Oleh: Antonius Jehemat
Dosen tetap di Politeknik Pertanian Negeri Kupang, NTT
Menarik berita yang diturunkan VoxNtt.com (Sabtu, 02/03/2019) bertajuk Petani di Sok, Desa Compang Ndejing Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) Kesulitan pasarkan Hasil Panen.
Terhadap berita ini, penulis termotivasi untuk membagikan secuil pengetahuan tentang jagung dalam dua konteks yakni produksi dan pengolahan hasilnya.
Sharing pengetahuan ini beralaskan dua dasar yaitu kata mata dan kata data. Tujuannya untuk memberdayakan produk ini (solusi) demi kesejahteraan para petani.
Secara sederhana konsep pikir sederhana ini dirumuskan dalam formula: KATA MATA + KATA DATA = KATA-KATA SOLUSI NYATA.
Kata Mata terhadap Produksi Jagung
Dalam sebuah kunjungan lapangan (14-17 Februari 2019), penulis secara langsung menyaksikan “hutan jagung” di beberapa desa (Golo Mongkok, Compang Ndejing, Desa Nanga Labang, sekitar Rana Loba, Desa Tana Rata, Kota Komba) di Kabupaten Manggarai Timur.
Saya cukup tertegun dan terkesima melihat tampilan jagung yang sangat berkualitas, meski tanpa penggunaan pupuk. Karena itu, tidak berlebihan jika dua wilayah ini patut diberi predikat “jagung organik”.
Sepanjang pencermatan saya, jarang ditemukan jagung bertongkol-1, hampir semuanya bertongkol-2. Kenyataan dan pencermatan serupa, ditemukan di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika pada 24 Januari-5 Februari 2019 mengunjungi Sumba Barat dan Sumba Barat Daya (SBD).
Dalam kekaguman terhadap potensi ini, spontan terlontar pertanyaan dalam hati: Ke mana hasilnya dijual? Berapa harga jual di tingkat petani? Berapa kali produksi dalam setahun? Jika tidak terjual, diolah atau diapakan? Dan tak luput pula dari kesangsian tentang bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi produk petani ini, sehingga tetap memberikan jaminan pasar sehingga dapat diupayakan secara berkelanjutan?.
Pertanyaan-pertanyaan ini saya lontarkan dalam dialog langsung dengan beberapa petani yang dijumpai. Dari jawaban mereka ditemukan beberapa fakta berkut.
Pertama, penjual jagung kebanyakan menunggu pembeli datang.
Kedua, harga berkisar Rp 2.500-Rp 3 000/kg.
Ketiga, selama satu tahun produksinya sebanyak 1-2 kali.
Keempat, jagung disimpan sebagai cadangan pangan dan separuhnya diberikan kepada ternak babi.
Kelima, belum ada sistem kelembagaan yang mumpuni untuk melindungi hasil jagung yang ada. Kalaupun ada tetapi belum berperan secara maksimal.
Temua di level petani ini setidaknya merefleksikan keterbatasan akses dan jaringan pasar serta masalah kontinuitas produksi yang secara langsung dibatasi oleh kondisi agroklimat NTT sebagai lahan kering, di mana musim hujan lebih singkat (3-4 bulan) dibandingkan musim kemarau (8-9 bulan).
Selain itu kelembagaan dan manajemen pada level petani masih lemah. Baik petani maupun pemangku kebijakan belum menerapkan konsep usaha tani dengan pendekatan agribisnis (agribusiness-approach of farming concept).
Jika konsep ini yang diterapkan, maka hubungan kemitraan berkelanjutan (sustainable partnership lingkage) antara produsen dan konsumen, mestinya sudah dibangun, baik dalam sekop lokal maupun interlokal.
Memang harus disadari bahwa untuk penerapan konsep ini, sangat dibutuhkan pendampingan pihak pemegang otoritas lokal dan kerjasama yang saling menguntungkan.
Kata Data tentang Komoditi Jagung
Tidak dapat disangkal jagung merupakan salah satu komoditi pilihan dari sekian banyak komoditi potensial yang ada di NTT.
Tidak heran jika akhir-akhir ini, cukup banyak pihak yang menaruh perhatian pada komoditi ini lewat halaman berita sejumlah media.
