Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Mahasiwa STFK Ledalero, Maumere, NTT
Hari-hari ini, ruang publik masih ramai mendiskusikan fenomena Ustad Bangun Samudera yang menebar kebohongan. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, Ustad Samudera viral menguasai jagad maya pun media massa. Poster bertuliskan Ustad Samudera, seorang mantan Pastor lulusan S3 Vatikan menuai perdebatan sengit di ruang maya pun nyata.
Setelah dilacak dengan saksama, Ustad Samudera bukanlah seorang mantan Pastor, apalagi lulusan S3 Vatikan. Ustad Samudera adalah seorang yang telah lama terjebak dalam lautan samudera delusi, tak berujung pangkal. Ironisnya, masih ada yang “bekeyakinan” Ustad Samudera itu mantan Pastor lulusan S3 di Vatikan, walaupun media sudah mengklarifikasi.
Pada tulisan ini, saya tidak memberikan penjelasan tentang riwayat pendidikan seorang Pastor atau Vatikan sebagai antitesis narasi Ustad Samudera. Tulisan ini juga tidak bermaksud menghadap-hadadapkan Islam-Katolik atau mencari-cari kelemahan setiap pemimpin agama.
Tulisan ini hanya menyoroti keberadaan Ustad Samudera sebagai tokoh agama, penjaga gawang moral agama yang menebar kebohongan. Tentu dalam agama-agama, posisi pemimpin sangat dihargai para pemeluknya. Selain memiliki pengetahuan yang baik, karakter atau moral-sosial juga baik. Dalam pikiran kaum beragama, setiap pemimpin agama-agama selalu berbicara tentang kebenaran, baik kebenaran agama yang berasal dari Tuhan melalui Kitab Suci agama-agama maupun teologi.
Sebagai masyarakat beragama, pemimpin agama apa pun, kita wajib menghormatinya. Sebab, pemimpin agama adalah orang yang terpanggil secara khusus untuk mewartakan kebenaran, bukan saja bagi pemeluknya, melainkan untuk umat beragama secara umum. Setiap agama selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran bagi para pemeluknya. Singkatnya, kualifikasi seorang pemimpin agama tidak diragukan di hadapan pemeluk agama.
Namun, jagi persoalan ialah bagamana kalau pemimpin agama mewartakan kebohongan alias kepalsuan bagi semua orang atau merkayasa identitasnya? Pertanyaan ini menjadi kritik serentak autokritik bagi pemimpin agama yang suka menebar kebohongan. Ustad Samuderea adalah salah satu dari sekian pemimpin agama yang “getol” merekayasa identitas, membohongi publik. Itu artinya pemimpin agama tidak mampu memberikan teladan yang baik bagi para pemeluknya, juga bagi semua warga negara Indonesia.
Pemimpin agama mestinya memberikan teladan bagi umat beragama secara umum dalam mengaktualisasikan nilai-nilai agama melalui perkataan dan tindakan hidup. Pemimpin agama itu mesti menjadi model atau prototipe dalam menyampaikan kebenaran bagi publik, supaya terjadi soliditas dan integrasi sosial umat beragama.
Dromologi
Tampaknya spiritualitas kebenaran itu belum terinternalisasi dalam diri pemimpin agama, semisal Ustad Samudera. Di era teknologi dengan kecepatan informasi, kehati-hatian pemimpin agama perlu ditingkatkan. Teknologi dan informasi yang supercepat inilah membuat Ustad Samudera begitu tenar sampai ke pelosok-pelosok negeri ini. Akselerasi informasi yang kian senyap telah menghancurkan teritori ruang dan waktu.
Laju perkembangan teknologi cyberspace membawa masyarat dalam arus perubahan yang hipercepat. Arus perubahan hipercepat ini, ibarat dunia yang terus berlari; tidak pernah mengurangi tempo produksi, konsumsi, dan kecepatan informasinya, sehingga membuat atau mengondisikan manusia menjadi tak bisa beristirahat sedikit pun (Piliang, 2017: 42).
Paul Virilo seorang filsuf Perancis menyebutnya sebagai era dromologi, logika pada kecepatan. Kajiannya mengenai dromologi berasal dari akhiran “drome” yang merujuk pada jalur lomba lari atau tempat balapan mobil; dalam kajiannya, mengindikasikan minat utamanya pada “pentingnya kecepatan yang menentukan (Ritzer, 2003:231).
