Jakarta, Vox NTT- Anggota DPR RI Benny K Harman turut berkomentar seputar kasus dugaan korupsi senilai Rp800 miliar dalam pengelolaan proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 lalu.
BKH bahkan mempertanyakan sikap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang tidak melaporkan kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Mengapa Mahfud MD Ungkap Proyek Satelit Kemenhan yg Rugikan Negara Rp800 Miliar ke publik? Mengapa tidak dilaporkan ke KPK? Ada apa? Apa tidak yakin dgn independensi KPK?Jangan sampai terjadi trial by the public opinion, peradilan jalanan.#RakyatMonitor,” cuit BKH lewat twitternya, @BennyHarmanID.
Dikabarkan sebelumnya, Mahfud MD membeberkan adanya dugaan kerugian negara sekitar Rp800 miliar terkait penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 lalu.
“Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia sudah kontrak,” kata Mahfud dalam konferensi pers virtual sebagaimana dilansir CNN Indonesia, Kamis (13/01/2022).
Mahfud juga menjelaskan duduk perkara masalah ini. Menurutnya, pada 19 Januari 2015 lalu, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Sehingga hal itu terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Bila tak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
BACA JUGA: Mahfud MD Sebut Proyek Satelit Kemenhan Rugikan Negara Rp800 Miliar
Guna mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit itu, Mahfud juga menjelaskan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit. Hal itu untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
“Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited, pada tanggal 6 Desember 2015,” jelasnya.
Meski persetujuan penggunaan dari Kemkominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016, demikian Mahfud, Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit itu kepada Kemkominfo.
Lalu, kata dia, pada tanggal 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT. Dini Nusa Kusuma (PT. DNK).
“Namun PT. DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan,” katanya.
Mahfud juga mengatakan Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan membangun Satkomhan ketika melakukan kontrak dengan Avanti Tahun 2015.
Di sisi lain, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan pihak Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu Tahun 2015-2016 yang anggarannya dalam Tahun 2015 juga belum tersedia.
“Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan,” ucap dia.
Merespons hal itu, Mahfud menjelaskan pihak Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration. Pasalnya, Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
“Lalu, pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat Negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp515 Miliar,” tuturnya.
Tak hanya itu, menurut Mahfud pihak Navayo telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Melihat hal itu, Mahfud mengatakan pihak Navayo mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemhan Namun pemerintah menolak untuk membayar. Sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
“Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo,” kata dia.
“Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” tambah Mahfud menjelaskan.
Melihat hal demikian, Mahfud mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus dugaan penyelewengan kewenangan di proyek satelit Kemhan itu diusut tuntas.
“Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” ucap dia.
Penulis: Ardy Abba