Kupang, Vox NTT- Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (APPeK) bekerja sama dengan Indonesia Coruption Watch (ICW) melakukan survey dan pemantauan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
PIP itu merupakan salah satu program prioritas sebagai perwujudan komitmen pemerintah di bidang pendidikan. Itu terutama dalam memberikan akses pendidikan yang luas, merata, dan berkeadilan.
Setiap peserta atau kelompok sasaran PIP akan mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
KIP itu merupakan, kartu yang diberikan kepada anak usia 6 sampai 21 tahun sebagai penanda atau identitas untuk mendapatkan manfaat PIP.
Koordinator Tim Riset Bengkel APPek NTT, Alfred Ena Mau mengatakan, dalam proses pelaksanaan sejak tahun 2014/2015, pembagian KIP teridentifikasi beberapa persoalan.
Persoalan tersebut, baik dari segi keakuratan data kelompok sasaran, ketepatan sasaran atau penerima KIP, distribusi KIP maupun pencairan dana bagi penerima manfaat PIP atau pemegang KIP.
“Untuk memenuhi tujuan survey, yaitu mengidentifikasi ketepatan sasaran penerima, ketepatan manfaat dan ketepatan waktu pendistribusian KIP serta penerimaan dana PIP/KIP bagi kelompok sasaran,” kata Alfred saat melakukan presentasi hasil survey pelaksanaan PIP di Kabupaten Kupang di In and Out Restaurant, Rabu (06/06/2018).
Menurut Alfred, terdapat dua orientasi survey dalam pelaksanaan PIP di Kabupaten Kupang.
Pertama, survey Exclussion Error (SEE) yang ditujukan untuk menaksir cakupan PIP pada warga miskin atau berapa banyak warga (usia sekolah) miskin yang tidak terdaftar sebagai peserta PIP.
“Responden dari kategori Exclussion Error (EE) di Kabupaten Kupang berjumlah 130 orang yang dipilih secara acak (simple random sampling) dari data warga miskin di 13 Desa. Desa tersebut ditentukan secara acak dari presentase 4 wilayah survey ICW dan Lembaga mitra,”katanya.
Kedua, Survey Inclussion Error yang ditujukan untuk mengukur tingkat akurasi data peserta PIP atau mengukur berapa banyak warga (usia sekolah) yang tidak pantas masuk sebagai peserta PIP yang menerima manfaat dari program ini.
“Jumlah responden kategori Inclussion Error (IE) sebanyak 29 orang yang dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) menggunakan aplikasi SPSS dari jumlah total jumlah penerima KIP di Kabupaten Kupang,” ujar Alfred.
Dia menjelaskan, dari hasil pengumpulan data melalui teknik wawancara berdasarkan panduan kuisioner, wawancara mendalam, dan FGD dari responden IE dan EE serta pengumpulan data sekunder di Kabupaten Kupang yang dilaksanakan bulan Desember 2017 sampai Maret 2018, ditemukan beberapa hal:
Pertama, penentuan kelompok sasaran PIP atau penerima KIP masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari analisis statistik kemiskinan diketahui bahwa terdapat 65, 2 persen penerima KIP yang memenuhi kriteria miskin. Sedangkan 34, 8 persen tidak memenugi kriteria miskin.
“Bahkan dari hasil SEE ( terhadap warga miskin), hanya 15 persen yang menerima bantuan beasiswa. Sedangkan 86 persen tidak menerima bantuan beasiswa sama sekali, dimana dari 18 KK tersebut, 89 persen menjadi penerima KIP dan sisanya 11 persen bantuan lainnya (PKH), padahal mereka termasuk warga miskin penerima raskin, peserta JKN kategori PBI, dan ada juga yang memilih KKS,”imbuhnya.
Kedua, KIP sebagai penanda kelompok sasaran PIP, dimiliki oleh 78,9 persen. Sedangkan 21,1 persen tidak memiliki KIP.
“Kartu ini diperoleh pada byulan Juli sampai Desember 2015 (14,3 persen), bulan Januari sampai Juni 2016 (50 persen), dan pada bulan Juli sampai Desember 2016 (35,7 persen),”ungkap Alfred.
Ketiga, belum semua peserta PIP atau penerima KIP mendapatkan dana PIP, dimana terdapat 14,3 persen yang sudah mencairkan 2 kali, 57 persen, yang baru mencairkan satu kali , dan 28,6 persen yang belum sama sekali mencairkan atau mendapatkan dana PIP tersebut.
“Untuk satu sampai dua kali pencairan, masih terdapat penerima yang jumlah dananya belum sepenuhnya sesuai jumlah setiap kategori tingkatan (baru pencairan satu tahap atau satu semester). Alasan yang diterima ketika ditanyakan sisa dana PIP yang seharusnya diterima adalah bahwa dana tersebut tidak bisa dicairkan lagi atau sudah hangus (karena sudah lewat tahun pencairannya),”kata Alfred.
Keempat, kurang transparannya informasi terhadap siswa pemegang KIP dan orang tua (khususnya yang menerima KIP dari pemerintah Desa atau distributor KIP lainnya) tentang proses dan persyaratan pencairan dana PIP.
“Dampaknya pada belum diperoleh dana PIP sejak menerima KIP (ada yang sejak tahun 2015), jumlah yang diterima tidak sesuai, dan ada indikasi pencairan sepihak oleh oknum di satuan Pendidikan,”jelas Alfred
Kelima, Dana PIP/KIP menurut 56,5 persen responden penerima KIP dianggap memberikan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan Pendidikan anak. Sedangkan 43,5 persen menjawan tidak membantu.
“Kebermanfaatan ini bisa dirasakan bagi yang telah mencairkan dana PIP, sedangkan yang belum mendapatkan dana tersebut, dianggap tidak membantu. Karena ada juga pemegang KIP tetapi kesulitan memenuhi kebutuhan sekolah anak, sehingga salah satu anaknya (Pemegang KIP) tidak bersekolah lagi,”tutup dia.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba