(Apresiasi untuk Marsel Robot)
Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Mahasiwa STFK Ledalero dan Anggota Centro John Paul II Ritapiret
Setelah membaca opini Marsel Robot, Dosen, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata LP2M Undana berjudul “Etika Emas dan Radikalisme” (VoxNtt.com 27/11/19), saya sedikit membuat semacam justifikasi terhadap tulisan beliau.
Menurut beliau, salah satu opsi meredam radikalisme agama di Indonesia (baca: NTT) ialah nomenklatur Kuliah Agama diubah menjadi Kuliah Pendidikan Agama-Agama. Artinya semua mahasaiswa, tanpa terkecuali, mesti mempelajari dan memiliki pengetahuan tentang agama lain di kampus.
Dengan itu, terciptalah iklim toleransi. Sisi lain, pendidikan agama-agama dilihat sebagai perlawanan terhadap menguatnya politik identitas di Indonesia yang mendepak kaum beragama untuk bertindak intoleransi.
Menurut saya, tulisan Marsel Robot merupakan anjuran yang berharga serentak transformasi menuju cara beragama yang baik. Mengingat, riset yang dilakukan Setara Institut di 10 Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia meliputi; Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Riset juga dilakukan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Mataram (Unram), dan Universitas Airlangga (Unair) pada bulan Februari-April 2019 lalu.
Setara menemukan tiga wacana keagamaan yang dominan. Pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap jalan Islam.
Kedua, propaganda bahwa Islam sedang dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal.
Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam (Syiful Arif, Opini Kompas.com 8/6/2019).
Khusus provinsi NTT, P. Hendrik Maku, SVD, dosen STFK Ledalero dalam penelitiannya di beberapa kampus NTT menemukan 20,5 persen generasi muda (mahasiswa) yang terjebak dalam radikalisme agama (Pos Kupang.com 24/09/2019).
Dengan demikian, penghargaan NTT sebagai provinsi toleransi yang baik Indonesia menjadi sangat problematis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa NTT belum menghidupi toleransi otentik.
Pemberitaan tentang gotong-royong umat lintas agama, hingga keterlibatan umat beragama dalam kegiatan-kegiatan agama lain tidak serta merta NTT bebas dari radikalisme agama.
Untuk itu, kampus di NTT perlu evaluasi dan waspada dalam menangkal radikalisme agama. Pada titik ini, benarlah Marsel Robot, bahwa kurikulum Kuliah Agama mesti diubah menjadi Kuliah Agama-Agama. Hal ini bertujuan meminimalisasi clash of civilization, perbenturan kebudayaan yang melahirkan konflik fisik antaragama (Huntington, 2012:235).
Radikalisme Agama
Hemat saya, salah satu kekurangan kita di Indonesia dan NTT khususnya ialah pembacaan yang singkat terhadap radikalisme agama, sehingga kadang-kadang berbuntut pada ketidakmampuan dalam menganalisis sebab dan model radikalisme agama itu sendiri. Mesti dibuat garis demarkasi sebab-sebab struktural radikalisme agama dengan model-model radikalisme agama yang sedang berkembang secara massif di Indonesia.
Selain membaca radikalisme agama sebagai sebuah produksi pengetahuan yang mengindroktinasi, juga dilihat sebagai salah satu ideologi politik yang bertujuan untuk mengubah tatanan kehidupan bersama dengan kebenaran agama tertentu. Pada aras ini,. agama tertantu dijadikan pandangan dasar kehidupan berbangsa dengan memproposalkan ideologi agama sebagai dasar negara. Artinya agama menjadi oase sekaligus jawaban terhadap berbagai persoalan negara.
Hal ini tentu berimplikasi pada perjuangan politik kaum beragama yang melandasi dirinya dengan dogma-dogma agama. Di Indonesia, munculnya berbagai ormas-ormas radikal-eklusif berjubah agama merupakan ungkapan kebangkitan populisme kanan yang mengusung panji agama sebagai ideologi politik. Dasarnya ialah ketidakpuasan terhadap ekonomi-politik yang cenderung meminggirkan masyarakat kecil.
