Oleh: Riko Raden
Akhir-akhir ini di laman Facebook saya, ramai sekali berbicara seorang Anggota Komisi V DPR RI, A Bakri HM perihal pernyataannya meremehkan wisata yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pernyataan beliau ini waktu mereka menggelar RPD dengan Dirjen Cipta Karya dan Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kemen PUPR, Selasa 26 Januari 2021.
Dalam pertemuan ini, setelah anggota DPR yang lain sudah diberikan kesempatan untuk berbicara, kini tiba giliran dia untuk berbicara.
Dalam pembicaraannya ini, dia menyampaikan perihal keadilaan anggaran infrastruktur.
Politisi PAN asal Jambi ini lantas menyinggung program 2020 dan rencana 2021 terkait pengembangan lima kawasan strategi pariwisata nasional (KSPN).
“Alangkah baiknya mungkin ke depan, di setiap anggota itu didata program-program wisata yang ada di daerah. Ini rasa keadilan bu. Saya kemarin diajak oleh teman-teman, Komisi V kunjungan ke NTT. Tidak ada yang istimewa bu di sana, paling yang istimewa itu komodonya aja bu. Lihat pantai, lihat apa, di tempat saya di Jambi itu banyak bu pantai begitu. Tapi anggarannya bukan main besar sekali.” Demikian ungkapan beliau.
Statement penting pernyataan dia adalah tidak ada wisata yang istimewa di NTT, kecuali Pulau Komodo.
Pernyataan dia ini memancing reaksi orang NTT. Ada yang katakan bahwa dia hanya berpikir dangkal, kurang mencari informasi, bergaul hanya sebatas daerahnya saja, dan lain-lain.
Baiklah, kita sebagai orang NTT sudah menanggapi pernyataannya dengan cepat. Itu artinya orang NTT masih ada di negeri ini dan tidak ingin tanah nenek moyang dihujat begitu saja di depan umum.
Memalukan! Sebab siapa saja yang tidak merasa malu atau emosi kalau orang tuanya diolok-olok oleh orang lain di depan umum.
Saya yakin kita semua pasti merasa emosi dan tentu membalas hujatan itu dengan kata-kata pedas pula. Tetapi di sini saya mengakui sikap baik orang NTT.
Mereka tidak menjadikan persoalan ini menjadi masalah besar. Mereka tidak membawa ke ranah hukum untuk menggugat pernyaatan seperti ini.
Mungkin hal-hal konyol seperti ini menjadi garam setiap hari orang NTT. Sebab bukan hanya kali ini saja orang-orang NTT menghadapi persoalan seperti ini.
Ada banyak persoalan lain sebelumnya. Tapi semua itu ditanggapi dengan baik dan penuh suasana damai. Tidak seperti di daerah-daerah lain, apabila daerahnya dihujat oleh orang lain, maka di jalan penuh dengan massa sambil berkoar-koar agar orang itu cepat dibawa ke ranah hukum.
Bagi orang NTT, persoalan seperti ini sudah ada sejak nenek moyang. Sebab walaupun orang NTT terus diolok-olok seperti sungai yang tercemar, tercemar mulai dari hulu tapi tak pernah merasa diri kotor.
Orang NTT yakin bahwa apa yang mereka hujat itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Penuh ilusi semata tanpa verifikasi empiris dan defenitif lewat bukti dan data yang benar.
Di sisi lain, saya mencoba melihat pernyataan dari A Bakri HM di atas mengandung perntanyaan reflektif untuk orang NTT.
Saya melihat bahwa orang NTT pada umumnya, dan masyarakat kecil pada khususnya hanya berani bersuara dengan masalah dari luar daerah sendiri, sedangkan masalah di dalam daerah sendiri diam seribu bahasa.
Ada begitu banyak masalah yang terjadi di daerah NTT seperti kasus Besipae di Timor, kasus tanah di Labuan Bajo, kasus pariwisata di Taman Komodo, kasus TKW asal NTT, dan masih banyak masalah lain yang lepas begitu saja tanpa ada solusi yang baik untuk orang-orang NTT dan masyarakat kecil pada khususnya.
Orang NTT khususnya masyarakat kecil hanya diam apabila para penguasa mengambil begitu saja harta warisan mereka atau menangani kasus yang dialami oleh masyarakat kecil tanpa ada solusi yang baik.
Di hadapan para penguasa diam seribu bahasa. Inilah mental orang NTT, lantang memadah ke luar dan ke dalam redum tanpa kidung yang menggema. Sebenarnya pernyataan dari Politisi PAN asal Jambi ini membuka mata hati orang NTT (masyarakat kecil) untuk lebih jelih melihat perlakuan para penguasa yang ada di daerah ini.
Melihat perlakuan para penguasa terkait penggunaan dan pengolahan tempat pariwisata di daerah NTT. Ada begitu banyak tempat pariwisata di NTT dan pemiliknya para penguasa semua.
Rakyat kecil tidak bisa menikmati tempat parawisata itu karena ongkos sangat mahal. Sehingga yang bisa menikmati tempat parawisata di NTT pada umumnya para penguasa, sedangkan rakyat kecil hanya diam di bawah ketiak para penguasa.
Harus tegas dan berani bersuara untuk melawan segala tindakan kurang adil yang ada di daerah ini. Ini tanah nenek moyang kita. Penguasanya kita sendiri bukan para penguasa.
Jangan cepat percaya rayuan dari lidah-lidah cerdik yang membuat hidup kita menjadi kerdil dan menjadi orang asing di tanah sendiri.
Kita belajar dari politisi PAN asal Jambi di atas, agar rakyat kecil berpartisipasi menangkap dan peluang kehadiran tempat parawisata di daerah ini.
Rakyat diberdayakan agar bisa menangkap remah-remah keuntungan ekonomis melalui kehadiran wisatawan di semua tempat parawisata di NTT. Semua program pemberdayaan dalam konteks pariwisata, entah dari pemerintah maupun LSM sudah seharusnya memiliki tujuan yang sama: rakyat cerdas membaca peluang potensi pariwisata dan bisa mendapatkan keuntungan ekonomis dari industri pariwisata yang berkembang di daerahnya.
Bagaimana mendukung idealisme pariwisata berbasis masyarakat ini? Pertama, rakyat membutuhkan pendampingan secara intens dan kontinu. Proses pendampingan itu tidak hanya membutuhkan sinerdi antara pemerintah dan LSM, tetapi juga harus melibatkan semua SKPD di dalam birokrasi. Sinergi positif antar-elemen sangat menentukan efektivitas pemberdayaan.
Kedua, akses ke desa-desa yang memiliki potensi wisata harus diperhatikan. Infrastruktur jalan ke desa-desa yang memiliki potensi wisata di sekitar tempat pariwisat seperti Kelimutu dan di tempat lain yang memiliki tempat pariwisata sangat buruk dan terabaikan.
Pemerintah di berbagai jenjang level tampaknya belum sepenuhnya sadar pariwisata. Kita masih berkutat di ranah wacana dan masih minim tindakan konkret.
Pariwisata butuh gagasan dan implementasi. Kita perlukan SDM yang kreatif, inovatif dan cerdas membaca peluang. Tapi tetap berbasis lokalitas yang berkelanjutan (Steph Tupeng Witin, 2018: 21).
NTT adalah tempat parawisata yang indah. Maka pengembangan pariwisata harus berbasis masyarakat. Artinya, pariwisata harus melibatkan dan membawa dampak yang signifikan bagi warga bukan hanya para penguasa.
Penulis adalah mahasiswa STFK Ledalero