Oleh: Patritius Arifin
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta
Beberapa tahun terakhir, diskursus mengenai dasar negara, Pancasila, menjadi narasi dominan menghiasi kolom diskusi media massa, jurnal, atau pun seminar-seminar ilmiah. Wacana ini kembali muncul akibat menguatnya fenomena fanatisme kelompok dan agama. Tren gembar-gembor sentimen primordial seperti itu hari-hari ini kembali melejit.
Media sosial seperti twitter atau Youtube ramai dengan orasi-orasi agama menyusul pulangnya pemimpin besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab, dari Arab ke Indonesia. Hal ini bukan kebetulan. Imam besar FPI ini memang tercatat sejak tahun 2016 memimpin banyak gerakan massa yang kini dikenal dengan sebutan 212 untuk menyuarakan pembelaan terhadap Islam dan Ulama serta melancarkan kritik oposisi terhadap pemrintahan Presiden Joko Widodo.
Rizieq Shihab kali ini kembali menggegerkan ruang publik yang sedang ‘mati suri’ akibat virus korona dengan agenda ‘revolusi akhlak’ sebagaimana terus disebut dalam setiap orasi publiknya seperti dilansir Tirto.id dalam artikel “’Revolusi Akhlak’ Rizieq Potensial Memperkuat Guncangan ke Jokowi”, pada 20 November 2020.
Revolusi ini kabarnya bersifat mendesak dan mesti segera tuntas. Oleh karena itu, upaya tersebut akan didesain sebagai satu gerakan masif. Begitu misalnya Rizieq dalam peringatan maulid Nabi Muhammad saw di Petamburan, Jakarta, pada 14 November yang lalu menyatakan bahwa kelompoknya akan mengunjungi ulama, tokoh umat Islam di berbagai daerah untuk memantapkan langkah dalam rangka ‘revolusi akhlak’ tersebut.
Revolusi akhlak yang disuarakan Rizieq agaknya berbau politis sebab ia berbicara demikian dalam konteks penegakan hukum di Indonesia yang dinilainya bersifat diskriminatif terhadap ulama atau Islam. Dalam sebuah vidio yang beredar baru-baru ini, Rizieq memberi semacam peringatan kepada pemerintah bahwa akan ada penumpahan darah jika para penghina ulama tidak diproses oleh aparat penegak hukum. Ketidakadilan atau diskriminasi terhadap ulama tersebut dinilai merupakan bukti bahwa pemerintah Zalim (tidak adil) dan karena itu perlu adanya revolusi akhlak. Jadi jelas, sasaran revolusi akhlak yang dimaksud Rizieq ialah pemerintah dan karena itu politis.
Rizieq menegaskan bahwa revolusi akhlak ini pada dasarnya adalah upaya perdamaian dengan mengedepankan dialog sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana dilansir Okenews.com dalam artikel “Habib Rizieq: Revolusi Akhlak Bisa Berubah Menjadi Jihad Bila Kezaliman Terus Terjadi”, pada 15 November 2020, Akan tetapi, ‘revolusi akhlak’ bisa berujung jihad jika pemerintah tidak mau bekerja sama. Jadi, FPI siap angkat senjata melawan pemerintah Zalim.
Berdasarkan paparan tersebut, sulit untuk tidak mencurigai gerakan-gerakan ini sebagai upaya agama mendominasi ruang publik. Kelompok ini secara terang-terangan menghadapkan pemerintah dengan Islam. Atas itu, jelas bahwa agenda utama kelompok keagamaan seperti ini sebetulnya anti pancasila dan demokrasi meskipun orasi-orasi mereka di ruang publik berlindung di balik dalil-dalil demokrasi seperti kebebasan berpendapat, kesetaraan, dll.
Mereka ingin agar negara ini memperhatikan prinsip-prinsip Islam secara eksklusif. Demikian, mereka memendam hasrat akan satu sistem pemerintahan teokrasi, bukan demokrasi Pancasila. Begitulah agama kembali menguasai ruang Publik kita. Pertanyaannya ialah mungkinkah Indonesia menjadi negara Islam?
Ide Negara Islam
Sering kali, Ide untuk menjadikan Indonesia negara agama mengusung ide Pancasila versi Piagam Jakarta. Kurang lebih argumen yang mau dibela bertitik tolak dari prinsip tauhid (Otoritas absolut Allah). Dalam konsep tauhid wahyu Tuhan dianggap lebih menjamin karena kebenarannya mutlak. Kebenaran seperti inilah yang pantas dijadikan dasar negara.
Sebaliknya, moral yang berasal dari filsafat, termasuk Pancasila, bersifat nisbi (berubah-ubah/tidak bisa dipegang) maka tidak layak dijadikan sebagai dasar untuk satu negara yang baik.
