Borong, Vox NTT- Yeremias Ari mulai membuka pembicaraannya dengan menggugat praktik sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Bagi warga Padang, Desa Satar Lahing, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur itu sila terakhir Pancasila rupanya tidak berlaku bagi warga di wilayahnya.
Ada banyak keluhan yang ia ungkapkan saat reses Anggota DPRD Provinsi NTT Inosensius Fredy Mui di Lepeng, Desa Satar Lahing, Kecamatan Ranamese, Selasa (13/07/2022) siang.
BACA JUGA: Hampir Satu Miliar Dana Aspirasi NasDem Terserap di Satar Lahing
Menariknya, sebelum menyampaikan curahan hatinya, pria yang akrab disapa Iren itu deklamasikan sebuah puisi berjudul “Bersatulah Negeriku di Bawah Bhinneka Tunggal Ika”.
Puisi ini sebenarnya menggambarkan situasi masyarakat Desa Satar Lahing yang telah sekian lama belum mendapatkan pembangunan infrastruktur yang memadai oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.
Di sisi yang lain, warga di sana tetap mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dalam puisi ini bapa dewan, menuntut keadilan sosial,” ujar Iren.
Salah satu curahan hatinya yakni mengangkat kondisi jalan menuju Desa Satar Lahing yang masih rusak parah. Kondisi jalan milik Pemkab Matim tersebut tampak sudah tidak normal lagi.
Ruas jalan di sebelah barat crossway Sungai Wae Musur terdapat onggokan bongkahan batu- batu cadas yang sulit dilalui kendaraan. Batu-batu telford yang sudah tidak beraturan lagi menjadi sajian warga setiap hari.
Sobekan kenangan janji bahkan masih membekas dalam ingatan warga, namun kondisi jalannya masih tidak berubah. Janji itu pun dianggap Iren hanya sebagai bualan belaka.
“Kami sudah terbiasa jalan begini kae (kaka), sudah lama jalan ini tidak diperhatikan pemerintah,” kata Iren sambil perlahan menarik gas sepeda motornya berjalan di atas onggokan bongkahan batu- batu cadas, saat mengantar VoxNtt.com menuju crossway Sungai Wae Musur hulu.
Tidak hanya soal jalan rusak yang disampaikan saat reses yang juga dihadiri oleh Ketua DPD NasDem Manggarai Timur David Sutarto dan politisi NasDem Eduardus Ejo itu.
Iren juga menginformasikan bahwa Pemkab Matim pernah membangun jembatan Wae Musur hilir, tepatnya di Liang Niki, Kecamatan Ranamese pada tahun 2017 lalu.
Sayangnya, kata dia, meski jembatan yang telah menelan APBD II Matim sebesar Rp7 miliar, namun mubazir lantaran belum dibangun jalan masuk.
Warga lain Maksimilianus Jehaman juga membenarkan kondisi jembatan yang sudah dibangun 6 tahun lalu itu, namun hingga kini mubazir.
Maksimilianus mengaku sudah banyak anggota DPRD yang melihat kondisi jembatan tersebut, namun hingga kini belum ditindaklanjuti.
Karena itu, ia berharap agar Inosensius Fredy Mui bisa berkoordinasi dengan Pemkab Matim segera memperhatikan jembatan yang terkesan mubazir tersebut.
Bukan Jalan Provinsi
Menanggapi usulan warga tersebut, Anggota DPRD Provinsi NTT Inosensius Fredy Mui mengatakan, pihaknya memang ada niat untuk ikut memperjuangkan jalan menuju Desa Satar Lahing.
Namun niatnya itu kandas karena keterbatasan kewenangan. Jalan menuju Desa Satar Lahing, kata Fredy, adalah milik Pemkab Matim dan bukan Pemprov NTT.
Politisi NasDem itu menjelaskan, jalan milik Pemprov NTT di Kabupaten Manggarai Timur hanya ruas Bea Laing-Mukun-Mbajang.
“Jalan ini (menuju Satar Lahing) kewenangan kabupaten (Matim). Jadi, masing-masing punya kewenangan, Jangan sampai salah secara hukum kalau pemerintah provinsi yang bangun,” jelas Fredy.
Sedangkan terkait jembatan Wae Musur hilir yang sudah 6 tahun mubazir, ia berharap Ketua DPD NasDem Manggarai Timur David Sutarto bisa berkoordinasi dengan Anggota Komisi IV DPR RI Julie Soetrisno Laiskodat agar menggelar reses di wilayah itu dan datang bersama dengan utusan dari Kementerian PUPR.
“Semoga orang-orang Kementerian PUPR bisa melihat secara langsung untuk kemudian bisa dicarikan jalan keluarnya,” pungkasnya.
Jembatan Semut
Sementara itu, Ketua DPD NasDem Manggarai Timur David Sutarto memberikan kritik tajam terhadap model pembangunan Pemkab Matim untuk jembatan tersebut.
Bahkan ia menyebut jembatan tersebut layak disebut jembatan semut. Sebab hanya bisa dilalui semut, bukan manusia.
Buktinya meski sudah dibangun tahun 2017 lalu dan menelan anggaran miliaran rupiah, namun jembatan Wae Musur hilir hingga kini mubazir.
“Saya baru alami di Manggarai Timur bangun jembatan tapi tidak ada jalan. Lalu, untuk apa dia (Pemkab Matim) bangun?” tukas David.
Ia pun menyesalkan pembangunan jembatan tersebut. Padahal, lanjut David, dana pembangunan jembatan Wae Musur hilir merupakan uang rakyat.
Karena itu, tugas pemerintah adalah membangun sesuatu harus ada tujuan dan ada asas manfaatnya untuk rakyat.
“Kalau dia (Pemkab Matim) bangun tidak ada gunanya, maka untuk apa dia bangun dengan dana miliaran begitu?” ujar David.
Informasi yang dihimpun VoxNtt.com, jembatan itu belum difungsikan karena kendala pada ganti rugi lahan dari lima pemilik tanah untuk jalan masuk.
Penulis: Ardy Abba