Mbay, Vox NTT- Petani garam dewasa ini merupakan pekerjaan yang jarang dilirik pemuda.
Namun tidak bagi sekolompok pemuda di bawah asuhan Yakobus Mapa.
Jek, sapaam akrab Yakobus Mapa adalah drop out SMPS Boanio.
Pemuda asal Dusun I, Desa aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo itu bersama rekan-rekannya menyulapkan kolam alam di Nagelewa Desa Aeramo menjadi lahan garam di saat musim kemarau.
Aeramo merupakan desa perbatasan dengan kecamatan Wolowae Kabupaten Nagekeo.
Di desa ini sebagian besar potensi alamnya cukup banyak. Selain sawah irigasi, juga terdapat kolam alam yang terdapat Nagelewa yang jaraknya kurang lebih 1 km dari pesisir pantai.
Tapi masyarakat belum menfaatkan secara baik potensi itu.
Biasanya kolam alam ini di saat musim hujan baru dimanfaatkan kolam ikan. Saat kemarau, kolam ini dibiarkan begitu saja.
Namun di tangan kelompok di bawah asuhan jek, kolam alam itu diubah menjadi lahan bermenfaat untuk sawah garam.
Mereka memanfaatkan air di kolam alam itu dan menggunakan terpal dan ember bisa menghasilkan garam.
Garam merupakan komoditas yang sangat penting bagi kehidupan mayarakat. Banyangkan saja jika tidak ada garam akan hambar.
Garam tidak saja sebagai bahan konsumsi semata. Namun garam juga bisa dikategorikan dalam bahan industri, seperti industri penyamakan kulit. Masih banyak kegunaan lainnya.
Jek yang ditemui VoxNtt.com belum lama ini di lokasi sawah garam mengatakan, bekerja sebagai petani garam lebih menjanjikan dan menguntungkan dibanding kerja sawah.
“Yang saya alami kerja sawah lebih sulit bahkan hasilnya tidak sebanding dengan hasil garam. Kerja sawah empat bulan baru panen. Kalau petani garam 1 minggu kita sudah dapat uang,’ ujarnya
Jek mengatakan, cukup 20 terpal maka satu minggu petani memanen 3 ton garam. Sehingga pendapatan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan kerja sawah.
“Apalagi saat ini padi milik petani di Aesesa rata-rata banyak gagal panen. Sehingga saya lebih suka petani garam. Selain itu juga saya membuka lapangan kerja baru bagi penggannguran,” kata Jek.
Dikatakan, menjadi petani garam dengan swadaya dengan ini inisiatif sendiri. Tanpa ada dukungan dari pihak lainnya.
“Sehingga keterbatasan saya dengan lahan yang ada saya pikir lahan ini bisa berkembang kalau di dukung dengan ketersedian dari beberapa alat pendukungnya sangat banyak. Karena lahan kita ini cukup besar. Potensi garam di Desa Aeramo ke depan saya berpkir sangat bagus tinggal masyarakat dan pemerintah setempatnya bisa saling kerja sama,” ujarnya.
Kendala
Menurut Jek, pontensi garam di wilayah Desa Aeramo cukup besar. Namun hanya ada beberapa faktor kendala.
Kendala pertama, yakni masalah infrastruktur ke lokasi tambak garam. Selama ini untuk mengangkut garam, Jek masih menggunakan transportasi laut. Itu dobel biayanya.
Sebab itu, dia berharap kedepannya ada bantuan dari Pemda Nagekeo atau dinas terkait.
Masalah kedua, terkait pasaran. Selama ini hanya konsumen rumah tangga dan banyak juga yang disupplay ke nelayan-nelayan untuk pengawet ikan.
Harga perkarung bervariasi, tergantung jankauan dan jarak. Menurut Jek, perminggu hasil garam itu bisa 50-60 karung berukuran 50 kg.
Dia mengaku pekerjaan menjadi petani garam ini hanya dibutuhkan pada saat cuaca cerah atau panas.
“Satu mingu bisa menghasil uang 4 juta. Total karyawan saya 5 orang. Dengan sistem pembayaran upah karyawannya tergantung penghasilan,’ ujarnya.
Penulis; Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba