Oleh: Pius Rengka
Sebut saja, ini kejadian di sebuah negeri antahberantah. Bukan di sini. Demi mudah diingat, Lopelapet, nama pria paruh baya itu. Waktu dihitungnya telah berlalu.
Tahun 2018, tinggal kenangan. Malah sudah ditinggal kenangan. Tetapi, dia sadar, apa yang dikenang pada masa silam, juga selalu tidak pernah jelas, kecuali senyum di kulum gadis cantik sekitar rumahnya.
Senyum gadis itu, ditafsirnya sebagai naksir. Maka dengan enteng dia pun menghitung, di rumah si gadis juru senyum itu, ada lima suara. Dia menduga lima suara utuh untuknya. Nanti. Pas sesuai kata dukun, dia membatin.
Bulan April 2019. Itu bulan sungguh bikin risau. Bulan itu, sudah tidak lama lagi tiba. Tetapi tiba-tiba, Lopelapet menggendong segepok mimpi bulat bahwa dirinya bakal dipilih rakyat sekitar rumahnya. Dia yakin sekali akan dipilih, karena namanya dikenal di situ. Tenar.
Meski dia pun tak tahu pasti, apa persis isi kempanye yang tepat untuk mereka. Dia bimbang. Menjual-jual isu nama partai, dikhawatirkan cara itu akan menambah jumlah suara partai dan jumlah suara yang sama disumbangkan untuk teman satu daerah pemilihannya. Atau malah suaranya anjlok.
Jual nama calon presiden, sama saja. Khawatir justru nama presiden yang dijual itulah saja yang bakal diingat rakyat. Pilih calon presiden gampang sekali, karena hanya dua pasang calon. Ada foto pula. Bimbang dan galau.
Jual nama calon lain, membuat dia kian linglung. Maka akhirnya dijualnya nomor urut tempat di mana namanya ditulis jelas di sana, di Partai Sukamaling. Partai Sukamaling itulah tempat dia dijadikan Caleg. Calon Nomor Urut satu.
Jari telunjuknya diacungkan tinggi-tinggi ke arah langit, untuk memastikan terutama bagi dirinya sendiri dan meminta rakyat pemilih ikut merasa pantas. Cara yang sama ternyata juga telah dipakai Caleg lain. Terpaksa.
Namun, modal peneguh batin telah sempurna. Diketahuinya pasti, para tetangga rumah. Mereka sama-sama juru minum. Gemar mabuk-mabukan, dan suka hidup tidak dililit disiplin waktu sebagaimana tuntutan moral umum peringai calon legislatif yang handal. Mereka pasti memilihnya. Tetapi, dia gugup. Tenar, tak menjamin.
Tatkala diingatnya serial tuntutan kualifikasi Caleg yang dianggap mantap, dia kian galau. Legislator itu pemikir yang gemar mengembangkan cakrawala pemikiran. Pikirannya mengundang hasrat ingin tahu yang tak pupus dirundung duka. Pikirannya memberi arah sekaligus menuntun khalayak ke arah jalan yang patut.
Wawasannya luas, jika perlu wawasan Legislator itu seluas semesta. Bacaannya pun banyak. Literaturnya padat, isinya dikunyah setiap hari agar memahami gerangan jagat rahasia sebab kemiskinan hidup rakyat.
Legislator itu, membidik satu hal dari banyak sudut pandang. Dia semacam semi ilmuwan. Legislator itu berbicara tertata rapi, karena yang dibicarakan itu tentang nasib rakyat yang diwakilinya. Kini dia kian gagap.
Tingkah laku legislator itu harus menjadi rujukan khalayak, karena legislator sekaligus pantulan representasi nilai-nilai luhur masyarakat yang diwakilinya. Intinya, menjadi wakil rakyat itu berarti menjadi manusia setengah dewa, semi malekat.
Otaknya encer cemerlang, bahasa tuturnya teratur masuk akal dan keluar akal tetap masuk logika, tindak tanduknya pun, digugu khalayak ramai. Legislator antitolol. Dia makin gugup. Butir keringat di dahinya kini jatuh satu-satu melenting pecah ke ujung hidungnya, meski waktu itu angin malam berhembus membelai jidatnya. Lopelapet lelah sekali.
Namun, dia tak putus ikhtiar. Lopelapet pejuang tulen. Beberapa lembar baliho dan ribuan stiker dirinya sudah dipajang di beberapa dahan kayu di tepi tikungan maut. Demi citra luar, dan juga demi maksud munafik sesaat, Lopelapet pun rajin mandi. Rambutnya ditata apik agak tampak klimis seperti politisi kelebihan santun nan jujur.
Dia pun sudah kuat bertekad berhenti minum sopi sementara waktu. Atau berhenti minum semua jenis minuman keras yang mengantarnya ke panggung mabuk. Baginya, waktu tiga bulan ke depan ini tak hanya penting untuk menjaga kesan dan pesan, tetapi juga sanggup mengubah segala jenis perkara tindakan politik. Tetapi, dia meragukan kekuatan pengaruh Tuhan, karena dia terus berenang dan menimba petuah dukun nan dekil hingga tenggelam dalam khayalan.
