Kupang, VoxNtt.com-Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memiliki peran strategis dalam meningkatkan perekonomian di level desa.
Posisi BUMDes semakin diperkuat dengan lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang memberi ruang bagi desa untuk membangun usaha berbasis Perseroan Terbatas (PT).
Dengan berbasis PT, BUMDes bisa menjangkau modal formal dari perbankan, akses kerja sama dan perluasan usaha.
Namun dalam kenyataannya, perangkat desa khususnya di NTT banyak yang belum menangkap peluang bisnis dari BUMDes sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat desa.
Untuk mendalami masalah ini, VoxNtt.com berkesempatan mewawancarai Vinsensius Bureni, Koordinator Umum Bengkel Advokasi, Pengembangan dan Pemberdayaan Kampung (Bengkel APPeK). Bengkel APPeK adalah salah satu LSM yang fokus dan konsisten melakukan fasilitasi dan implementasi program langsung ke desa-desa di NTT. Berikut petikan wawancara bersama Bung Vinsen.
Bagaimana pandangan dan pantauan Anda terhadap perkembangan BUMDes di NTT?
Saya perlu mengapresiasi upaya desa yang sudah mendirikan BUMDes di hampir seluruh desa yang ada di NTT. Secara organisasinya, BUMDes memang ada, namun belum berfungsi dengan baik sesuai amanat Undang-Undang Desa yakni menggerakan ekonomi masyarakat. Bahkan ada BUMDes yang sudah macet.
Dalam perkembanganya, sebagian besar desa di NTT yang mengembangkan BUMDes, belum berpihak pada upaya untuk menggerakan ekonomi rakyat. Mengapa? Karena BUMDes yang dibentuk lebih banyak dikelola sendiri oleh pengurus atau manajemen BUMDes. Pengurus BUMDes itu merupakan pihak manajer sementara pelaku atau sasaran yang menggerakan unit usaha itu adalah komunitas warga atau pengusaha mikro di tingkat desa.
Di desa banyak komunitas usaha di bidang pertanian, peternakan, dan jasa. Selain itu ada juga komunitas usaha warga yang memelihara ternak, mengembangkan lahan pertanian, memiliki usaha sewa tenda, kursi dan sound system untuk acara-cara. Ada juga yang berusaha kios, pangkas rambut dan lain sebagainya.
Nah, BUMDes hadir untuk memperkuat usaha komunitas warga ini, bukan sebaliknya melumpuhkan komunitas usaha. Pengurus BUMDes harusnya menanamkan modal/ investasi kepada para usahawan di desa itu agar komunitas usaha mereka terus bertumbuh dan berkembang ke usaha menengah ke atas. Itu yang saya maksudkan sebagai upayah mematikan usaha komunitas usahawan di tingkat desa. Masa pengurus BUMDes yang jaga kios, yang memelihara ternak, yang menyewakan kursi dan sound system hehehehe.
Tantangan lain dari pendirian kehadiran BUMDes ini adalah pengurus yang direkrut sebagai pengelola BUMDes belum memiliki jiwa kewirausahaan bahkan juga pengurusnya diangkat dengan tidak mempertimbangkan kemampuan kewirausahaan atau pengalaman berusaha tapi lebih kepada hubungan kedekatan. Sehingga managementnya pun para pengurusnya tidak tau mau buat apa?ada soal kebingungan dan inovasi tata kelola BUMDes disini.
UU Omnibus Law memberikan ruang yang besar bagi desa untuk mengembangkan BUMDes, bagaimana pandangan Anda?
Saya ingat betul sebelum kehadiran Undang-undang ini, ada soal pengurusan PT karena tuntutan administrasi yang tinggi. Misalnya pendirian PT itu harus memiliki dana yang tersedia di rekening kisaran 750 juta atau lebih yang ada di rekening. Ini kan langkah awal yang mempersulit usaha.
Kita dulu punya rencana pembentukan PT namun karena alasan itu maka kita urung niat untuk mendirikan PT. Sekarang saya mendapat informasi dari teman-teman usahawan muda bahwa dana untuk mengurus PT kurang lebih tidak sampai 10 jutaan. Itu artinya sudah ada peluang besar agar desa bisa mendirikan PT.
Di level desa, peluang ini memang harus didukung oleh penyediaan sumber daya manusia yang mengurus BUMDes itu. Kalau mau jujur, banyak BUMDes yang mati suri justru karena keterbatasan sumber daya manusia khususnya di bidang kewirausahaan. Maksud saya, peluang ini tidak serta merta hanya untuk sekadar memindahkan masalah dari BUMDes lama ke BUMDes yang berbasis PT. Perpindahan ini harus didukung oleh fasilitas dan SDM yang mumpuni sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada.
Saya menyarankan agar perangkat desa terlebih dahulu berkonsentrasi pada penataan BUMDes sampai benar-benar siap secara SDM maupun tata kelola manajemennya, baru bisa dikembangkan ke PT.