Beberapa berita media yang dibaca penulis dengan tajuknya masing-masing, antara lain:
1) Media wwwnttonlinenow.com, (02/03/2017): “Produksi Jagung di ntt 680.000 Ton/Tahun;
2) Harian Republika.co.id (14 Desember 2017): NTT Sudah Swasembada Jagung, Benarkah?” Artikel ini mengurai tentang luas lahan tanaman jagung di NTT mencapai 400 ribu Ha dengan rincian 328 ribu Ha pada musim tanam Oktober-Maret, dan 78 ribu Ha pada musim tanam April-September;
3) Media JPNN.com (12 April 2018): “Produktivitas jagung NTT terus digenjot melalui tim Upaya Khusus Padi, Jagung dan Kedele (Upsus Pajale)”.
Artikel ini memuat pernyataan Staf Ahli Infrastruktur Kementan Ani Andayani, bahwa produktivitas jagung berkisar 2,6 ton-3,6 ton / Ha, dengan produksinya mencapai 808.870 ton pada 2017;
4) Harian Pos Kupang (22 Oktober 2018) dalam Halaman Opini (oleh Andrew Donda Munthe): Petani NTT dan Mimpi Swasembada Jagung, di mana menyitir data laporan BPS bahwa selama Januari hingga September 2018 Indonesia mengimpor jagung senilai UsS 101,37 juta;
5) VoxNtt.com (Sabtu, 2 Maret 2019): Petani di Sok, Desa Compang Ndejing Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) Kesulitan pasarkan Hasil Panen.
Tentu masih banyak berita-berita terkait lainnya yang dipublikasikan di berbagai media.
Selanjutnya, data resmi Badan Pusat Statistik NTT 2018, merilis bahwa produksi jagung NTT pada tahun 2017 mencapai 809.830 ton.
Dari jumlah itu, Enam kabupaten yang memiliki produksi tertinggi adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebanyak 14,18%, diikuti oleh Kabupaten SBD sebanyak 10,36%, Kabuapten Ngada sebanyak 8,79 %, Kabupaten Timor Tengah Utara 8,08%, Kupang sebanyak 7,48%, dan Kabupaten Malaka sebanyak 7,19%.
Sedangkan untuk kabupaten Manggarai Timur, produksinya hanya menyumbang 3,37% yakni sebanyak 30.220 ton. Menempati urutan ke-9 dari 22 Kabupaten Kota.
Data produksi ini memang tidak menyepelekan hasil yang sudah dicapai dari kerja keras petani Manggarai Timur tetapi setidaknya menjadi pembanding dengan daerah lain untuk semakin memotivasi pengelolaan dan produktivitasnya.
Urusan produksi, sebetulnya urusan belakangan karena yang paling pertama adalah hasil yang sudah dipanen dapat dimanfaatkan secara optimal atau tidak. Manfaat dimaksud adalah baik untuk kebutuhan rumah tangga petani, pendapatan daerah, maupun untuk menopang usaha sektor lainnya pada masyarakat lokal.
Keluhan yang disampaikan para petani sebagai mana diberitakan dalam media ini menunjukkan bahwa komoditi ini belum berkontribusi secara maksimal terhadap pendapatan petani pengusahanya.
Ini juga berarti nilai manfaat dan potensi ekonomis dari komoditi ini belum sepenuhnya terambil (untuk tidak mengatakan terbuang-buang).
Solusi Nyata Masalah Jagung
Dalam sebuah diskusi kecilan, penulis pernah memberikan komentar yang mungkin memantik respon langsung. Komentar dimaksud didasarkan pada beberapa kenyataan masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.
Pertama, keluhan pemasaran dapat saja dicarikan solusinya dengan menggunakan jaringan yang sudah terbina. Hal ini berdasarkan pengalaman dan analisis personal penulis.
Sesungguhnya pihak yang membutuhkan produk jagung sangat banyak. Pada level Nasional misalnya pasokan jagung belum mampu mencukupi kebutuhan dalam Negeri. Khususnya kebutuhan industri seperti makanan ternak.
Konsekuensinya, Indonesia mau tidak mau tetap melakukan impor jagung. Dampak lanjut dari itu adalah harga makanan ternak siap saji yang ada di pasaran pun terus melambung saban tahun.
