Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Frater TOP dan Staf Pengajar SMPK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo
Pembangunan tidak selalu membawa dampak positif bagi masyarakat. Pembangunan seringkali membawa dampak negatif bagi masyarakat apabila menghancurkan lingkungan hidup. Simtom paling mendalam dari penghancuran lingkungan ialah struktur dan relasi kekuasaan. Relasi struktur kekuasaan yang berorientasi pada bisnis menciptakan pertarungan hegemonik. Lingkungan diubah menjadi komoditas atau barang produksi yang menguntungkan segelintir orang kaya.
Sisi lain, perampasan lingkungan hidup dengan cara eksploitasi masif, terstruktur dan sistematis dapat dikategorisasi sebagai kejahatan lingkungan (ecocide). Gillian Caldwell, direktur LSM Global Witness menilai ecocide sebagai kejahatan luar biasa. Lebih dari itu, Caldwell berpandangan bahwa para pemilik perusahaan (multinasional dan transnasional) dan politisi yang terlibat dalam kekerasan merampas tanah, meratakan hutan tropis atau meracuni sumber air mesti diadili seperti penjahat (Ridha Saleh, dkk. 2019:40).
Pandangan Caldwell terarah pada sebuah upaya pembangunan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan secara masif. Jika ditelusuri lebih jauh, pandangan Caldwell mempunyai korelasi yang jelas dengan beberapa penelitian tentang keadaan bumi hingga saat ini. Misalnya, para ahli meteorologi, dalam kajiannya menjelaskan bahwa selama seratus tahun terakhir rata-rata temperatur bumi telah meningkat dari 15 derajad Celcius menjadi 15,6 dejarad Celcius.
Para ilmuwan memprediksi peningkatan suhu yang berlanjut. Selain itu, menurut IPCC, suhu global rata meningkat 0,3 derajad Celcius per dasawarsa. Suhu global rata-rata tahun 1890, 14,5 derajat Celcius, tahun 1980, naik menjadi 15,2 derajad Celcius. Dipersikarakan 2030 hingga 2050 suhu global naik 1,5 sampai 4,5 derajad Celcius (Rubiantoro: 2008:6).
Dalam konteks nasional, bahaya yang muncul akibat eksploitasi lingkungan ialah meningkatnya permukaan laut, punahnya spesies dan hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, udara dan tanah. Sebanyak 28.000 jenis tumbuhan, 35.000 jenis binatang dan 10.000 mikroba diperkirakan hidup secara alami di Indonesia.
Luas dararatan Indonesia yang hanya 1,32% luas seluruh permukaan bumi, ternyata menjadi habitat 10% jenis tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, 15% serangga yang ada di dunia.
Dari 515 jenis mamalia besar dunia, 36% endemik di Indonesia, 33 jenis primata, 18% endemik dari 78 jenis burung paruh bengkok, 40% endemik, dan dari 121 jenis kupu-kupu dunia, 44% endemik (ibid., hlm. 36). NASA dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sejak tahun 1992, permukaan laut naik 7,6 cm. bahkan di beberapa wilayah air laut naik sampai 23 cm (http://nationalgeographic.grid.id/read/13301199/sejumlah-wilayah-rendah-di-asia-terancam-tenggelam, diakses 21 Maret 2020).
Karena itu, perlu kewaspadaan untuk melihat secara kritis kehadiran korporasi-korporasi transnasional maupun multinasional yang berusaha menghancurkan hutan.
Duduk Soal
Andre Gorz dalam bukunya Anarki Kapitalisme telah mewartakan bahaya kapitalisme terhadap ekologi. Andre dengan gamblang menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini masyarakat terjebak dalam hancurnya ekologi sebagai konsekuensi logis dari kapitalisme. Semua proses produksi telah menjadi destruksi.
Fakta ini dapat dibuktikan selama produksi itu tidak mengubah gayanya dengan senantiasa menghabiskan sumber daya alam. Sistem produksi telah menciptakan kerusakan lingkungan. Manusia bersikap menaklukkan dan menguasai alam lingkungan (Gorz, 2011: 34-35).
Faktor penguasaan pengetahuan dan teknologi yang bersifat akumulatif sangat penting dalam proses modernisasi di mana negara-negara modern atau maju memiliki atau menguasai ilmu dan teknologi lebih banyak daripada negara-negara yang belum modern.