Diyakininya, waktu singkat dapat membentuk moralitas seseorang. Waktu pula dapat menyukseskan usaha seseorang, juga dapat digunakan untuk mengumpulkan jasa pahala. Jasa pahala inilah yang kini ditiupnya saban hari, entah siang dan malam.
Dengan kebijaksanaan yang sungguh-sungguh, dia mendalami makna kehidupan yang sesungguhnya dalam waktu, dengan gigih mengatur waktu dalam kehidupan.
Maka, petuah bijak pun diburunya di buku-buku dan di masing-masing kubu. Bahkan Lopelapet, kini bergegas berlari menyembah dukun, ingin mendengar titahnya yang terakhir sekali lagi untuk memastikan dan menegaskan hasratnya setelah dia rela tidur di lantai tanpa alas yang pantas di rumah sang dukun, hanya untuk mendapat hiburan jiwa meski tutur dukun kerap sesat senantiasa. Tetapi, hati ini, memang perlu mendapat naungan nan teduh agar tidak selalu bergolak sendiri membuat tidur tak senyap. Lopelapet lalu mengidap insomnia.
Pepatah pun diperolehnya dengan susah payah dan patah-patah. “Kaki yang satu melangkah diikuti kaki yang lain”. Begitulah pepatah itu dipeluknya teguh, meski untuk sesaat.
Artinya, yang telah berlalu kemarin, ketika minum mabuk-mabukan itu, biarkanlah berlalu. Siapa tahu rakyat lupa. Berkonsentrasilah pada apa yang harus dilakukan hari ini.
Begitulah kemudian, sekali waktu di kala senja menjelang, Lopelapet, pergi berkunjung ke masyarakat di sebuah desa nun jauh di pelosok sana.
Apa mau dikata. Ternyata, sudah banyak Caleg lain keluar masuk itu kampung. Dilihatnya, satu baliho lain, dari calon lain, dari partai lain, tersenyum seolah-olah ada banyak damai tersimpan dalam kalbunya.
Baliho itu milik mantan pejabat tak berprestasi. Bodoh pula. Satu-satunya prestasi mantan pejabat itu ialah tukang kunjung dukun dan gemar tidur di lantai di rumah dukun bahkan datang bersama istrinya terkasih hidup rukun bersama dukun.
Dia juga mendengar beberapa tuturan, dan kesaksian orang kampung, bahwa Caleg lain sudah menghujat habis-habisan Partai Sukamaling. Kata gosip di situ, Partai Sukamaling tak layak dan tak pantas dipercaya, karena partai Sukamaling suka meras duit dari para calon bupati dan gubernur, juga suka kutip duit dari calon legislatif di partanya sendiri. Gosip itu berlanjut, bahwa Partai Sukamaling juga pro kelompok garis keras. Lopelapet kian kehilangan akal.
Namun, dia mencerna dengan tenang itu gosip, dan dihadapkan aneka gosip itu dengan apa kata dukun. Lopelapet tenang, meski jantung kian kencang berdebar.
Problem pokok yang dihadapi sesungguhnya ialah tentang cara menyampaikan pesan jelas agar nama Lopelapetlah yang diingat khalayak di situ, lalu dipilih tanpa menoleh bimbang ke lain orang. Itu saja. Hingga kini cara itu belum ditemukan, lantaran cara pemilihan kali ini serentak untuk lima jenis jenjang. DPRD Kabupaten, Propinsi, Pusat, DPD dan Presiden. Itu soalnya. Bagaimana langkah yang tepat agar rakyat pemilih menilik cermat ke arah nama Lopelapet. Itulah sesungguhnya sumber pokok gelisah selama ini.
Hal lain, yang sangat menggangu tidurnya, Partainya ditengarai nyaris tak tembus Parliament Threshold 4% sesuai tuntutan Undang-Undang. Tetapi, mau marah siapa.
Demi menghibur diri, dia berujar kepada dirinya sendiri, yang penting nama saya masuk dalam lembaran negara, terdaftar dalam sejarah panjang negeri ini, bahwa saya adalah salah satu dari ribuan calon legislatif yang tembus diperhitungkan partai Sukamaling.
Sedangkan Caleg Partai Tukangmaling, juga tak hebat-hebat amat. Track record mereka tak beda jauh. Bahwa Lopelapet memang tukang mabuk dan hidup tidak disiplin, itu benar adanya. Tetapi Caleg dari Partai Tukangmaling, juga sudah jadi maling APBD. Uang perjalanan dinas sangat membengkak tahun 2018 yang juga meluncur sampai tahun 2019.
Karena itu, nasihat George Bernard Shaw sebaiknya disimpan di saku ingatan. Kata Bernard Shaw, Anda tidak perlu merasa lebih bermoral hanya karena tidak melakukan dosa yang persis sama dengan dosa yang dilakukan orang lain. Hati Lopelapet pun tenang sudah.
Tambahan pula, dia ingat titah dukun. “Meski badai tantangan datang silih berganti, toh yang terpilih nantinya adalah Kamu”. Wajah dukun dikenang terutama saat dukun berujar sambil mengunyah sirih pinang.
Lopelapet pun teduh kembali lalu maju tak gemetar meski tak pernah mengerti entah apa saja nanti yang diucapkannya agar menggetarkan dan menggerakkan hati rakyat untuk memilihnya. Tak apalah, tiga bulan masih cukup untuk mengisi waktu. Begitulah.