Sebagai contoh saja, pada September tahun 2018 silam, dalam diskusi resmi penulis dengan para Mitra Peternakan Babi dari Bali, ditawari untuk menjadi pemasok jagung ke perusahaannya dengan volume minimal 10 ton/bulan dan sangat mungkin untuk lebih besar dari itu.
Tetapi dengan syarat tidak boleh putus sepanjang tahun. Nah, ternyata syarat kestabilan inilah yang menjadi kendala utama kita di NTT. Laporan tentang produksi jagung di masyarakat yang konon berlimpah itu, hanya bersifat musiman, hanya pada musim tertentu saja. Artinya, kita tidak bisa memenuhi permintaan pasar.
Poin pikir dalam masalah ini adalah kebijakan penyiapan sarana-prasaran produksi jagung, agar dapat berproduksi secara berkelanjutan.
Berkaitan dengan agroklimat NTT yang musim kemaraunya cukup panjang, maka tentu diperlukan sarana penyediaan air secara permanen.
Untuk kondisi wilayah Manggarai Timur khususnya Kecamatan Borong dan Rana Mese, sangat mungkin solusi ini untuk diterapkan. Sumber air untuk pertanian di wilayah ini tersedia dari sungai Wae Dingin, Wae Dangi dan Wae Musur.
Namun kenyataannya air yang tersedia tidak terdistribusi dengan baik sehingga alirannya pun tidak merata bahkan tidak dinikmati oleh masyarakat seputaran Sok.
Kedua, pasar komoditi jagung dapat diciptakan di wilayah lokal Manggarai Timur, terutama memanfaatkan jagung untuk menghidukan sektor usaha lainnya seperti peternakan.
Lagi-lagi penulis harus mengangkat contoh nyata yang disaksikan secara langsung pada beberapa waktu lalu yaitu peternakan babi di UPTD peternakan babi di Golo Mongkok.
Pantauan saya, kondisi babi yang ada di sana sangat memprihatinkan dari aspek nutrisi makanan. Diduga kuat, tampilan pertumbuhan (growth performances) babi yang ada kurang sejahtera. Dalam hal ini kecukupan penyediaan ransumnya tidak sesuai dengan kebutuhan ternak babi.
Point solusinya adalah adalah pihak terkait dapat memberdayakan jagung untuk menjamin kesejahteraan hewan (animal walfare) yang ada.
Dalam cakupan yang luas, masyarakat bisa diberikan penguatan keterampilan untuk mengolah jagungnya menjadi makanan ternaknya sendri. Ataupun difasilitasi oleh pemerintah untuk selanjutnya didistribusikan kembali ke masyarakat. Sehingga fungsi saling memberi dan menerima (take and given) akan terlaksana.
Memang disadari bahwa untuk pengolahan jagung menjadi makanan ternak babi (juga ternak lainnya) tentu membutuhkan keterampilan khusus. Sehingga secara teknis, aplikasi dari solusi ini membutuhkan keterlibatan pihak-pihak yang berkompeten.
Ketiga, kondisi di atas menegaskan posisi tawar (bargaining power) petani terhadap produk jagung, sangat lemah.
Untuk itu, diperlukan upaya penguatan kelembagaan petani dalam berbagai bentuk dan skala.
Penguatan kelembagaan tidak hanya cukup dengan pembentukan wadah keompok tani atau gabungan kelompok tani, tetapi harus diikuti usaha pengembangan ke arah yang lebih maju. Misalnya penguatan keterampilan teknis budidaya, manajemen kelompok dan manajemen produk agribisnisnya.
Untuk solusi ini, dapat dilakukan dengan berbagai pendidikan dan pelatihan teknis sederhana. Untuk skala yang lebih besar, dapat diupayakan dengan pembentukan Lembaga Incubator Bisnis Daerah untuk Produk Pertanian.
Lembaga ini nantinya akan berperan sebagai gerbang keluar-masuknya berbagai komoditi pertanian baik dalam bentuk bahan baku, setengah jadi maupun barang jadi.
Jika harus diprioritaskan, maka dari 3 pikiran kecil di atas, dapat dilakukan secara bertahap dengan rincian: solusi pada poin pertama dan kedua menjadi solusi jangka pendek berkaitan dengan tersedianya berbagai asset yang belum maksimal dioperasikan.
Sedangkan solusi pada point ketiga, sangat baik untuk jangka panjang tetapi diprioritaskan dengan merancangnya sejak dini. Semoga Bermanfaat!