Dengan demikian ada perbedaan yang jelas antara modernisasi dan pembangunan (development). Misalnya, industrialisasi (pembangunan industri) merupakan perwujudan dari modernisasi karena merupakan peningkatan dan efisiensi proses produksi dengan menggunakan teknologi dan management modern.
Tetapi industrialiasasi belum tentu merupakan pembangunan karena hanya menguntungkan sekelompok pemilik modal sambil mengorbankan mayoritas rakyat yang tanahnya diserobot untuk kepentingan industri. Bahkan kehadiran industri dapat menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitarnya.
Manusia akhirnya terjebak dalam sikap pragmatisme di mana ada kencendrungan untuk mementingkan kegunaan, keuntungan, profit dan apaya yang sekarang untuk sekarang. Motivasi utama ialah perhitungan nilai lebih (Budi Kleden, 2012: 122). Hal inilah yang dikritik Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si.
Paus Fransiskus melihat ada dentuman bahaya besar yang sedang menghinggapi manusia hingga dewasa ini. Masalah besar itu dinamakan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si sebagai globalisasi paradigma teknokratis. Paradigma teknokratis melihat bahwa alam ciptaan hanyalah pemuas kepentingan manusia.
Manusia hanya ingin mengakumulasi segalanya demi kepentingan diri dengan memeras alam ciptaan (Paus Fransiskus: 2015:82). Inilah bahaya developmentalisme atau pembangunanisme yang justru menyengsarakan umat beriman di era sekarang. Atas nama pembangunan, alam dihancurkan. Padahal, manusia hidup dari alam ciptaan.
Selain itu, ideologi kapitalisme seringkali memarginalisasi masyarakat. Pertarungan kepentingan berakibat pada terciptanya kesenjangan sosial-ekonomi-politik. Segelitir orang kaya (korporasi multinasional dan transnasional) menguasai sebagain besar aset-aset vital.
Posisi Gereja Katolik
Fakta kehancuran dunia akibat dieksploitasi oleh korporasi-korporasi transnasional pun nasional di bawah pandu kapitalisme, menuai kritik. Geraja Katolik sendiri di bawah komando Paus Fransiskus menolak pandangan kapitalisme yang berorientasi pada pemenuhan harat segelintir orang kaya untuk menghancurkan dunia ciptaan Allah. Lalu kehidupan manusia menjadi mengambang bagai di tengah arus lautan luas. Kenyataan semakin ekstremnya iklim, rusaknya lingkungan ini tentu menjadi perhatian bersama seluruh umat manusia.
Karena itu Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau Tuhanku) pada tahun 2015. Hal ini diinpirasi oleh kehidupan Santo Fransiskus Assisi.
Paus menulis: ”Dia adalah santo pelindung semua yang belajar dan bekerja di bidang ekologi, dan juga sangat dicintai oleh orang-orang non-Kristiani”. Maka ketika berbicara lingkungan hidup, Paus sangat menolak adanya upaya pengeksplitasian yang massif, sistematis dan terstruktur. Paus menolak dengan tegas sitem dunia kapitalisme-neoliberalisme yang mencekam dan menerkam manusia.
Bagi Paus, berbicara tentang alam ciptaan berarti manusia dihadapkan pada relasi mutualisme, saling melengkapi dan membutuhkan, bukan menghancurkan. Paus tegaskan dalam Ensiklik Laudato Si: “Kita adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, terjalin dengannya” (ibid., hlm. 107).
Itu berarti manusia dan alam adalah sahabat karib yang selalu mengisi dalam berbagai kekurangan. Intinya penting solidaritas dengan alam ciptaan. Karena itu posisi Geraja Katolik ialah mengecam tindakan penghancuran alam, eksploitasi besar-besaran yang berujung pada hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim yang ekstrem.
Oleh karena itu, bagi umat beriman, seruan Paus Fransiskus menyadarkan kita akan pentingnya merawat bumi. Harus diakui bahwa hanya Allah-lah pencipta utama dan pertama. Manusia tidak berhak menggunakan kebebasan tanpa sebuah tanggung jawab untuk merusak alam. Teologi-teologi Katolik cenderung menempatkan bumi sebagai ibu, pemberi kehidupan bagi manusia. Untuk itu, jagalah dan rawatlah bumi ini hingga keabadian.