Oleh: Rian Agung, S.H
Alumni Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) telah secara resmi menetapkan Edistasius Endi dan Yulianus Weng (Edi-Weng) sebagai pasangan calon (Paslon) Bupati terpilih dalam pilkada Mabar tahun 2020 kemarin.
Sebelumnya, bersama pihak Banwaslu Mabar, paslon ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena diduga melakukan sejumlah pelanggaran Pilkada. Namun, gugatan pemohon kandas di tengah jalan karena tidak cukup bukti untuk menunjukan pelanggaran termohon dan pihak terkait lainya.
Pada akhirnya, MK memutuskan keterpilihan Edi-Weng sebagai Bupati dan Wakil Mabar, akurat dan sah menurut hukum. Yang menarik, usai mendengar putusan MK, Edistasuis Endi (Edi) menyampaikan pernyataan publik yang berisi komitmennya untuk membangun Mabar lima tahun ke depan.
Bersama pasangannya, Yulianus Weng, Edi menegaskan, di 100 hari pertama program kerja, keduanya akan melakukan sejumlah terobosan baru untuk menunjang kemajuan Mabar dari sejumlah aspek. Satu aspek penting yang mendapat sorotan Edy adalah pengamanan dan penertiban aset-aset daerah yang dimiliki oleh Pemda Mabar.
“Kita pastikan bahwa kita akan tertibkan seluruh aset yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat khususnya yang ada di kabupaten ini,” kata Edy, (Ekorantt, Senin, 15/2021).
Sepintas, Edy tampaknya menyadari betul bahwa pengamanan dan penertiban aset menjadi titik start terakselerasinya pembangunan yang tidak kontraproduktif dan tidak menimbulkan sengkarut hukum. Pembacaan Edy kurang lebih berangkat dari fakta sosial politik di Mabar yang sangat memprihatinkan akibat buruk dan tidak transparannya manajemen tata kelola aset-aset milik daerah.
Secara gamblang, soal ini bisa dilacak dari dua kasus besar yang pernah dan sedang terjadi di Mabar dengan segala implikasi sosial, politik, budaya, dan hukum yang mengitarinya yakni, polemik kepemilikan Pantai Pede dan kasus pengalihan kepemilikan lahan milik Pemda seluas 30 ha yang terletak di Labuan Bajo dan sekitarnya. Kedua kasus ini membuka mata publik soal ketidakbecusan manajemen tata kelola aset milik daerah yang tidak transparan dan tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan rasa keadilan publik.
Di sisi lain, alih-alih menonjolkan kebijakan politik pembangunan, elite kita justru terjebak dalam negosiasi kekuasaan yang menjerumus keadaban dan etika berpolitik di tingkat lokal. Korupsi berjamaah pada kasus pengalihan lahan di Mabar baru-baru ini merupakan buah dari pembiaran berbagai kebijakan publik, termasuk kebijakan tata kelola aset daerah yang lemah pengawasan dan tidak berbasiskan komitmen dan integritas kuat pemangku kepentingan dalam perealisasiannya.
Konteks politik lokal inilah yang membuat komitmen awal Edi menarik untuk dicermati sekaligus didiskusikan demi tercapainya visi Mabar bangkit sebagaimana tagline paket Edi-Weng. Jika manajemen tata kelola aset daerah dipandang perlu dan menjadi bagian penting dari upaya menciptakan pembangunan yang berkeadilan dan tidak menimbulkan sengketa hukum, maka kebijakan itu harus dirumuskan secara jeli dan mesti berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
Manajemen Tata Kelola Aset Daerah
Secara umum, Manajemen tata kelola aset daerah dapat dimaknai sebagai ikhtiar untuk mengatur seluruh aset/barang dan jasa milik daerah secara efektif dan efisien demi tercapainya target pembangunan. Untuk memenuhi target tersebut, kebijakan tata kelola aset daerah sekurang-kurangnya harus melalui beberapa tahapan berikut.
Pertama, Inventarisasi aset. Secara sederhana, inventarisasi dapat dipahami sebagai kegiatan mencatat atau menyusun barang-barang yang ada secara benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara inventarisasi aset daerah merupakan serangkaian tindakan yang meliputi pendataan, perhitungan dan pengaturan aset-aset milik daerah.
Inventarisasi aset adalah Kegiatan atau tindakan untuk melakukan perhitungan, pengurusan, penyelenggaraan, pengaturan serta pencatatan data dan pelaporan barang milik daerah dalam berbagai unit pemakaian yang dilakukan secara transparan dan melibatkan tim independen ( Soleh Chabib, dkk 2010 : 180 ). Menurut Permendagri Nomor 17/2007 pasal 1 ayat 31, inventarisasi aset merupakan kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik daerah.
Lebih lanjut, Siregar (2004:518), mengkategorikan inventarisasi aset ke dalam dua aspek, yakni inventarisasi fisik dan inventarisasi yuridis. Inventarisasi fisik berkaitan dengan pendataan atau kodifikasi aset dari segi bentuk, luas, lokasi, volume/jumlah, jenis dan alamat. Sementara inventarisasi yuridis berkaitan dengan pendataan atau kodifikasi aset dari aspek penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain-lain sebagainya.
