Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Mahasiswa STFK Ledalero dan Ketua Centro John Paul II
Peran media-media nasional dalam menyalurkan berbagai analisis politik cukup sentral dalam Pilpres 2019, meski analisis-analisis yang berseliweran tersebut kerap menuai kebingungan serta mengganggu pikiran publik.
Masyarakat bingung karena agenda setting media dalam mengkonstruksikan opini publik terbelah seturut dikotomi dukungan. Misalnya ada jurang sekaligus perbedaan yang besar antara analisis politik di TV One dengan Metro TV. Juga beberapa media lainnya.
Perbandingan-perbandingan ini kemudian memberikan kesan bahwa media kita sedang terpolarisasi ke dalam kutub-kutub politik. Cara kerja yang dibangun ialah membungkus agenda politik dalam diskusi-diskusi.
Realitas pencitraan pun menguak dengan analisis-analisis politik yang rapi. Kesannya media sangat vulgar dalam merepresentasikan kepentingan elit oligarkis.
Fenomena inilah yang kita dapat hingga saat ini. Independensi dan otonomi media kemudian dipertanyaakan tatkala rakyat bisa membaca pergerakan media yang cenderung memihak koalisi-koalisi serta politisi-politisi tertentu.
Maka yang terjadi saat ini ialah “perang” antarmedia dalam menciptakan opini publik. Media berusaha menggiring masyarakat ke dalam logika elit politik tertentu terutama kepentingan para oligarki yang merupakan para pemilik media tersebut.
Karena itu, yang kita saksikan dalam berbagai analisis politik ialah upaya terstruktur media dalam merepresentasikan kerja politik perwakilan (Frans Jalong, 9/5/18).
Kerja politik perwakilan yang dimaksudakan ialah politik yang mengungkapkan jati diri para politisi sekaligus membangun pencitraan diri dengan mengedepankan kesuksesan-kesuksesan yang dimiliki oleh politisi dan pasangan calon dengan menyembunyikan hal-hal buruk.
Kebaikan-kebaikan elit politik yang sedang menaruh kepentingannya kepada media, akan dipertontonkan dan dikemas baik untuk manaruh perhatian dari masyarakat.
Cara kerja ini sangat efektif, mengingat daya persuasi media satu sisi sangat besar. Sisi lain ialah daya atau kepercayaan masyarakat terhadap media-media mainstream sangat kuat. Masyarakat menaruh kepercayaan begitu besar terhadap media-media nasional.
Hal ini juga sejalan dengan analisis Geoff Mulgan dalam bukunya Politik dalam Sebuah Era Anti-Politik.
Mulgan mengungkapkan, media dan politikus mempropagandakan opini mereka dan mengujinya melaui pengumpulan-pengumpulan opini, sehingga dengan dengan demikian mendaur ulangnya dengan legitimasi baru ke dalam dunia politik (Mulgan: 1995:21).
Instrumentalisasi Media
Itu artinnya media bukan lagi berperan sebagai salah satu pilar demokrasi yang berfungsi untuk mengontrol kekuasaan, melainkan dikontrol oleh segelintir orang kaya.
Maka yang terjadi ialah media berperan sebagai industri yang berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Disorientasi ini menyebabkan kekacauan dalam ruang publik politis saat ini.
Kekacauan itu bukan hanya terjadi pada level akar rumput, melainkan juga dalam diskusi-diskusi kaum akademis. Sebab polarisasi media ke dalam kutub-kutub kepentingan akan meyebabkan matinya akal sehat dalam menilai diskusi publik.
Media kemudian disinyalir sebagai salah satu penyebab pelumpuhan akal sehat masyarakat. Yang disaksikan dan diterima rakyat jelata ialah beragamanya analisis-analisis politik di tingkat elit.
Hasil-hasil argumentasi itu di tingkat elit hanya merupakan bentuk apologia untuk melindungi diri mereka sendiri.
Akibantnya, masyarakat kecil tidak mampu menentukan pemimpin yang baik. Sebab, setiap media mengklaim jagoannya menjadi yang terbaik.
