Mbay, Vox NTT- Alat musik tradisional Go Genga hampir punah. Namun, warisan budaya leluhur asal Pautola di Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo itu belum punah bagi Sulpisus Jawa (76).
Opa Sius, akrab disapanya, bahkan bertekad untuk terus mempertahankan alat musik Go Genga agar tidak tergerus zaman.
Alat musik ini terbuat dari bambu yang dirancang sedemikian rupa hingga menghasilkan bunyi musik. Bunyinya seperti gong.
Opa Sius sendiri adalah pegiat alat musik Go Genga. Ia mengaku sejak dulu nenek moyangnya mengajarkan pembuatan alat musik Go Genga.
“Sejak dahulu kala kami sudah diajarkan oleh nenek moyang kami,” kata Opa Sius yang ditemui VoxNtt.com di kediamannya di Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Senin (03/06/2019) siang.
Menurut dia, alat musik Go Genga dibuat oleh orang tua untuk menghibur diri ketika berada di kebun atau di sawah.
Proses pembuatannya tidak begitu lama, namun harus teliti dan cermat. Karena jika tidak teliti dan cermat, maka hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Opa Sius bercerita, ia lahir tahun 1943. Ia sudah bisa bermain suling bambu sejak tahun 1950.
Sedangkan alat musik Go Genga mulai dimainkan Opa Sius mulai tahun 1956. Ia memainkannya saat berada di sawah atau kebun.
“Dari kecil memang saya tahu. Saya lihat bapa-bapa dulu. Saya tiru mereka pelan-pelan. Awalnya main-main saja. Sebelum masuk sekolah itu sudah tau main musik Go Genga. Saya sekolah tahun 1954. Sebelum itu sudah bisa main Go Genga di Kampung Pautola, Kota Odo, Keo Tengah,” aku Opa Sius.
Kakek tujuh anak ini kembali mengatakan, Go Genga dimainkan untuk menghibur diri dan melawan rasa kantuk.
Sebab, kata dia, dahulu kala seorang petani biasa tidur di kebun untuk menjaga tanaman.
“Kami main saat jaga kera di kebun, main Go Genga supaya jangan mengantuk. Main juga sebelum tidur malam,” kisah Opa Sius.
Menurutnya, alat musik Go Genga harus tetap dipertahankan sebagai budaya warisan leluhur.
Namun demikian, kata dia, zaman sekarang mempertahankan warisan budaya leluhur bukan perkara muda.
Go Genga pun sudah tidak diminati lagi, terpengaruh oleh era globalisasi.
Semua orang katanya, lebih tertarik yang serba instan. Padahal potensi kearifan lokal khas Nagekeo sangat banyak.
“Kalau mereka mau latih boleh. Saya melihat mereka tidak mau. Kalau pemerintah bangun kembali ini boleh. Kalau tidak juga boleh. Saya ingin tunjukkan kepandaian saya saja,” ujarnya dengan kelakar.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba