Catatan pengalaman empirik hasil pengawasan Pilkada Manggarai
Oleh: Herybertus Harun, SE
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai
Kabupaten Manggarai adalah salah satu kabupaten yang menjalankan Pemilihan bupati dan wakil bupati tahun 2020 lalu.
Menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 tentu bukan hal mudah sebab banyak tantangan yang harus dihadapi, bukan saja tantangan dalam mengawasi tahapan Pilkada tetapi bagaimana menghadapi situasi corona yang saat ini berada pada puncaknya yang merenggut banyak korban jiwa.
Menjalankan dan mengawasi seluruh tahapan Pilkada dalam situasi Covid-19 termasuk pemutakhiran data pemilih yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, tentu membutuhkan tambahan energi.
Masalah data pemilih yang menjadi persoalan klasik pada setiap momentum Pemilu/Pilkada tentu perhatian prioritas bagi penyelenggara pemilu termasuk Bawaslu Kabupaten Manggarai.
Secara umum memang pelaksanaan Pilkada serentak 2020 berbeda dengan pelaksanaan Pilkada sebelumnya hal ini karena berada ditengah situasi pandemi Covid-19.
Meski telah berpengalaman melaksanakan Pemilu atau Pilkada, permasalahan data pemilih masih saja menjadi persoalan menarik dan menonjol bagi penyelenggara pemilu pada setiap momentum pesta demokrasi lima tahunan itu.
Tidak hanya di kabupaten/kota lain yang menyelenggaran Pilkada serentak 2020 tetapi di Kabupaten Manggarai tercatat ada beberapa kasus menggelitik saat melaksanakan tahapan pemutakhiran data pemilih.
Berdasarkan catatan pengalaman empirik Bawaslu Kabupaten Manggarai pada Pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT tahun 2018 lalu, pengawasan Pemilu tahun 2019 serta pengawasan Pilkada serentak tahun 2020, pengawas pemilu di kabupaten Manggarai mencatat sejumlah persoalan dinamika pengawasan data pemilih.
Setumpuk masalah tahapan pendataan dan pemutakhiran data pemilih yang senantiasa muncul, tentu sangat diharapkan agar tidak terjadi pada Pemilu serentak tahun 2024, mengingat Pemilu 2024 tergolong Pemilu sangat rumit dari sisi teknis penyelenggaran, anggaran serta pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir.
Hal yang cukup menonjol dan tidak kalah menarik dalam pengawasan tahapan pemutakhiran data pemilih dengan sub tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih pada Pilkada serentak tahun 2020 di Kabupaten Manggarai adalah ditemukannya warga pemilih memenuhi syarat yang tidak mau didata untuk didaftarkan sebagai pemilih agar dapat memberikan hak suara pada bilik TPS pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
Meskipun regulasi telah mengisyaratkan bagi penyelengara pemilu untuk berkewajiban melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat waktu bagi KPU dan jajarannya, serta bagi Bawaslu dan jajaran berkewajiban melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan, namun lain bagi masyarakat pemilih, apalagi ditemukan fakta yang cukup mengejutkan bahwasannya warga enggan dan bahkan secara ekstrim menolak untuk didaftar dan didata sebagai pemilih.
Langkah pencegahan yang dilakukan Bawaslu dan jajaran agar tidak terjadinya pelanggaran Pemilu/Pilkada pada tahapan ini, tentu sangat diharapkan oleh semua elemen masyarakat.
Tentu tujuan yang diharapkan agar seluruh masyarakat pemilih yang memenuhi syarat bisa diakomodasi saat pemilihan.
Selain itu, pada setiap tahapan Pemilu/Pilkada, seluruh jajaran pengawas harus mampu memetahkan potensi masalah sejak dini sehinggah indikasi kegaduhan data pemilih tidak perlu terjadi kembali pada momentum Pemilu 2024 disaat negara dalam kondisi krisis.
Ubah Cara Pandang Pendataan
Teridentifikasi sejumlah warga yakni kecamatan Reok dan Langke Rembong kabupaten Manggarai pada tahapan pencocokan dan penelitian (Coklit) data pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai yang dilakukan serentak tahun 2020 lalu secara tegas menolak petugas pemutakhiran data pemilih.
Setelah diadvokasi berulangkali hingga berakhirnya masa coklit 13 Agustus 2020 lalu, Bawaslu Kabupaten Manggarai masih mendapati sejumlah pemilih yang menolak Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP) guna melakukan pendataan.
Pencocokan dan penelitian (coklit) merupakan sub tahapan Pemuktahiran Data Pemilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai tahun 2020 berlangsung dengan sejumlah dinamika yang dialami penyelenggara adhock di tingkat lapangan.
Di tahap ini, Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP) melakukan pendataan pemilih dari rumah ke rumah dengan menemui pemilih, mewawancarai, menyandingkan dokumen kependudukan pemilih baik KTP, Kartu Keluarga atau Suket Disdukcapil dengan data yang telah tersedia pada format A-KWK yang dikantongi PPDP dan kemudian dicentang jika datanya sesuai, melakukan perubahan data jika ada kesalahan pencatatan, dan dicoret jika tidak memenuhi syarat sebagai pemilih pada wilayah TPS yang dicoklit dan dicatat sebagai pemilih baru jika yang pemilih tersebut memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak termuat datanya di format A-KWK yang dipegang PPDP.
Sebagaimana dirilis secara resmi pada website Bawaslu Kabupaten Manggarai saat itu, kasus penolakan itu terjadi di TPS 002, Kelurahan Bangka Leda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT.
Hasil pengawasan langsung terhadap pemilih yang menolak dicoklit beralasan tak mau dicoklit karena belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu yang harus memastikan setiap pemilih yang memenuhi syarat bisa terdata lewat proses Coklit.
Tindakan konkret yang dilakukan Bawaslu Kabupaten Manggarai adalah melakukan advokasi masalah tersebut dengan cara meyakinkan pemilih tersebut tentang pentingnya menggunakan hak pilih, meski demikian pemilih tersebut tetap menolak dicoklit.
Sebagai pengawas pemilu/pemilihan, pengawas harus memastikan pemilih yang memenuhi syarat didata sebagai pemilih sesuai dengan mekanisme, tata cara dan prosedur Coklit.
Tugas ini menjadi marwah Bawaslu untuk menjaga hak pilih di seluruh negeri.
Bawaslu Kabupaten Manggarai bersama Panwascam Lengke Rembong, telah melakukan advokasi terkait hak pilih dari salah satu pemilih di TPS 002 Kelurahan Bangka Leda tersebut.
Pendekatan untuk dilakukan Coklit, berulang kali oleh PPDP, PPS, PKD, Panwascam, PPK Kecamatan Langke Rembong bahkan oleh KPU Kabupaten Manggarai, namun tetap saja pemilih tersebut menolak dicoklit.
Terhadap Pemilih tersebut yang tetap kukuh menolak dicoklit juga telah menuangkan pernyataan penolakan secara tertulis dan diserahkan ke PPDP.
Atas dasar itu PPDP tidak mendata yang bersangkutan.
Kejadian serupa juga di Kecamatan Reok, Bawaslu dan pengawas adhock serta pihak KPU kabupaten dan jajarannya juga melakukan pendekatan berulang kali atas warga yang menolak didata dengan alasan serupa tidak pernah mendapatkan bantuan pemerintah.
Namun setelah dilakukan pendekatan dengan memberi pemahaman pentingnya memberikan suara saat Pilkada, pada akhirnya pemilih tersebut menerima untuk didata.
Kehadiran penyelenggara pemilu yang aktif melakukan pendaftaran dan pendataan data pemilih pada setiap momentum Pemilu/Pilkada adalah bentuk jaminan hak konstitusional warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan emilu, karena itu hak konstitusional tersebut harus dijaga dan perkuat dengan sistem pengelolaan data dan daftar pemilih.
Manajeman pengelolaan data pemilih dalam Pemilu serentak tahun 2024 juga mestinya terus menerus diupayakan lakukan perbaikan baik secara teknis maupun regulasi, sehingga hak memilih warga dapat terjamin dan terwujud.
International Foundation for Electoral System (IFES) menyebut dua belas prinsip daftar pemilih, yang di antaranya adalah: Integrity, yakni pendaftaran pemilih harus dilakukan secara adil, jujur dan semaksimal mungkin menjangkau warga negara yang memenuhi syarat dan mencegah yang tidak memenuhi syarat masuk dalam daftar pemilih.
Inclusiveness, yakni seluruh warga yang memenuhi syarat harus masuk dalam daftar tanpa memandang perbedaan agama, suku, pilihan politik.
Comprehensiveness, yakni daftar pemilih harus memasukkan seluruh warga yang memenuhi syarat dan memberikan perhatian kepada kelompok marginal, termasuk kaum difabel, kelompok masyarakat di pedalaman dan perbatasan, kelompok miskin.
Accessibility, yakni proses dan mekanisme pendaftaran pemilih harus menyediakan cara yang mudah dan tidak ada hambatan bagi warga negara yang memenuhi syarat.
Accuracy, yakni daftar pemilih harus merekam data pemilih seakurat mungkin.