Di samping itu, media-media tidak menarasikan riwayat-riwayat hidup dari elit politik secara jujur. Kecendrungan ini pada galibnya akan menyembunyikan berbagai fakta dan sejarah masa lalu yang kurang baik. Yang ditampilkan dalam media-media ialah propaganda-propaganda kebaikan yang sudah dilakukan. Prestasi-prestasi elit politik ditampilkan sedemikan rupa. Ini menjadi salah satu jalan menuju kirisi demokrasi.
Fenomena ini mengantar kita pada pemahaman Hannah Arendt, seorang filsuf Yahudi tentang pertumbuhan kapitalisme dalam ruang publik demokrasi.
Arendt sebagaimana dikutip F. Budi Hardiman menjelaskan bahwa ekspansi pasar ke wilayah-wilayah publik menghasilkan naturalisasi, yakni proses-proses komunikasi dalam kebebasan untuk saling pengertian dalam ruang publik diganti dengan mekanisme survival untuk mengkonsumsi atau menaklukkan pihak lain (Hardiman,2010:193).
Itu artinya, ruang publik didominasi oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Yang terjadi ialah hegemoni atas ruang publik politis dengan mengusung politik perwakilan.
Sokongan dan dominasi pasar sebagai mesin penggerak akan berdampak pada raibnya ruang publik yang berdaulat itu. Terhadap hal ini, Colin Hay dalam bukunya Mengapa Kita Benci Politik (2007) pernah dengan gamblang mengatakan bahwa ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elit-elit politik, proses tersebut akan berubah menjadi irasionalitas kolektif.
Irasionalitas itu tampak dalam kerja politik media bersama aktor-aktor politik yang kekurangan cara dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat.
Karena itu, ada sebagain masyarakat menilai bahwa media-media itu merupakan tangan kanan elit politik dalam memproduksi berbagai kebencian dalam masyarakat.
Perkuat Etika Jurnalisme
Media sebagai salah satu kekuatan bangsa mesti mengedepankan etika jurnalitik dan menyadari diri sebagai corong kepentingan masyarakat.
Di samping itu, evaluasi kerja politik dari aktor-aktor politik mesti menjadi salah satu agenda yang perlu dikoreksi. Defisit kerja menyebakan media-media terjebak dalam logika kapitalistik. Mengakumulasi modal sebanyak mungkin dengan jaminan bahwa para elit politik itu mesti dicitrakan sedemikian rupa di dalam media.
Maka otonomi dan independensi media mesti dipertahankan dalam rangka membangun kerja politik yang sehat. Penyorotan otonomi dan independensi media pada akhirnya mengarahkan media pada kerjanya sebagai bagian dari alat kontrol terhadap kekuasaan apa pun.
Kontrol terhadap kekuasaan mengandaikan bahwa media-media nasional taat pada etika jurnalistik serta bersikap populis dalam proses pemberitaan dan diskusi.
Ketaatan media dalam menjalankan etika jurnalisme akan memperkuat posisi masyarakat kecil dalam memperjuangkan kepentingannnya.
Media nasional mesti membuka jarak dengan politisi-politisi yang sedang berlaga itu. Di samping itu, media-media mesti mengedepankan sikap kritis terhadap kekuasaan manapun sembari mendukung langkah-langkah progresif dari berbagai isu-isu stategis yang dimunculkan oleh para elit politik.
Karena itu klarifikasi media terhadap realitas politik mesti menjadi pekerjaan yang utama. Klarifikasi serta transparansi dari media-media sangat dibutuhkan untuk mendapatkan dukungan yang luar biasa dari masyarakat.
Masyarakat saat ini mengharapkan media-media yang populis untuk membangun semacam jembatan transformasi bagi kelangsungan bangsa ke depan.
Mereka mesti mengakumulasi dan menjadi corong kepentingan masyarakat biasa tanpa bias politik. Dengan cara ini, media akan memenangkan serta mempertahankan kepentingan dan opini publik.
Cara ini akan semakin bermanfaat apabila setiap media mampu menjaga diri dari pengaruh-pengaruh elit politik.