Dromologi berasal bahasa dari Yunani, yakni dromos, berarti berlari kencang, cepat dan logos berarti gagasan, ide dan ilmu pengetahuan. Secara harafiah berarti kecepatan ilmu pengetahuan atau gagasan. Prinsip utama ialah kecepatan informasi.
Dromologi merupakan istilah untuk menjelaskan keadaan atau ilmu tentang kecepatan mengenai dan hancurnya batas-batas yang disebabkan oleh perubahan teknologi yang kelewat dalam bentuk transportasi, komunikasi, telekomunikasi, komputerisasi, dan seterusnya. Dengan kata lain, saat sekarang hal ini menimbulkan sedikit atau tidak ada perbedaan, apakah seseorang tinggal di kota, pinggiran, atau daerah pedesaan.
Logika dromologi inilah menjadi salah satu alasan yang mencukupi terkristalisasinya peyebaran kebohongan semakin massif dalam ruang publik media sosial. Di era post-truth ini, kebenaran dan kebohongan, fakta dan rekayasa, semakin kabur. Dengan bantuan mesin teknologi canggih, informasi penyebaran kebohongan begitu cepat dan mampu mengkarakterisasi individu.
Letupan-letupan kebohongan itu diyakini sebagi fakta tanpa memenuhi kriteria-kriteria rasionalitas. Apalagi, masyarakat yang cenderung bersikap permisif pada legitimasi sosial (agama) yang kuat. Masayarakat demikian akan tunduk pada ortodoksi dominan pemimpin agama, tanpa berpikir kritis.
Menyikapi Kebohongan
Akhirnya kita mesti meningkatkan “trombosit” supaya kebal, dalam rangka menangkal berbagai akselerasi berita yang berseliweran di medsos. Sebagai masyarakat berjejaring dalam teknologi, ada baiknya setiap pemberitaan yang cukup kontroversial dikunyah sebelum ditelan. Kita mesti aktif untuk mengecek berbagai isu dalam rangka mendapatkan kepastian dan kebenaran. Untuk itu hemat saya, ada baiknya masyarakat membangun semangat berliterasi dalam membaca berita. Untuk itu, hemat saya ada beberapa hal yang perlu dan mendesak untuk mengurangi risiko kebohongan secara massif.
Pertama, perkuat basis epistemologis dalam membaca realitas yang samar-samar atau kontroversial. Kalau ada berita-berita yang kurang jelas atau menimbulkan kekacauan, mesti dicek kebenarannya. Di Indonesia, masyarakat membutuhkan pedagogi kritis dalam membaca fenomena-fenomena sosial, bukan hanya dalam kontek pendidikan maupun penelitian. Dalam skala kecil pedagogi kritis dilakukan dalam kaitan jamaknya masalah sosial, terutama kebohongan. Yang paling penting dari pedagogi kritis itu sikap tidak tunduk pada ortodoksi otoritas tertentu. Subjek berperan dalam membangun sikap keragu-raguan terahdap fenomena sosial. Dituntut untuk mampu mencari informasi atau kebenaran yang sesuai fakta untuk membendung terjadinya ketertundukan pada sebuah percepatan informasi. Dengan itu, benteng pertahanan individu semakin kuat, walaupun virus percepatan informasi semakin liar, tak terkendali.
Kedua, sistem hukum mesti menidak secara tegas pelaku-pelaku propaganda kebohongan. Di era post-truth ini, percepatan informasi mengteknologiasai pikiran, sehingga dengan mudah percaya pada sebuah “baying-bayang” kebenaran. Dalam mengatasi hal ini, lembaga hukum yang berwenang mesti menindak secara tegas pelaku-pelaku itu. Jika hukum tidak bekerja, otomatis orang merasa tindakan kebohongan sebagai sebuah ekspresi biasa-biasa saja. Hukum bekerja untuk memberikan efek jera bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, lembaga berwenang mesti tanggap terhadap kenyataan yang kurang bagus ini. Kalau dibiarkan begitu saja, orang kemudian leluasa menyebarkan propaganda kebohongan di ruang publik.