Di sisi lain kehadiran sebuah PT itu orientasinya cenderung ke bisnis murni. Ini yang harus diantisipasi agar pengelolaan BUMDes berbasis PT itu tidak menjurus ke ekonomi kapitalistik. Karena itu, dalam AD/ART harus ditegaskan soal semangat BUMDes itu sendiri yakni untuk memperkuat dan menggerakan ekonomi warga.
Lebih tepatnya saya katakan bahwa BUMDes itu sifatnya sosial-ekonomi, bukan corak ekonomi kapitalis. Pengurus BUMDes harus mengkaji lebih dalam lagi soal asa manfaat berdasarkan tujuan pendirian BUMDes dan PT dalam menggerakan ekonomi warga.
Terkait wacana desa wisata di NTT, bagaimana model pengelolaan yang tepat sehingga bisa menggerakan ekonomi masyarakat desa?
Sekali lagi saya mau sampaikan bahwa wacana desa wisata ini adalah punya niat yang baik dan harus direalisasikan oleh desa yang memiliki destinasi wisata. Sistem pengelolaanya dimulai dari membangun kesadaran warga tentang kepariwisataan. Paling tidak yang saya maksudkan adalah masyarakat di sekitar destinasi wisata itu harus sadar benar bahwa setiap orang yang akan menikmati pariwisata adalah orang yang ingin bahagia. Sering kita lupa bahwa kebahagiaan wisatawan itu kurang dijaga. Demikianpun dengan keamanan dan kenyamanan mereka.
Kedua, soal kesiapan keterampilan komunikasi dan cara menjamu wisatawan di sekitar tempat wisata. Ramah, murah senyum dan mampu berkomunikasi dengan baik adalah etika dasar pariwisata yang harus dipahami masyarakat. Selain itu, air bersih dan toilet/kamar mandi harus didekatkan pada pengunjung. Sering kali kita menyediakan air bersih dan toilet yang jauh dari pengunjung.
Jika tempat wisatanya luas, sementara toilet dan ketersediaan airnya jauh sampai ratusan meter, tentu sangat merepotkan pengunjung. Soal kebersihan lingkungan juga harus diberi penyadaran agar lingkungan destinasi wisata tersebut tetap nyaman dan terlihat asri. Penataan tempat wisatanya pun perlu kreativitas dan inovasi yang mempertimbangkan kebutuhan pengunjung serta keunikan-keunikan yang menunjukan pembeda antara satu desa wisata dengan desa wisata lain.
Desa wisata di NTT paling banyak di sekitar pantai. Ada wisatawan yang lebih membutuhkan keindahan secara alami. Oleh karena itu penataan lopo atau tenda peristirahatan bagi pengunjung harus menggunakan bahan-bahan alami.
Jika desa wisata ini menjadi bagian dari BUMDes maka model pengolahannya dengan cara membuka ruang bagi warga di sekitar untuk memanfaatkan tempat tersebut. Pengelola harus diserahkan kepada anak muda karena anak muda banyak pemikiran yang kreatif dan inovatif. Pengurus BUMDes tinggal mendukung usaha tersebut dalam bentuk investasi modal, melakukan promosi dan pengawasan. Selanjutnya, dibuatkan suatu MoU untuk bagi hasil antara BUMDes dan pengelola.
Sebagai NGO yang fokus memberdayakan masyarakat desa, apa salah satu program unggulan Bengkel APPek untuk mengembangkan potensi desa?
Program unggulan Bengkel APPeK sekarang adalah mengembangkan ekonomi anak muda melalui produksi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan. Di NTT laut dan lahan pertanian kita luas. Hasil ikan melimpah namun kurang dikelola dengan baik.
Untuk itu kita dorong anak muda agar dapat memanfaatkan hasil laut (ikan,rumput laut,siput dll) sebagai usaha yang menjanjikan. Anak muda ini dilatih dan didampingi kapasitasnya untuk mengelola hasil laut sebagai makanan seperti bakso ikan, sate siput, warung makan ikan yang sehat, ada anak muda perempuan yang bergerak untuk usaha sebagai pedagang ikan mentah dan ikan kering.
Begitupun pertanian dan peternakan, anak muda kita dorong untuk berusaha ternak ayam, babi dan usaha ekonomi produktif dengan menanam hasil pertanian yang jauh dari bahan kimia. Intinya kita dorong orang muda sebagai usahawan muda yang mampu memanfaatkan lahan dan laut sebagai potensi peluang pasar agar anak muda bisa mandiri dan tidak keluar daerah sebagai TKI / TKW.
Di tingkat desa kita juga mmebangun kolaborasi dengan pemerintah desa agar potensi laut dapat dikembangkan sebagai tempat wisata yang berkontribusi untuk menyediakan pasar bagi bisnis olahan makanan dan kuliner anak muda yang sudah kita latih dan damping.
Penulis: Irvan K