Oleh: Erick Adu
Siswa kelas 3 SMA Seminari Pius XII Kisol
Natal sudah di depan mata. Untuk tahun ini, di beberapa wilayah di tanah air, momen hari raya Natal akan diawali dengan pemilihan kepala daerah pada 9 Desember mendatang. Konsentrasi publik tak pelak mengarah pada euforia pilkada. Publik mulai harap-harap cemas. Tak sedikit yang mengajukan prediksi, membangun diskusi, dan bahkan saling berargumentasi perihal calon yang paling dijagokan untuk menduduki jabatan pemerintahan 5 tahun mendatang.
Kenyataan ini sangat boleh jadi merepresentasikan kegairahan masyarakat dalam berdemokrasi. Artinya, melalui keterlibatan dalam diskursus seputar suksesi para cratos itu, masyarakat tidak lagi sekadar menjadi penonton, tetapi menjadi subyek yang aktif berpartisipasi dan memberikan kontribusi terhadap penyelenggraaan demokrasi.
Namun, ironisnya kegairahan berdemokrasi itu terkadang tidak dibarengi oleh spirit dan komitmen untuk membangun iklim penyelenggaraan pilkada yang sehat. Tengok saja, masih banyak persoalan-persoalan pelik yang menggerogoti kehidupan politik masyarakat pada waktu-waktu menjelang penyelenggaraan kontestasi pemilihan kepala daerah kali ini.
Untuk konteks pilkada Manggarai misalnya, Bawaslu Manggarai sudah melaporkan 6 akun palsu ke Bawaslu RI. Akun-akun palsu itu dilaporkan karena memposting ujaran kebencian terhadap lawan politik dan menyebarkan hoaks yang berpotensi menimbulkan konflik pada pilkada Manggarai, 9 Desember mendatang (Pos Kupang, 25/11/2020).
Hal ini tentu saja menimbulkan kecemasan. Alih-alih mendorong proses demokratisasi, kasus-kasus seperti ujaran kebencian dan diseminasi hoaks justru akan menodai keabsahan praktik demokrasi yang sejatinya mesti mencerminkan prinsip kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), dan keadilan (justice) (Donald, 1997:1).
Oleh karena itu melalui tulisan ini, pertama, penulis akan sedikit membeberkan permasalahan sosial yang marak terjadi di tengah masyarakat menjelang hari-hari pilkada; kedua, menguraikan refleksi penulis tentang relevansi perayaan Natal dan Pilkada 2020; ketiga, memproposalkan pentingnya membangun solidaritas politik sebagai bentuk resistensi terhadap merebaknya perpecahan sosial yang menodai wajah demokrasi di tingkat daerah.
Perpecahan sosial
Sepanjang hari-hari menjelang pilkada, iklim politik di tengah masyarakat kian memanas. Para pendukung dari masing-masing paslon kian agresif melancarkan kritik, celaan, interupsi, bahkan hinaan kepada kubu lawan politiknya. Tak jarang, diskusi ringan yang awalnya berjalan kondusif justru berubah menjadi debat kusir yang berkepanjangan. Ironisnya perdebatan yang makin memanas itu sangat boleh jadi bermuara pada tindakan anarki dan gesekan fisik.
Akibatnya, persoalan-persoalan politik yang lebih mendasar tidak mendapatkan perhatian yang serius dari sejumlah pemangku kepentingan. Masalah urgen yang sedang dihadapi masyarakat, kebutuhan riil yang tengah dituntut oleh para citizen, lalu strategi yang bisa dirancang untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut kemudian seakan menjadi kemewahan yang sulit untuk diraih. Padahal, persoalan riil di tengah masyarakat akar rumput tersebut seharusnya menjadi salah satu anasir penting dalam menetapkan kriteria yang bisa dituntut dari para calon (Bdk. Silvianus Mongko, 2016:86).
Setali tiga uang dengan realitas riil, realitas virtual juga acapkali mempertontonkan atmosfer perpecahan sosial. Media sosial yang sejatinya menjadi locus diskusi dan saling tukar gagasan politik, justru berubah menjadi media caci maki, saling jegal, saling tuduh, atau bahkan saling hina antarpendukung paslon. Di samping itu, facebook dan whatsapp sebagai dua kanal media yang paling gandrung digunakan dalam menyalurkan informasi dan komunikasi politik selama masa pilkada ini, justru mejadi ranah persemaian bagi aneka cerita miring dan fake news.