Politik pembangunan yang kurang ramah serta ekspansi kapitalisme global telah mencekam masyarakat kecil. Demokrasi dilihat kurang mampu dalam mengatasi berbagai problem kebangsaan. Untuk itu, panji negara agama diperjuangkan dalam rangka menciptakan kedaulatan. Namun, negara agama in se sangat problematis dengan ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Sisi lain, negara agama tidak dapat dibenarkan, sebab menguniversalkan kebenaran partikularitas agama menyebabkan pereduksian identitas ke-Indonesia-an ke dalam afiliasi identitas tunggal, yaitu agama (Sen, 2006:33).
Kedua, hasil riset Setara Institut maupun penelitian dosen STFK Ledalero menunjukkan bahwa kampus masih menjadi ladang subur menumbuhkan bibit-bibit radikalisme. Kampus melanggengkan semangat nasionalisme “tribal” (keagamaan). Hal ini diakibatkan pendakuan yang total atas indentitas agama serta dangkalnya hemeneutika teks-teks Kitab Suci agama-agama.
Kekurangan dosen dalam mengajarkan pendidikan agama salah satunya ialah ketidakmampun membuat penafsiran-penafsiran yang murni atas teks-teks Kitab Suci dan dogma-teologis agama. Sudah banyak kaum beragama berpendidikan yang menafsirkan teks-teks Kitab Suci agama sesuka hati demi kepentingan politik. Kepentingan politik menghalalkan banyak cara, sekalipun bertentangan dengan asas-asas yang melandasinya.
Akibatnya sangat fatal. Penafsiran yang rigit terahadap teks-teks Kitab Suci sangat mungkin melahirkan pribadi-pribadi yang radikal dan bertindak intoleransi terhadap agama lain. Ada banyak teks-teks Kitab Suci agama-agama yang mesti secara hati-hati dalam penafsirannya. Untuk itu, kampus memiliki tanggung jawab dalam hal ini.
Nalar Publik
Oleh karena itu, menurut hemat saya agama mesti ditempatkan pada posisinya. Otto Gusti Madung dalam bukunya Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi menegaskan bahwa posisi agama hanya menjadi kekuatan moral-etis. Agama-agama dapat tampil dalam ruang publik politik hanya sebagai agen pemberi makna dan pembawa obor cahaya yang memberikan orientasi etis bagi manusia (Otto Gusti Madung, 2017: 36).
Karena itu, kampus menjadi basis konsolidasi serta pemurnian pandangan teologis agama dan teks-teks Kitab Suci. Dosen mesti mentransfer pengetahuan yang baik serta pendasaran teologis yang benar supaya mahasiswa tampil dalam ruag publik tanpa memandang perbedaan.
Dengan demikian tampilnya agama dalam ruang publik mesti dijembatani oleh nalar publik. Nalar publik yang dibangun di kampus ialah nalar yang memampukan para pemeluk agama untuk menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup. Itu berarti bahwa setiap warga agama (mahasiswa) harus memperhatikan prakondisi agama lain.
Mahasiswa mesti bersikap terbuka tehadap kenyataan perbedaan dan persamaan agama lain. Setiap agama selalu mengajarkan yang baik. Agama mesti mengantar para pemeluknya untuk bertindak secara benar dan baik (Karel Amstrong, 2001:14). Dengan itu, terciptalah iklim toleransi otentik. Bagian penting dari toleransi otentik ialah respek terhadap agama lain. Axel Honneth, Charles Taylor menekankan bahwa setiap pengakuan mesti berasal dari subjek yang terarah pada subjek lain. Pengakuan mesti berangkat dari suatu identifikasi diri dengan agama lain serentak mengakui segala perbedaan di dalamnya.
Kedua, warga agama (mahasiswa) harus memiliki sikap yang tepat berhadapan dengan prinsip yang berlaku dalam dunia politik yaitu argumen-argumen sekular, berdasarkan akal budi dan dapat mengerti oleh semua pihak. Proses belajar ini berhasil, bila mereka mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh (bdk. Kleden dan Sunarko 2010:89).
Artinya warga agama (mahasiswa) mesti menyadari bahwa dalam politik yang diniscayakan ialah kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah prinsip universal yang perlu diperjuangkan agama-agama, sehingga tidak terjadi pembiakan perjuangan ideologi politik atas dasar agama.