Ende, Vox NTT-Pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk meningkatkan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Malaysia.
Keduanya juga berkomitmen untuk menyelesaikan sejumlah prosedur penempatan dan perlindungan PMI yang belum terselesaikan.
Komitmen tersebut terungkap dalam pertemuan Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Malaysia, Tan Sri Dato’ Hj. Muhyiddin bin Hj. Mohd. Yassin, di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Beberapa poin penting yang penting dibicarakan yaitu kebijakan imigrasi seperti, Foreign Worker Centralized Management System (FWCMS), e-VDR (Visa Dengan Rujukan), Imigration Security Clereance (ISC), usulan Indonesia dalam draft MoU yang mencakup inisiasi penempatan melalui mekanisme One Channel Recruitment.
Kebijakan One Channel dalam rekrutmen ini sangat penting bagi Indonesia dan Malaysia agar semua proses terkonsolidasi, terkoordinasi dan terdata dengan baik.
“Kami mengapresiasi upaya Menaker untuk membuat Revisi MoU Penempatan dan Perlindungan PMI ke Malaysia yang telah berakhir sejak 2015. Termasuk upaya membuat layanan One Channel dalam upaya perlindungan PMI agar semua proses terkonsolidasi, terkoordinasi dan terdata dengan baik. Karena itu kami mendesak agar Menaker segera mempercepat MoU dengan Malaysia,” ujar Direktur Eksekutif Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu sore (14/12/2019).
Dia menjelaskan, Menaker telah mendapat masukan yang salah terkait rencananya untuk mengevaluasi kebijakan imigrasi Malaysia seperti FWCMS, e-VDR (Visa Dengan Rujukan), dan ISC terhadap Pekerja Migran Indonesia.
Karena itu, sebagai mitra kerja pihaknya berkewajiban memberi masukan kepada Menaker.
PADMA Indonesia mengetahui persis bahwa sebenarnya ada tiga kebijakan FWCMS, ISC dan OMNI (One Stop Service) yang harus dibahas.
“Sayangnya si pembisik hanya menyampaikan dua kebijakan dan melupakan OMNI,” beber Gabriel.
Dia mengungkapkan, menurut penelusuran PADMA, posisi Indonesia justru diuntungkan dengan adanya pengetatan dokumen terkait PMI yang akan ke Malaysia.
Dia menjelaskan, sebelum ada FWCMS, e-VDR dan ISC, PMI berangkat melalui visa kunjungan dan setelah tiba di Malaysia baru diurus visa kerjanya oleh majikan, sehingga perlindungan PMI tidak terjamin.
Dengan adanya kebijakan FWCMS, proses visa bisa 1-3 hari yang sebelumnya mencapai 3 bulan.
Hal ini berarti, PMI tidak perlu menunggu lama di penampungan dan cepat berangkat ke Malaysia berikut kompetensi yang dipersyaratnya tentu sudah didapatkannya.
Keuntungan dengan adanya ISC, dapat mendeteksi lebih dini status PMI sebelum diberangkatkan ke Malaysia.
Jika dari deteksi ini diketahui PMI itu sudah black list, maka prosesnya tidak dilanjutkan.
Gabriel melanjutkan, dari perhitungannya sebelum adanya pengetatan imigrasi ini, kerugian majikan ini sekitar Rp 25 juta per PMI.
Selain itu, tanpa pengetatan imigrasi, kalaupun ada PMI yang berhasil masuk dan bekerja di Malaysia, karena tidak kompeten, akan menjadi sumber kekerasan majikan karena kesal sudah membayar mahal PMI untuk datang ke Malaysia.
Data ISC yang kami dapat mencatat tahun 2018 yang berhasil mendapat lulus tes sidik jari di Indonesia di kantor ISC di Indonesia yaitu 86.405 (95%) sementara yang gagal 4.432 (5%).
Di tahun 2019, jumlah yang berhasil tes sidik jari yaitu 74.167 (94%) dan yang gagal 4.608 (6%).
“Dari data ISC selama 2 tahun ini kita melihat ada 9.040 PMI gagal tes sidik jari. Ini berarti, P3MI tidak perlu melanjutkan proses selanjutnya,” papar Gabriel.
Gabriel mencontohkan, sebelum berangkat setiap PMI wajib direkam datanya melalui biometrik di kantor-kantor ISC dan kantor P3MI di seluruh Indonesia.
Jadi, setelah dicek datanya PMI itu bermasalah, maka hari itu juga PMI tidak akan mendapatkan visa, Ini berarti perusahaan penempatan PMI tidak perlu melanjutkan proses dokumennya.
Masukan MoU
Gabriel melanjutkan terkait MoU yang diharapkan tahun 2020 akan segera dilakukan ada beberapa poin yang perlu dimasukkan.
Pertama, yaitu evaluasi kebijakan pengurusan visa di kedutaan Malaysia melalui lembaga bernama OMNI yang meminta biaya pengantaran dokumen (one stop service) sebesar Rp 1 juta bagi PMI.
PADMA meminta agar Menaker meminta pemerintah Malaysia agar mencabut izin OMNI karena hal ini merugikan P3MI.
Apalagi OMNI selama beroperasi lebih dari 5 tahun lebih ini setiap diundang rapat BNP2TKI maupun Kemanaker tidak pernah mau hadir.
“OMNI ini jelas dikelola oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Sayangnya, orang dalam Menaker tidak memberi tahu bu Menteri Ida soal ini agar menjadi bahan pembicaraan dengan Menteri KDN Tan Sri Dato’ Hj. Muhyiddin. Padahal OMNI gak lebih cuma calo saja,” tegas Gabriel.
Kedua, soal Double Medical Check Up. PADMA mengharapkan agar dalam pengurusan sertifikasi kesehatan ini cukup dilakukan di Indonesia saja dan tidak perlu ada pengetesan ulang PMI ketika tiba di Malaysia.
Ini soal kedaulatan negara karena jika kebijakan ini terus dipertahankan kredebilitas dunia kedokteran kita akan mendapat imej sedang dalam masalah.
Ketiga, soal perlindungan PMI, Gabrile meminta agar Menaker memanfaatkan forum-forum regional di ASEAN maupun forum Multilateral negara-negara pengirim pekerja ke Malaysia untuk merumuskan dokumen bersama perlindungan pekerja migran di Malaysia.
Diplomasi perlindungan bersama ini akan terbukti lebih efektif jika Indonesia merumuskan besama perlindungan buruh migran di Malaysia dengan negara-negara sending workers seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, Srilangka, Bangladesh dan India.
Gabriel menilai, revisi pembaharuan MoU ini diperlukan menyusul adanya PMI yang bermasalah di Negeri Jiran itu mulai dari bekerja tanpa izin sah, terlibat kasus hukum, hingga korban penyiksaan atau eksploitasi.
“Hingga akhir 2019, kita mencatat ada 116 pekerja dari NTT yang meninggal. Setelah MoU yang diperkuat dengan dokumen perlindungan pekerja migran kita berharap tidak ada lagi kasus kekerasan PMI di negeri Jiran,” pungkas Gabriel. (VoN)