Situasi politik seperti yang dilukiskan di atas tak pelak menimbulkan perpecahan sosial dan raibnya kehangatan dalam berpolitik. Jika dibiarkan, situasi ini akan menyulut kekacauan, memutuskan tali persaudaraan, merenggangkan relasi sosial, mengamputasi solidaritas, serta merontokkan kohesi sosial. Konsekuensi-konsekuensi tersebut sudah barang tentu bertentangan dengan nilai-nilai ideal demokrasi. Demokrasi pada galibnya mesti mencerminkan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan bersama. Jelas, pada tataran ini kita belum sepenuhnya sampai pada titik implementasi nilai ideal demokrasi dalam penyelenggaraan kontestasi pilkada.
Hemat penulis, pelbagai persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan himbauan atau perangkat hukum semata. Kita juga membutuhkan semangat dan komitmen untuk terlibat aktif dalam membangun iklim penyelenggraan pilkada yang sehat. Oleh karena itu diperlukan kesadaran kritis untuk membangun spirit moral-etis dalam kehidupan berpolitik.
Natal dan Solidaritas Politik
Nabi Yesaya dalam salah satu nubuatnya pernah berkata: bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar (Yes.9:1). Nubuat ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa kelahiran Yesus merupakan kedatangan terang besar bagi bangsa yang berjalan dalam kegelapan. Kegelapan sebagai simbol kejahatan, dosa, hukuman, dan kematian yang seringkali mewarnai kehidupan manusia, kini disingkap, lalu digantikan dengan terang berupa kebaikan, pengampunan, sukacita, dan kebenaran yang menyata melalui kehadiran Yesus Kristus ke tengah dunia.
Oleh karena itu, hemat penulis, Natal sejatinya merupakan tanda solidaritas Allah akan manusia yang terus-menerus berkubang dalam dosa. Artinya, melalui kehadiran Yesus di dunia, Allah menunjukkan solidaritasnya dengan menjanjikan kebaikan, pengampunan, sukacita, dan kebenaran.
Spirit solidaritas juga ditunjukkan oleh para gembala. Ketika para malaikat mendatangi para gembala untuk menyampaikan kabar sukacita akan kelahiran Yesus, mereka segera memberikan respon dengan pergi ke Betlehem untuk melihat bayi Yesus. Respon para gembala tersebut sebenarnya merepresentasikan keterbukaan, kerelaan, dan kesetiaan sebagai nilai dasar solidaritas untuk berjumpa dan menerima kehadiran Yesus. Inilah role of model bagi suatu spirit solidaritas. Setiap umat beriman lantas dituntut untuk mampu memaknai dan mengimplementasikan spirit solidaritas tersebut dalam praksis kehidupan setiap hari.
Jika direfleksikan secara lebih mendalam, penyelenggraan pilkada dan perayaan Natal yang hanya terpaut beberapa pekan ini, semestinya menjadi momen untuk membangun spirit solidaritas dalam kehidupan bersama. Selain merujuk pada kebersamaan dalam kelompok tertentu, solidaritas juga berkelindan erat dengan kesetiakawanan untuk mencapai tujuan dan keinginan bersama. Hal ini turut diafirmasi oleh Robert M. Z. Lawang.
Bagi Lawang, dasar solidaritas sosial adalah kesatuan, persahabatan, dan saling percaya yang muncul dari tanggung jawab dan kepentingan bersama (1985: 262). Sejurus dengan itu, partisipasi aktif masyarakat dan umat beriman dalam momen Natal dan perhelatan pilkada mesti bisa menjadi starting moment untuk membangun dan menegakkan kembali rasa kesatuan, kebersamaan, dan saling percaya dalam kehidupan bersama.
Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, kita dituntut untuk menyelami makna solidaritas di balik perayaan Natal lalu secara terbuka dan penuh kesadaran mengelaborasikannya dalam praktik penyelenggaraan pilkada. Dengan demikian, spirit solidaritas politik diharapkan mampu dipraktikkan dalam kontestasi pilkada 9 Desember mendatang. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa poin penting yang menjadi buah praktik solidaritas politik tersebut.
