Oleh: Cr. Sandur
(Peminat Masalah Sosial, Budaya dan Politik)
Inti politik adalah merebut kekuasaan. Tendensinya biporal; lembut dan kasar; pahit dan manis; terbuka dan tertutup. Keduanya adalah cara untuk mencapai kekuasaan.
Bukan politik namanya apabila ia tidak dipertentangkan satu dengan yang lainnya serentak juga ia mengandaikan adanya perbedaan.
Perbedaan lumrah dalam berpolitik. Hanya saja ia menjadi boomerang ketika perbedaan itu dijadikan alat permusuhan sampai menyerang pribadi (ad hominem).
Sejatinya perbedaan-perbedaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam politik. Itulah sisi seninya yakni bagaimana menyatukan kepelbagaian pendapat menjadi mozaik indah dalam berpolitik tanpa meniadakan satu dengan yang lainnya.
Salah satu cara untuk mengaktifkan seni tersebut adalah menggunakan majas. Majas merupakan cara penggunaan gaya bahasa (majas) yang bertujuan mendapatkan efek emosional dari pendengarnya.
Pesan sebuah bahasa disampaikan melalui cara kiasan (konotatif) dan bukan denotative (makna sebenarnya). Adanya majas sungguh mengaktifkan suasana canda dan tawa dalam sebuah percakapan.
Umumnya dalam politik, majas sindiran sering digunakan oleh para politisi untuk menyampaikan pesan terhadap lawannya. Beberapa majas sindirian yaitu ironi, sinisme, sarkasme dan satire.
Majas ironi berarti mengatakan keadaan yang bertolak belakang dengan makna yang sebenarnya; Sinisme berarti pernyataan sikap yang mengejek atau merendahkan; sarkasme berarti ejekan kasar atau cemooh; dan satire berarti gaya bahasa kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap keadaan atau sesorang (https://kbbi.kemdikbud.go.id/).
Satire sebagai sebuah bahasa sastra memberikan kepadatan makna dalam sebuah percakapan tanpa harus melontarkan bahasa kasar dan langsung terhadap sesorang atau keadaan.
Di sana akan tampak pola komunikasi yang baik dan mencerminkan sebuah kehangatan karena mengandung humor bagi lawan bicara. Satire menjadikan perbincangan di panggung public menjadi lebih cair dan sederhana untuk mengungkapkan keadaan politik (SIROK BASTRA, Vol. 7 No. 1, Juni 2019: 73—84)
Salah satu satire politik dilakukan oleh Christian Rotok, mantan Bupati Manggarai, dalam deklarasi Paket Hery Nabit dan Hery Ngabut pada tanggal 5 September 2020 di Ruteng.
Dengan menggunakan pakaian kaos oblong, ia menyampaikan dalam Bahasa Manggarai “Sisa ini saja baju yang baik. Baju lain yang saya miliki sudah tercompang – camping. Bete keta taungs ye. Eme manga baju di’as meu ta, teing koe aku, (Baju saya sudah robek semua. Kalau kalian ada baju baik, tolong kasih saya,” kata Rotok disambut dengan teriakan massa “pake baju weru, (ganti baju baru)” (https://www.beritaflores.com/2020/09/07).
Pada konteks Pilkada Kabupaten Manggarai, ini menjadi sebuah perbincangan menarik dan tentu mempunyai latarbelakang tertentu terkait dengan sesorang atau keadaan politik di Manggarai.
Baju bête (baju robek) adalah sindiran untuk keadaan manggarai yang tampaknya masih bolong-bolong dalam masa pemerintahan yang ada. Hal ini diperkuat oleh teriakan massa untuk mengganti pemerintahan melalui pernyataan pake baju weru (ganti baju baru).
Jagat maya pun ramai memperbincangkan pernyataan Beliau setelah mendapatkan tanggapan dari lawan politik, Kamelus Deno.
Dalam deklarasinya, Kamelus Deno (calon incumbent Pilkada Manggarai), memberikan tanggapan terhadap Christian Rotok dengan gaya bahasa sarkasme “Saya baju boleh bête (robek) tapi otak tidak boleh bête (robek). Dan untuk membangun Manggarai, bukan baju tapi otak,” kata Deno di hadapan masa pendukung dalam akun YouTube ema Djo berjudul Mengerikan! (https://www.tagar.id/deno-kamelus-sindir-christian-rotok).
Pola komunikasi antara Christian Rotok dan Kamelus Deno tentu saja menuai banyak tanggapan. Lagi-lagi bukan politik apabila tidak ada yang pro dan kontra terhadap pernyataan para politisi tersebut. Keduanya menyampaikan pesan dengan menggunakan gaya bahasa yang berbeda. Yang satu menggunakan satire dan yang satu menggunakan sarkasme.
Tentu saja gaya bahasa yang dipilih dapat mempengaruhi massa yang mendengarnya untuk memilih atau tidak memilih pasangan yang sedang mengikuti kontestasi politik pemilihan kepala daerah Manggarai Tahun 2020.
Catatannya hanya satu, satire Christian Rotok tentang baju bête sudah mengaktifkan imajinasi budaya dalam politik lawa (masyarakat) Manggarai, selain Pondik (tokoh cerdik dalam legenda orang manggarai).