Oleh: Febry Suryanto
Situasi politik di Indonesia pada tahun 2020 ini bakal marak dan ramai dengan berlangsunggnya perhelatan politik akbar yakni pemilihan kepala daerah secara serentak sebagai bentuk perwujudan cita-cita negara demokrasi.
Tahapan Pilkada sempat tertunda karena wabah Covid-19, kini tahapan tersebut kembali dilanjutkan. KPU kembali menjadwalkan pemungutan suara Pilkada serentak tahun 2020 pada tanggal 9 Desember 2020.
Seperti yang termaktub dalam bunyi pasal 8C PKPU No 5 Tahun 2020 bahwa pelaksanaan pemungutan suara serentak yang ditunda karena terjadi bencana non alam Covid-19 dilaksanakan pada 9 Desember.
Pilkada 2020 akan dilaksanakan serentak di 224 Kabupaten dan 37 kota di Indonesia. 270 Kota/Kabupaten ini tersebar di 9 Provinsi.
Menjelang perhelatan Pilkada serentak ini, seluruh elit politik dan partai politiknya hampir pasti tidak tinggal diam. Semuanya gencar melakukan upaya untuk menarik simpati rakyat.
Salah satu upaya yang lazim dan masif dibuat oleh para elit politik dan partainya ialah praktik politik pencitraan. Hal ini tidak terlepas dari penetrasi piranti elektronik, terutama piranti elektronik berbasis internet khususnya media sosial yang merupakan medium komunikasi identitas.
Peran media sosial sebagai bentuk komunikasi politik sangatlah dibutuhkan. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis setidaknya lebih dari 171 juta jiwa atau hamper 70% penduduk Indonesia menggunakan internet (Republika, 18/02/20).
Media sosial tidak hanya digunakan untuk berinteraksi tetapi sarana ampuh para elit politik dalam meningkatkan popularitas diri serta mendongkrak elektabilitas. Media bertendesi pada praktik proyek pencitraan yang sarat industrif karena melibatkan upaya komodifikasi diri menjadi kandidat yang layak jual.
Bahaya Politik Pencitraan
Bukan tidak mungkin, pesta demokrasi kali ini tidak terhindar dari dipraktikkannya politik pencitraan. Dalam ruang publik, pencitraan identik dengan konotasi negatif karena publik ditipu oleh personal branding politikus tertentu dalam membungkus identitasnya dalam rangka meraup margin elektoral pun margin elektabilitas.
Ruang politik dipandang sebagai sebuah arena bertarung yang membutuhkan strategi jitu masing-masing elit. Politik pencitraan diyakini sebagai salah satu strategi jitu.
Tidak mengeherankan jika elit politik masif mempraktikannya. Menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997-1998 ditemukan fakta bahwa strategi politik pencitraan para elit politik dan partainya merupakan kunci utama kemenangan.
Politik pencitraan merupakan sebuah gaya para elit politik dalam mewujudkan cita-cita politiknya melalui pembangunan citra-citra tertentu terhadap dirinya. Citra yang dibangun merupakan sesuatu yang sengaja dilakukan sebagai strategi dalam mendulang suara rakyat.
Media sosial merupakan sarana dan syarat utama dalam membantu upaya pencitraan diri para elit politik. Konten-konten dibuat semenarik mungkin.
Narasi-narasi positif tentang para elit politik atau kandidat tersebar begitu cepat. Padahal karakter aslinya jauh panggang dari api yakni tidak dibekali kreadibilitas, kapabilitas dan integritas diri.
Maka, jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan mempraktikkan politik pencitraan.
Politik semacam ini identik dengan politik rekayasa diri sebab mereka merekayasa diri untuk mengelabui masyarakat.
Gaya politik macam ini sifatnya narsisme yang mana para elit politik hanya menonjolkan performance yang jauh berbeda dengan kualitas dan karakter diri sesungguhnya.
Pencitraan diyakini sangat efektif untuk meningkatkan atau mengangkat elektabilitas diri dan golongan.
Bahaya terbesarnya adalah para pemimpin yang menang lewat politik pencitraan akan mengalami kesulitan dalam merekonstruksi masalah mendasar rakyat.
Tugas untuk menciptakan kesejahtraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat diabaikan begitu saja. Ketika memegang tampuk jabatan, ada tendensi kebingungan terhadap apa yang harus dilakukannya sebagai pemimpin.
Berbagai program yang dicanangkan justru tidak diimplementasikan dengan baik.
Umumnya mereka hanya lihai beretorika, tetapi dalam tatanan implementasi justru mandul dan tidak mampu memberikan harapan kepada publik.
Pemimpin-pemimpin seperti ini tidak memiliki orientasi jelas dalam membangun suatu daerah. Anggaran publik justru digunakan untuk mengatasi masalah yang bukan masalah.
Ketika dikritik publik mereka berusaha mencari pembenaran-pembenaran di media dibalik bau busuk hasil kepemimpinannya. Para politisi memanfaatkan konsep citra untuk meningkatkan elektabilitas. Inilah bahaya dari politik pencitraan.
Politik sesungguhnya merupakan kompetisi yang sehat. Namun, persaingan dan kontradiksi telah memaksa orang berusaha sedemikian rupa, bahkan citra diri yang buruk.
Dalam masa kampanye seperti yang terjadi kini, kompetisi buruk seperti itu dapat saja terjadi. Meningkatkan literasi digital bagi masyarakat adalah solusi tepat dalam menghadapai style politik pencitraan para kontestan serta partainya pada pilkada mendatang.
Literasi digital merupakan tawaran solutif terhadap masifnya geliat politik pencitraan.
Tingkatkan Literasi Digital
Dalam menghadapi arus pencitraan yang masif melalui media sosial maka masyarakat pemilih perlu meningkatkan literasi digital.
Presiden Jokowi sendiri pernah mengimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk meningkatkan literasi digital sebagai upaya menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Selain itu, literasi digital juga berguna untuk melawan informasi palsu dan berita bohong yang tersebar meluas di media sosial, sebab dari 132 juta pengguna internet di Indonesia ada 65% yang cepat percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa pengecekan terlebih dahulu (The conversation, 28/01/19).
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna internet di Indonesia terjebak oleh kebohongan informasi.
Masyarakat yang seharusnya menjadi subjek teknologi, bukan objek. Dalam konteks demokrasi (Pilkada 2020), kemajuan teknologi seharusnya menguatkan demokratisasi masyarakat, bukannya dengan cepat percaya pada pencitraan palsu para elit politik. Maka, literasi digital menghadapai Pilkada 2020 sangat urgen.
UNESCO (2018) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital.
Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak menjelang perhelatan pesta demokrasi pilkada mendatang. Jika masyarakat tidak dibekali oleh kecerdasan yang memadai dalam menggunakan teknologi, niscaya akan menjadi lahan subur bagi terwujudnya praktik politik pencitraan.
Literasi digital juga dapat mendorong terciptanya atmosfer politik yang sehat. Jika masyarakat dibekali dengan kecerdasan teknologi yang memadai maka tidak akan terjebak dalam style politik pencitran para kontestan.
Dengan literasi digital yang memadai masyarakat tidak cepat terpengaruh dengan image politik yang dibangun oleh para penggagum politik pencitraan. Jangan membiarkan media sosial dikuasai oleh kalangan elit politik tertentu.
Pilkada 2020 menjadi catatan kritis bagi para elit untuk mengembalikan citra politik pada tempatnya. Ruang politik seharusnya memberikan kepuasan publik terhadap kesejahteraan bagi seluruh realisasi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang tertera dalam slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat terhadap pemenuhan cita cita bersama menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Citra politik yang baik akan membuat rakyat puas serta berimplikasi bagi elit politik dalam mengambil segala kebijakan demi tercapainya bonum commune.
Penulis tinggal di Unit Mikhael Ledalero