ini dituangkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.8/MENLHK/SETJEN/PLA.3/1/2018.
Bupati Matim Agas Andreas dalam kesempatan dialog dengan mahasiswa membenarkan izin lokasi pabrik semen sudah ia keluarkan, tetapi bukan izin usaha produksi pertambangan.
“Izin lokasi itu begini aturannya, ada orang, ada investor mau investasi di situ. Saya kasih contoh misalnya, kemarin ada investor datang untuk pembangunan listrik di Manggarai Timur. Dia butuhkan lahan di sini, ini contoh ini, lahan di sini cocok untuk tanam gamal. Lalu kita beri izin lokasi,” kata Agas mencotohkan.
Aturannya, lanjut dia, setelah izin lokasi diberikan, investor kemudian melakukan negosiasi dengan masyarakat. Tiga tahun diberikan kesempatan kepada investor untuk bernegosiasi mendapatkan tanah dari masyarakat.
Jika investor belum mendapatkan tanah 50 persen dari total tanah yang diminta, maka aturannya boleh diperpanjang. Kalau tidak dapat, maka dengan sendirinya izin lokasi dibatalkan.
Agas kembali menegaskan, pihaknya hanya memberikan izin lokasi pabrik semen di Luwuk. Sedangkan izin usaha produksi pertambangan merupakan kewenangan pumerintah pusat, berdasarkan UU Minerba terbaru.
“Kita baru pada tahap izin lokasi. Beri kesempatan kepada perusahaan karena dia mau di situ, karena berdasarkan penelitiannya ini cocok untuk pabrik semen dan ada bahan baku batu gamping. Dia bilang kami minta tahun ini, kita kasih,” katanya.
Menurut dia, hal ini tentu lahir dari berbagai pertimbangannya. Pertama, berdasarkan pertimbangan Badan Pertanahan. Kedua, pertimbangan dari Badan Tata Ruang.
“Dasar dari pertimbangan itu, dasar kami memberikan izin lokasi. Supaya dia (perusahaan) mulai bernegosiasi dengan masyarakat soal tanah,” tegas Agas.
Sedangkan terkait terancam kehilangan budaya, ia menegaskan, pindah kampung di Manggarai Timur sering terjadi. Agas sendiri sudah menyampaikan ini kepada masyarakat Kampung Luwuk.
Agas mengangkat contoh, kampungnya Cekalikang sudah pindah lima kali.
“Saya omong ini, sama dengan yang saya sampaikan di Luwuk ini, hanya mungkin kalian tidak syuting. Artinya, supaya kita memberikan pemahaman. Seolah-olah kalau pindah kampung, budaya kita hilang sama sekali. Tidak, pengalaman, kampung saya pindah lima kali. Yang kelima sudah di Cekalikang,” tandas Agas.
Ia menjelaskan, proses pindah kampung tentu saja ada ritusnya. Ritus pertama, tokoh adat melakukan ritual peletakan sumpah. Kedua, yakni ada ritual congko lokap (peresmian rumah adat).
Penulis: Ardy Abba