Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Tinggal di Nggalak, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai
Pertanyaan ini sekurang-kurangnya menggambarkan keprihatinan penulis terhadap budaya Manggarai yang kian tererosi oleh perkembangan zaman.
Globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan komunikasi telah memberikan dampak positif satu sisi. Ruang dan waktu semakin sempit. Sisi lain membawa dampak negatif bagi budaya Manggarai.
Meminjam Allain Toffler, abad ini merupakan abad informasi (revolusi informasi). Arus infomasi sebagai konsekuensi teknologi, telah menjalar liar di masyarakat. Tak satu pun orang yang dapat menahannya.
Pertukaran budaya pun menjadi niscaya. Budaya-budaya akan melabur. Akibatnya budaya-budaya besar akan mendominasi budaya kecil, seperti budaya barat. Hegemoni barat telah memposisikan budaya-budaya di luar Eropa untuk berafiliasi serta menghidupi corak barat.
Corak barat yang dibangun dalam kerangka kerja hegemoni adalah melalui imperialisme budaya. Maka pada titik ini, kita melihat superioritas budaya barat yang disandingkan dengan budaya timur yang lebih inferior, mudah dipengaruhi.
Akibatnya kuasa dan superioritas barat, kita (baca:budaya asli Manggarai) tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari dominasi itu. Kita terkungkung dalam suatu wacana kultur barat.
Selanjutnya kultur asli semakin menghilang. Padahal, menurut Michel Foucault, kita memiliki kuasa untuk membongkar kemapanan atau ekspansi barat dengan mengkonsolidasi budaya-budaya lokal.
Salah satu yang disoroti dalam tulisan ini ialah sanda. Sanda sendiri merupakan kearifan lokal, lagu adat Manggarai yang dinyanyikan pada saat upacara adat. Biasanya dinyanyikan oleh orangtua, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk orang muda.
Namun, beberapa tahun terakhir ini, semangat orang terhadap sanda sangat minim. Kelihatannya sanda kurang lagi diminati atau bahkan terlihat primitif bagi kaum muda. Padahal, kaum muda perlu mengetahui, memahami sanda sebagai bentuk regenerasi terhadap budaya Manggarai.
Buktinya, beberapa daerah di Manggarai misalnya partisipasi kaum muda dalam sanda sangat kurang. Kenyataan ini menjadi tanda sekaligus petanda bahwa kesadaran terhadap budaya terutama sanda dari hari ke hari semakin kecil.
Beberapa kali kegiatan live in misalnya atau kegiatan adat di beberapa kampung kecamatan Reok Barat, telah membenarkan tesis ini. Sanda masih dilihat sebelah mata oleh kaum muda. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sanda hanya merupakan urusa generasi tua. Hal ini dapat dibaca sebagai efek semakin mengkolonisasinya budaya barat di tanah congka sae.
Budaya DJ
Salah satu bentuk imperialisme budaya barat ialah semakin menguatnya lagu barat di kalangan masyarakat terutama lagu DJ. Menguatnya lagu-lagu DJ dalam masyarakat khususnya di Manggarai akan berdampak pada tergerusnya budaya lokal, salah satunya sanda.
Secara genealogis DJ sudah lahir di barat sejak abad ke-17. DJ sendiri merupakan akronim dari disc jockey atau joki rekaman.
DJ adalah seseorang yang terampil memilih dan memanikan rekaman suara atau musik yang telah direkam sebelumnya (bdk. http://id.wekipedia.org/wiki/disjoki). Itu artinya pilihan lagu harus sesuai dengan keinginan orang banyak.
Belakangan ini, lagu-lagu DJ sangat populer di Mangarai. DJ ini semakin familiar dan disuburkan oleh budaya pesta.
Di kalangan muda, lagu DJ ini sangat disukai bahkan menjadi lagu terfavorit dalam setiap pesta. Tentu fenomena ini dapat kita baca sebagai salah satu bentuk fanatisme kaum muda terhadap lagu DJ.
Fanatisme dalam artian kaum muda sangat senang dengan lagu-lagu DJ. Kalau saja dilacak, atau dibuat semacam penelitian kecil dan ketika ditanyai tentang pilihan lagu yang paling senang diputar, jawaban kaum muda ialah lagu DJ.
Selain menghibur, genre DJ juga membangkitkan semangat. Namun demikian, kalau kita dengar kadang-kadang kata-kata dalam lagu dj itu kurang jelas. Ataupun mendominasinya musik ketimbang suara yang dihasilkan.
Walalupun begitu, antusiasme kaum muda bagitu kuat. Antusiasme yang kuat dalam ‘menikmati’ lagu-lagu dj pada gilirannya akan mempengaruhi orientasi kaum muda terhadap budaya Manggarai. Kita dengan mudah membaca misalnya, dalam setiap upacara adat (Hang Woja / penti, dll.), semangat kaum muda untuk terlibat aktif dalam menyanyikan lagu-lagu adat sangat minim.
Semangat meniru atau mengidentifikasi budaya sendiri semakin digerus bahkan ditutup oleh budaya-budaya luar. Artinya bahwa mindset kaum muda sudah dijejali dengan budaya dari luar. Akibatnya mereka merasa asing dengan budaya sendiri, terutama sanda.
