Kupang, Vox NTT-Prof. DR. Fransiskus Bustan, M.Lib menilai ada gejala demanggaraisasi yang sedang menggerogoti identitas orang Manggarai saat ini.
Gejala kebudayaan ini disebabkan oleh dinamika perubahaan sosial yang sedang berlangsung di tengah masyarakat.
“Demanggaraisasi Kebudayaan sebagai lambang identitas satu masyarakat adalah sebuah entitas yang bersifat dinamis, artinya tidak imun atau tidak kebal dari sentuhan perubahan,” kata Prof Frans kepada VoxNtt.com, Rabu (24/04/2019).
Perubahan kebudayaan Manggarai ditandai dengan menggejalanya perubahan kebiasaan dan perilaku di luar bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan leluhur, meskipun masih hidup dalam rahim kebudayaan Manggarai.
Fenomena demanggaraisasi tercermin, antara lain, dengan semakin mengemukanya perilaku ‘kembeleis’ dalam tata pergaulan masyarakat Manggarai.
Perilaku ini ditunjukan dengan sikap tidak menghargai kaidah-kaidah yang telah diwariskan oleh leluhur terutama di kalangan generasi muda.
Gejala lain ditemukan dalam belis/mahar orang Manggarai yang kini digantikan dengan uang. Uang dijadikan sebagai simbol adat yang sering menjebak orang Manggarai dalam komersialisasi belis.
Selain itu, tinggi-rendahnya belis ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan perempuan dan status sosial keluarganya. Salah satu ungkapan yang sering muncul misalnya ‘Ai lako agu uman dami anak ine wai’ (Karena anak perempuan kami pergi dengan pekerjaannya).
Masih terkait belis dalam perkawinan, gejala lain ditemukan dalam pemilahan lauk-pauk saat acara makan. Menurut Prof Frans, antara anak wina dan anak rona mestinya beda dalam dari segi menu makanan.
Namun, saat ini, terutama kebanyakan terjadi Manggarai Tengah, perbedaan menu makan itu sudah mulai hilang.
“Pokoknya makan bersama saja dalam satu meja,” katanya.
Akibat perubahan sosial yang cepat juga tidak hanya berdampak pada demanggaraisasi. Yang paling riskan menurut dia adalah fenomena desakralisasi budaya.
Deskralisasi budaya terjadi karena pengaruh ekonomi dalam ritual dan upacara adat. Misalnya pemberian tuak dan amplop untuk penutur adat sebelum melangsungkan upacara dan ritual.
“Jadi semacam ada transaksi adat di sana. Padahal kepok tuak sebagai ucapan terima kasih itu bisa dilakukan setelah upacara. Sekarang malah dibayar dimuka,” katanya.
Desakralisasi juga muncul dalam budaya lonto leok (duduk melingkar untuk mendiskusikan sesuatu). Duduk melingkar dalam budaya lonto leok ini sebenarnya melambangkan persaudaraan dan kekeluargaan.
Namun belakangan mengalami ketelepasan makna karena adanya hasrat pragmatis. Dampaknya kepentingan sosial-kolektif mulai perlahan pudar dan yang kuat muncul adalah hasrat individualistik.
Ketersendatan Mekanisme Pewarisan
Menurut dosen linguistik budaya pascasarjana Universitas Nusa Cendana ini, gejala demanggaraisasi salah satunya muncul karena ada ketersendatan dalam mekanisme pewarisan budaya.
Contoh yang paling sederhana, kata Prof Frans, ketika ada acara adat, anak-anak dan generasi muda diminta untuk tidak terlibat dalam forum adat. Misalnya dalam ungkapan “Ngo musi meu e” (Kalian ke belakang saja).
Ke belakang sebenarnya ungkapan halus dari orang tua untuk tidak melibatkan orang muda dalam forum adat. Itu disebabkan oleh adanya anggapan bahwa kalangan muda belum layak untuk terlibat dalam forum tersebut.
Padahal kata dia, pewarisan budaya Manggarai yang otentik itu justru dilangsungkan dalam forum adat.
Selain itu, ditemukan pula gejala seperti forum adat yang sangat bernuansa politis. Ada usaha dominasi kekuasaan dari pihak tertentu untuk menegaskan status quonya.
Dalam menyikapi itu, upaya yang mesti dilakukan adalah pencanangan program remanggaraisasi oleh pemerintah dengan melibatkan tokoh adat. Intinya, mengajak orang Manggarai kembali menjadi kepada identitas yang sebenarnya.
Penulis: Irvan K