Lebih jauh, agama yang tepat untuk menjadi dasar Negara Indonesia ialah Islam. Alasannya ialah bahwa selain Islam, baik kepercayaan tradisional maupun agama mayor lainnya tidak menyembah Tuhan yang Maha Esa.
Kristen misalnya menyembah Allah yang Trinitas (tiga dalam satu), bukan monoteis, Hindu dan Budha juga berkepercayaan politeis, dst. Demikian mereka menyimpulkan bahwa hanya Islam yang cocok untuk dijadikan dasar negara.
Akan tetapi, argumen seperti ini tentu bermasalah. Menjadikan Indonesia sebagai negara agama (Islam) merupakan pengkhianatan terhadap pribadi bangsa yang majemuk sebab dengan begitu berarti kita memutlakkan mayoritas dan mengkhianati unsur partikular lain.
Lalu pertanyaannya, akankah masih ada yang namanya Indonesia di masa depan? Jika demikian prinsipnya, Indonesia bubar. Mengapa demikian? Lugas saja bahwa menjadikan Indonesia sebagai negara milik satu agama saja berarti melegalkan intoleransi. Lalu, negara mana bisa bertahan dalam kekangan sosial-religius seperti itu?
Ancaman perpecahan ini bisa kita telisik dalam sejarah. Kita ingat peristiwa yang mengubah alur debat mengenai dasar negara pada tanggal 17 Agustus sore menjelang sidang PPKI 18 Agustus 1945, yaitu ketika seorang opsir Kaigun (AL) Kristen menyampaikan pesan kepada Hatta bahwa mereka siap mundur dari NKRI jika sila pertama yang menunjukkan komitmen pada kepentingan Islam secara ekslusif tidak diubah menjadi lebih merangkul semua unsur Bangsa.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa Pancasila merupakan kesimpulan akhir atau jalan tengah dari sebuah debat panjang yang diambil oleh tokoh pendiri bangsa terhadap berbagai kepentingan. Jadi, Pancasila mutlak di sini.
Itu artinya, Indonesia menjadi mungkin hanya jika Pancasila menjadi Dasar Negara sebab Pancasila merupakan kompromi terhadap berbagai keragaman yang merupakan pribadi bangsa ini. Negara ini secara eksistensial tidak cocok dengan homogenisasi/penunggalan yang mengebiri kepentingan banyak pihak lain dalam bentuk apapun termasuk agama. Dengan demikian ide menjadikan Indonesia negara agama (Islam) tidak masuk akal, alih-alih memperkuat bangsa, justru menghancurkan Indonesia.
Kembali ke Pancasila: Ide Negara Islam Tidak Realistis
Kasus ini mendesak kita untuk berpikir mengapa Indonesia cocok dengan sistem demokrasi Pancasila ketimbang sistem teokrasi. Menyitir Franz Magnis-Suseno dalam buku kecil berjudul “Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan“ (2008), Ia menjabarkan tiga nilai etika kebangsaan dalam Pancasila yang mendukung ciri kompleks bangsa ini.
Pertama, pluralisme. Pluralisme tidak lain ialah kesediaan untuk memperjuangkan bukan hanya pengakuan akan adanya fakta pluralitas dalam masyarakat, tetapi juga bahwa fakta tersebut perlu dihormati, dilestarikan dan dikembangkan.
Pluralisme merupakan kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan agama yang berbeda dan kesediaan untuk hidup, bergaul dan membangun negara bersama-sama.
Kedua, demokrasi. Demokrasi ialah syarat berlangsung terusnya Indonesia. Negara yang ekstra majemuk seperti Indonesia ini sulit dipersatukan jika kehendak untuk bersatu bukan datang dari sebuah kerelaan. Dan orang hanya akan rela untuk hidup bersatu jika mereka terlibat secara bebas dalam mengurus negaranya, tidak diasingkan. Hal inilah yang dijamin demokrasi.
Ketiga, keadilan sosial. Keadilan ialah syarat minimal. Adil berarti bahwa seluruh bangsa dapat hidup dengan layak dan utuh sebagai warga negara, tidak ada yang merasa dianaktirikan.
Hal ini harus tampak dalam kesejahteraan hidup masyarakat pada level paling minimal seperti makanan, rumah, sekolah, dll. Hal lain ialah rasa nyaman hidup, bebas dari rasa takut, hidup damai dalam suatu negara dengan kebebasan beragama dalam batas-batas tertentu tanpa tekanan.
Terpenuhinya semua hal ini akan memperlihatkan solidaritas bangsa. Solidaritas inilah dasar persatuan. Kita bisa berhasil hidup bersama dalam perbedaan hanya jika ketiga unsur yang minimal ada ini, berjalan baik. Pancasila menjamin ketiga unsur tersebut.
Itulah mengapa ide negara Islam tidak cukup realistis untuk tantangan keberagaman kita ketimbang Pancasila.