Pendidikan Budaya Lokal
Terhadap kenyataan ini, hemat saya konsolidasi budaya lokal mesti dilakukan untuk menghadang “keterputusan” budaya antargenerasi. Keterputusan budaya akan melahirkan generasi-generasi yang tercabut dari akar budaya.
Oleh karena itu, jalan yang mesti ditempuh ialah menggenjot kesadaran kaum muda dalam menginternalisasi budaya Menggarai terutama sanda ini.
Pertama, peran orangtua dalam menanamkan semangat budaya Manggarai terutama sanda. Orangtua mesti memperkenalkan sanda untuk anak-anak dalam keluarga. Sekurang-kurangnya orangtua tahu sedikit sanda.
Dulu di Nggalak, kecamatan Reok Barat misalnya, ada tradisi semacam “melatih” sanda saat gampo latung, atau peruk latung (hasil diskusi dengan bapak Konradus Dain, dari Nggalak, Manggarai).
Momen-momen seperti ini biasanya secara spontan orangtua menyanyikan lagu-lagu adat itu. Ada semacam kesadaran bersama untuk bernyanyi. Tentu disaksikan dan diidentifikasi oleh anak-anak muda.
Kita akui sekarang mereka-meraka itu yang masih mengendalikan adat-istiadat Manggarai. Memang secara rasional kita berargumen bahwa waktu itu, sekitar tahun 90-an ke bawah belum ada teknologi dan informasi seperti sekarang ini. Maka salah satu pilihan utama ialah melatih lagu-lagu adat atau sanda.
Maka konteks kita hari ini, mesti ada suatu model pembelajaran terhadap berbagai item budaya itu, terutama sanda. Modernitas telah menggerser paradigma masyarakat tentang adat.
Cara yang ditempuh saat ini tentu berlainan dengan masa- masa lalu. Perlu sebuah agenda pembelajaran adat terutama sanda ini sejak dalam keluarga. Keluarga menjadi sekolah pertama yang memperkenalkan lagu-lagu adat.
Pendampingan orangtua tentang sanda kepada kaum muda menjadi salah satu bentuk tanggung jawab moral sekaligus budaya terhadap kaum muda. Model pembelajaran yang saya ajukan kepada orangtua ialah berusaha sedikit demi sedikit untuk melatih sanda dalam rumah. Tentu syarat utamanya ialah orangtua tahu tentang sanda itu sendiri, sebelum ditransformasikan kepada kaum muda.
Kedua, keterlibatan kepala-kepala adat dalam meregenerasi sanda. Kepala-kepala adat dari setiap kampung mesti menyadari akan pentingnya regenarasi sanda ini. Mesti disadari juga bahwa akhir-akhir ini sanda sudah semakin tererosi.
Menguatnya semangat DJ di kalangan muda menjadi lonceng bagi kepala-kepala adat untuk membangun dialog dengan kaum muda dalam rangka menginternalisasi sanda.
Hemat saya, melalui upaya-upaya seperti ini, sanda itu tetap eksis di tengah gempuran teknologi dan infomasi saat ini. kita memang terbuka pada perkembangan zaman, tetapi kita mesti sadah bahwa manusia adalah makhluk berbudaya.
Di samping itu, perlu semacam sosialisasi makna dari setiap syair sanda, sambil dijelaskan pembagian-pembagian sesuai momen. Goet-goet dalam sanda itu merupakan salah satu bentuk puisi yang memilik makna mendalam. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Ada pengungkapan relasi antara manusia-manusia, manusia-alam dan manusia-Tuhan (yang tertinggi, Mori Kraeng).
Sisi lain perlu dijelaskan pembagian-pembagian serta momen-momen yang tepat untuk menyanyikan lagu-lagu adat itu. jangan sampai ada kesalahan teknis dalam menyanyikan lagu-lagu itu. Akhirnya orang sesuka hati tanpa mengetahui momen-momen yang tepat untuk menyanyikannya.
Ketiga, keterlibatan pemerintah daerah, Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat. Keterlibatan dari pemerintah daerah sangat penting untuk melestarikan budaya-budaya manggarai terutama sanda ini.
Melalui dina PPO, pemerintah mesti mendesain lagi pelajaran muatan lokal atau pelajaran budaya Manggarai.
Sejauh ini, memang ada pelajaran tentang budaya Manggarai di beberapa sekolah. Tetapi, berbagai kendala yang saya lihat yaitu, guru-guru kurang berkompoten dalam menjelaskan budaya-budaya itu dari sisi aslinya. Referensi yang mereka pakai kurang memberikan pengaruh.
Maka perlu menghadirkan orang-orang profesional di sekolah-sekolah untuk memberikan semacam sosialisasi kepada anak-anak. Bila perlu sekolah bekerja sama dengan lembaga adat untuk mengajarkan anak-anak tentang ragam seni-budaya.
Keempat, lembaga pendidikan. Sekurang-kurangnya pendidikan anak di usia dini sudah mulai memperkenalkan lagu sanda. keberlanjutannya di tingkat pendidikan lebih tinggi. Misalnya di tingkat SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Tujuannya ialah menciptakan pribadi-pribadi yang sadar dan memahami adat-istiadat Manggarai.