Oleh: Florianus Jefrinus Dain
Alumnus STFK Ledalero, Peminat Isu Sosial dan Politik
Salah satu alasan terjadinya keterpecahan dan kejahatan dalam negara demokrasi menurut Francis Fukuyama ialah heterogenitas sosial. Senada dengan itu, Benedict Anderson sejarawan dan pakar politik dunia, menyebut Indonesia sebagai imagined communities atau komunitas bayang-bayang yang senantiasa terancam pecah. Indonesia digambarkan sebagai sebuah konstruksi artifisial yang terdiri atas ribuan pulau dengan pelbagai suku, adat-istiadat, agama, bahasa, dan pengaruh.
Sebab utama adanya ancaman keterpecahan dalam negara ialah meningkatnya politik identitas atau tuntutan atas pengakuan (demand of recognition) identitas yang hampir terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pembacaan dan kajian mainstream semacam ini tidak berusaha menyampingkan kajian ekonomi politik dalam memahami radikalisme agama. Misalnya fenomena kemunculan protes yang berangkat dari keterpurukan ekonomi politik yang berbasis identitas seperti ISIS atau al-Qaidah. Atau gelombang isu anti-imigran, soal penduduk pribumi dalam rangka mendapat justifikasi ekonomi-politik yang dominan dalam negara.
Konteks Indonesia, gelombang protes atau perlawanan terhadap pemerintah yang lahir dari kesadaran ekonomi politik terutama alokasi kue pembangunan kurang merata atau kesenjangan sosial dibaca sebagai upaya demokratisasi ekonomi politik. Maka muncul gerakan “perang” melawan ketidakadilan. Bisa jadi pembacaan dan kajian tentang gelombang perlawanan atas kesadaran identitas kelas sosial munculnya radikalisme agama menjadi benar, tapi belum secara tuntas membaca fenomena yang lain.
Dalam konteks kejadian yang lain, kajian kesetaraan identitas (baca: SARA) harus diakomodasi demi menjelaskan fenomena radikalisme agama yang bermunculan di negeri ini. Misalnya, aksi protes mewajibkan penggunaan Jilbab bagi peserta didik non-muslim merupakan upaya kesetaraan atas identitas. Semua agama, ras, suku, dan golongan menginginkan pengakuan secara politik maupun sosial.
Walaupun fenomena ini kemudian di-counter oleh berbagai pihak, namun tetap jadi isu tahunan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan keputusan bersama pada 3 Februari 2021. Isi keputusan bersama itu ialah peserta didik, tenaga pendidik, dan pegawai kependidikan di lingkungan sekolah tidak boleh menggunakan seragam atau atribut khas dari agama tertentu, kecuali Provinsi Aceh karena kekhususan sesuai peraturan dan perundang-undangan pemerintahan Aceh.
Krisis Epistemologis
Hemat saya, menguatnya puritanisme agama sebagai akibat tuntutan pelembagaan indentitas. Puritanisme agama berarti memperjuangkan kemurniaan doktrin, tata cara, peribadatan, dan kesalehan individual. Perjuangan kemurnian agama di tengah kenyataan pluralisme akan melahirkan patologi intoleransi serta kekerasan antaragama. Ia akan mengonfirmasi bahwa teks-teks Kitab Suci dan ajararan agama dilihat sebagai pemegang kebenaran tunggal. Kemudian mengendap dalam ideologi ormas-ormas berpayung agama untuk menentang Pancasila. Ideologi agama dilihat sebagai solusi atas persoalan negara terutama obsesi lama memperjuangkan Piagam Jakarta.
Obsesi laten Piagam Jakarta ini masuk dalam ranah pendidikan melalui pengkonstruksian pikiran milenial secara terstruktur, massif, sistematis. Terkesan lembaga pendidikan berperan sebagai alat ideologis, mengaspirasi dan mengindoktrinasi identitas agama tertentu. Relasi tak sehat ini digambarkan Setara Institute dalam temuan riset nasionalnya tentang radikalisme agama pada Februari-April 2019 di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Setara menemukan tiga wacana keagamaan yang dominan.
Pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi maupun bangsa, hanya bisa diraih lewat ketaatan terhadap jalan Islam. Kedua, propaganda bahwa Islam sedang dalam ancaman musuh-musuhnya. Musuh yang dimaksud ialah kalangan Kristen, Zionisme, imperalisme Barat, kapitalisme, serta kaum Muslim sekular dan liberal. Keiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran (ghazw al-fikr) dalam rangka melawan berbagai ancaman tersebut demi kejayaan Islam (Bdk. Syiful Arif, Opini Kompas 8/6/2019). Singkatnya, bendera gerakan oramas-ormas pengganggu stabilitas nasional mendominasi.
Bangkitnya pelbagai ormas dan radikalisme pemikiran ini ditengarai timbul akibat minimnya konsep kebangsaan, eksklusivisme, euforia kebebasan dan penyebaran berita bohong yang apik memanfaatkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Pelbagai aplikasi jejaring sosial (Facebook, Instagram, Youtube, Whatsapp, dll.) disulap menjadi arena provokasi satu sama lain. Akibatnya ialah semakin menguat nasionalisme “tribal” (agama) dan merangsang para pemeluk agama untuk membangun tembok oposisi biner “orang kita-orang asing”. Bahkan menurut Wolfgang Huber dikutip Budi Hardiman, “kekerasan dilihat sebagai ibadah”. Para pelaku bom bunuh diri meyakini tindakan mereka sebagai bentuk kemartiran dan ibadah kepada Allah (Hardiman, 2018:122). Ada semacam deportasi terhadap martabat manusia sebagai liyan, subyek kelas dua termarginalkan. Artinya iklim toleransi masyarakat Indonesia belum berkembang menjadi pengakuan yang otentik.
Rejuvenasi Pancasila
Hemat saya, sudah sejak awal pendiri bangsa (founding fathers) memikirkan konstruksi artifisial plural ini dengan merumuskan prinsip-prinsip dasar, overlapping consensus sebagai pemersatu yaitu Pancasila. Soekarno menyebut Pancasila sebagai fondasi, filsafat, pikiran sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka dan abadi. Pancasila menjadi pilar utama yang mempersatukan semua rakyat Indonesia. Selain itu, Pancasila dilihat sebagai conditio sine qua non dan dasar negara Indonesia yang merdeka.
Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dirumuskan untuk masyarakat plural Indonesia. Untuk itu, ada beberapa agenda strategis merealisasikan umat beragama di Indonesia. Pertama, generasi milenial harus memosisikan Pancasila menjadi bagian dari sumber inspirasi dan petunjuk bagi umat beragama dalam konteks bermasyarakat-berbangsa. Milenial perlu membaca sejarah secara kritis dan mendalami literatur-literatur Pancasila untuk ditarik nilai-nilainya dalam kehidupan. Selanjutnya kerja praktis itu termuat dalam kampanye Pancasila, baik berupa tulisan opini, puisi, seni, diskusi ilmiah, juga mereproduksi konten-konten kebhinekaan untuk disebarkan di media sosial.
Kedua, menjadikan Pancasila sebagai muatan materi dan spirit dakwah bagi setiap agama dan aliran kepercayaan di Indonesia. Hal ini berkenaan dengan pendidikan keagamaan. Deklarasi PBB 1981 tentang penghapusan semua bentuk intoleransi dan diskriminasi menggarisbawahi korelasi antara pemajuan toleransi dan kebebasan beragama melalui pendidikan agama yang kritis. Pendidikan agama yang kritis mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang holistik. Artinya milenial mesti menjadi relawan kebhinekaan dalam membangun basis epistemologis Pancasila melalui pengajaran di sekolah-sekolah, keluarga, lingkungan rumah ibadah dan organisasi-organisasi atau paguyuban.
Ketiga, milenial mesti mempertahankan karakter keagamaan ala Nusantara. Artinya orang beragama yang ber-Pancasila sudah selayaknya menunjukkan diri sebagai penganut agama yang berbudaya. Generasi milenial mesti terlibat dalam mengintegrasikan agama dan kearifan lokal Pancasila di daerah. Kearifan lokal Pancasila perlu digali dan dipromosikan kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, terjadi semacam rejuvenasi Pancasila.