Di Mabar sendiri, inventarisasi aset daerah tampaknya masih menjadi persoalan krusial yang belum ditangani secara tuntas. Ketidakjelasan penguasaan dan kewenangan urusan pengelolaan Pantai Pede antara Pemda dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) beberapa tahun silam merupakan suatu indikasi yang dengan terang benderang menjelaskan titik lemah inventarisasi aset-aset daerah.
Saat itu publik menyaksikan ketegangan yang berlarut-larut sebagai akibat nyata tidak adanya keberanian politik dari Pemda untuk menegasakan posisinya sebagai pengelola sah Pantai Pede. Selain disinyalir karena adanya kepentingan pragmatis di tingkat elite, tak adanya keberanian Pemda juga merupakan implikasi dari lemahnya pendataan dan pencatatan aset daerah (Pantai Pede) baik dari segi fisik maupun yuridis.
Berkaca pada kondisi ini – dan tanpa mengecilkan pentingnya integritas pejabat publik sebagai panduan dalam mengeksekusi setiap kebijakan publik, ke depan, Edi-Weng mesti mampu mengorganisir kekuasaannya dengan lebih awal memastikan inventarisasi aset daerah yang dilakukan secara transparan dan profesional.
Pemda harus segera melakukan pencatatan dan proses legal audit terhadap sejumlah aset yang ada sehingga bisa digunakan secara optimal. Adanya kelalaian pada penggunaan dan pengelola aset yang tidak bertanggung jawab dalam pendataan aset akan menimbulkan sengketa yang berkepanjangan.
Ke depan, Inventarisasi aset bakal menemukan sejumlah kendala seiring dengan masuknya sejumlah investasi bodong di Mabar, khususnya di Labuan Bajo. Mengantisipasi itu, dibutuhkan komitmen kuat dari segenap komponen pemerintah daerah untuk membenahinya agar pengelolaan aset daerah menjadi lebih tertib. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, proses inventarisasi aset itu harus melibatkan tim independen sehingga hasilnya kredibel. Korupsi pengalihan lahan yang menelan kerugian negara dalam jumlah yang sangat fantastis belakangan di Mabar, merupakan akibat langsung dari proses Inventarisasi aset daerah yang ala kadarnya tanpa keterlibatan tim independen. Alhasil, penguasa dengan seluruh perangkat kekuasaan yang ada bertindak “semau gue” dengan mengalihkan aset daerah menjadi milik pribadi dan golongan.
Kedua, Pengawasan dan Pengendalian aset. Pada dasarnya, fungsi pengawasan dan pengendalian aset melekat pada tugas pokok satuan kerja perangkat daerah. Namun untuk menjamin kelancaran penyelenggaraanya dibutuhkan kerja sama lintas sektor, termasuk elemen masyarakat. Dalam rangka itu, kekuatan politik di DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan harus dilakukan secara konsisten dan kontiunitas.
DPRD harus benar-benar menjadi “anjing penjaga” agar kerja kekuasaan dalam mengelola aset daerah bisa dipertanggungjawabkan. DPR tidak pernah boleh menjadi bamper kekuasaan dengan ikut terlibat atau menjadi bagian dari sistem-sistem yang berpotensi menjerumuskan keluhuran politik dan demokrasi lewat sejumlah kebijakan-kebijakan publik. Selain itu, saluran informasi tata kelola aset daerah harus dipublikasikan secara periodik sehingga sehingga memudahkan fungsi kontrol publik. Kontrol publik merupakan aspek penting untuk menunjang pembangunan partisipasif, tepat sasar dan transparan.
Ketiga, Optimalisasi dan Pemanfaatan aset. Optimalisasi aset merujuk pada pengomtimalan potensi aset (Potensi fisik, lokasi, nilai, jumlah/volume, legal dan ekonomi) yang dimiliki aset tersebut. Doli. L. Siregar (2004) memetakan sekurang-kurangnya tiga bentuk optimalisasi aset daerah yang bisa dilakukan oleh Pemda, yakni: Penyewaan aset, pinjam pakai, dan kerja sama pemanfaatan aset. Ketiga-tiganya melibatkan kerja sama dengan pihak ketiga sebagai pengelola. Kerja sama dengan pihak ketiga ini selanjutnya harus dalam upaya pengoptimalan dan pemanfaatan aset yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Dengan rumusan lain, optimalisasi dan pemanfaatan aset sebagai bagian dari manajemen tata kelola aset daerah mesti dihindari dari perilaku-perilaku tak beradab, sebagaimana lazim dipertontonkan elite kita, yakni: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pada akhirnya, manajemen tata kelola aset daerah merupakan upaya pengamanan dan penertiban aset-aset daerah yang dilakukan secara sistematis, terukur, transparan melalui inventarisasi aset, pengawasan dan pemanfaatan.
Hanya dalam sistem kerja yang demikian komitmen awal Edi-Weng untuk mengamankan seluruh aset daerah yang ada di Mabar menemukan relevansinya. Kalau tidak, komitmen itu tidak lebih uapan air yang terbang tinggi ke langit tapi tidak pernah menyentuh bumi.