Pertama, membangun kesadaran kritis. Pelbagai praktik kotor kian masif dipertontonkan menjelang pilkada. Umumnya, praktik money politic dan aktus politik klientelisme menjadi patogen akut yang menyerang masyarakat. Dalam pragmatisme agenda politis tersebut, masyarakat akan diberikan imbalan berupa uang atau bantuan material, dengan syarat masyarakat pun menyediakan dukungan elektoral bagi para paslon. Di tengah masifikasi praktik demikian, spirit untuk membangun iklim penyelenggaraan politik yang sehat dan bersih mutlak diperlukan. Dalam hal ini, masyarakat perlu membangun kesadaran kritis akan pentingnya penyelenggaraan pilkada yang berasas Luber dan Jurdil. Sebab pada dasarnya rakyatlah yang memiliki dan mengendalikan kekuasaan dan kekuasaan itu dijalankan demi kepentingan rakyat (Donald, 1997:2). Oleh karena itu, sikap kritis masyarakat dalam memilih pemimpin, pada gilirannya akan turut membawa dampak positif-konstruktif bagi masyarakat itu sendiri.
Kedua, bersaing secara sehat dan mengedepankan watak toleran. Perbedaan pilihan politik dalam pilkada merupakan sesuatu yang lumrah. Namun perbedaan ini hendaknya tidak memicu disintegrasi dalam masyarakat. Juan Linz, sebagaimana dikutip Donald dalam Menggugat Pemilu (Donald, 1997:2), mengatakan, “suatu pemerintahan itu dapat disebut domkratis apabila ia memberikan kesempatan konstitusional yang teratur bagi suatu persaingan damai untuk memperoleh kekuasaan politik bagi berbagai kelompok yang berbeda”. Linz tampaknya hendak menegaskan pentingnya persaingan yang sehat dalam percaturan pilkada. Oleh karena itu, mengedepankan watak toleransi antarpendukung serta menghargai perbedaan pilihan politik merupakan cara bijak dan realisitis untuk menjamin persaingan yang sehat dalam kontestasi pilkada.
Ketiga, menyikapi langkah politik secara kritis. Sebagai subyek demokrasi, masyarakat hendaknya mampu bersikap kritis dan skeptis terhadap langkah politik yang diambil oleh para palson. Mendiskusikan masalah urgen yang sedang dihadapi, menginventarisasi kebutuhan riil yang dituntut, merumuskan strategi politik untuk menyelesaikan masalah, dan menetapkan kriteria yang bisa dituntut dari calon untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat, merupakan konkretisasi suatu kritik positif-konstruktif yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Di samping itu, etika penyampaian pendapat dan gagasan juga tidak boleh diabaikan. Masyarakat memiliki kewajiban untuk menghargai perbedaan secara santun.
Keempat, menghindari hoaks. Pada hari-hari menjelang pilkada, eskalasi informasi bohong (hoaks) kian masif dan sporadis. Hemat penulis, budaya literasi kritis dapat menjadi medium bagi masyarakat untuk membentengi diri dari masifnya penyebaran hoaks menjelang pilkada. Melalui literasi kritis, masyarakat akan diperkaya dengan kemampuan multi-perspektif sehingga dapat menguji kebenaran dan kredibilitas suatu informasi. Pembacaan berita secara jeli dan pengarusutamaan semangat verifikasi serta falsifikasi, pada gilirannya akan membantu masyarakat agar tidak terjebak dalam kubangan informasi hoaks.
Implementasi solidaritas politik dalam kontestasi pilkada 9 Desember mendatang akan menciptakan praktik demokrasi yang sejalan dengan nilai ideal demokrasi yakni kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), keadilan (justice), dan kebaikan bersama.
Dengan mengimplementasikan spirit solidaritas, kita juga turut memelihara asas pilkada yang Luber dan Jurdil. Di samping itu, melalui spirit solidaritas politik, kita sebenarnya tengah membangun tampilan iman dan relasi sosial yang proposional sehingga, pada akhirnya, dengan hati dan pikiran yang pantas, menyambut kedatangan sang Juru Selamat. Iman bukanlah kemewahan spiritual yang membuat kita terlempar jauh dari realitas sini-kini. Lebih daripada itu, iman mesti bisa berdaya kontruktif-progresif, yakni dengan menyelami dan mengubah realitas yang salah kaprah. Akhirul kalam, penulis menghaturkan selamat memilih dan selamat menanti. Kemenangan adalah milik kita semua. *