Transparency yakni seluruh proses pendaftaran pemilih harus dapat dipantau oleh para pemangku kepentingan.
Security yakni data pemilih harus dijaga dari kemungkinan diakses oleh pihak yang tidak berwenang, rusak, atau hilang termasuk karena sebab bencana.
Accountability yakni setiap perubahan terhadap data pemilih baik karena adanya pengaduan maupun keberatan, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan keputusan perubahan harus dibuat melalui proses yang terbuka.
Credibility, yaitu daftar pemilih harus disusun dan dipelihara melalui cara-cara yang mampu meyakinkan publik dan pemangku kepentingan politik.
Sustainability, yakni data pemilih harus dibuat dan dipelihara secara berkelanjutan baik secara hukum, politik, ekonomi, maupun teknologi.
Cost-effectiveness, yakni proses pendaftaran dan pendataan pemilih harus dilakukan secara efisien (tidak berbiaya tinggi); dan Informed Electorate yakni sistem pendaftaran pemilih harus memastikan bahwa pemilih mendapatkan informasi tentang kapan, di mana, dan bagaimana cara mendaftar, meng-update, maupun memeriksa daftar pemilih.
Bila mendasar pada prinsip pendaftaran dan pendataan data pemilih seperti yang disampai IFES maka sebetulnya persoalan upaya penolakan warga dengan cara berpikir bahwa pendataan warga selalu ada kaitan dengan penerimaan bantuan dari pemerintah dapat dicegah.
Selain melakukan pendaftaran pemilih, petugas pemutakhiran data pemilih juga mesti memberikan pencerahan manfaat dan dampak bila tidak terdata sebagai pemilih saat Pemilu/Pilkada.
Selain itu, benang kusut dan sengkarut data dan pendaftaran pemilih yang selalu terjadi pada setiap tahapan Pemilu/Pilkada sebetulnya bisa diurai sejak awal tahapan dimulai.
Penyelenggara teknis dilapangan sebagai ujung tombak harus benar-benar memahami substasi pendataan pemilih, tentu upaya peningkatan kapasitas penyelenggara adhock harus dimaksimalkan, dengan demikian petugas pemutakhiran dapat berjalan pada rel atau aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan untuk konteks jajaran pengawas pemilu yang ada di lapangan juga meski dari awal melakukan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran dari setiap tahapan, termasuk memaknai arti penting dari sub tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih.
Keberhasilan melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu/Pilkada tentu melalui rumusan indikator yang harus disiapkan pengawas pemilu tingkat Kabupaten/Provinsi sejak awal, termasuk tahapan pemutakhiran data pemilih yang senantiasa ketat diawasi pengawas pemilu namun banyak persoalan yang terjadi.
Sosialisasi dan Perkuat Kapasitas SDM Penyelenggara
Pemilu 2024 dilakukan serentak pada bulan Februari akan dilakukan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD sedangkan pada bulan November ada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Diantara dua momentum ini, baik Pemilu dan Pilkada, terjadi irisan tahapan, karenanya penyelenggara cukup repot dan membutuhkan kinerja kerja yang baik demi mewujudkan Pemilu atau Pilkada yang berintegritas.
Terdapat beberapa langkah dan gerak cepat yang mesti dilakukan oleh penyelanggara seperti meningkatkan kapasistas penyelenggara melalui bimbingan teknis (bimtek) maksimal bagi internal penyelenggara pemilu di lapangan.
Secara normatif bab I pasal 34 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mendefenisikan Pemilih dengan jelas yakni Pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.
Sementara dalam Undang-Undang Pemilihan mendefenisikan Pemilih sebagai berikut pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam pemilihan.
Lebih rinci lagi pasal 198 Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang hak memilih menyebutkan warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap 17 tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
WNI sebagaimana yang dimaksud didaftar satu kali oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih. Serta WNI yang telah dicabut hak politiknya oleh Pengadilan tidak mempunyai hak pilih.
Jika mengacuh pada landasan normatif yang tercantum dalam regulasi maka amat penting upaya mendorong peran dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pendataan dan pendaftaran data pemilih agar masyarakat pemilih yang memenuhi syarat sebagai pemilih dapat lebih aktif mengecek nama dalam daftar pemilih.
Memastikan nama sudah terdaftar sebagai pemilih adalah kewajiban bagi pemilih yang sudah memenuhi syarat agar dapat memberikan suara di bilik TPS.
Cara pandang masyarakat dalam melakukan pendataan penyelenggara Pemilu/Pilkada dikaitkan dengan mendapatkan “bantuan” dari pemerintah harus diubah sejak dini. Jika tidak diberikan pencerahan sejak dini, maka akan berdampak pada proses pendataan dan pendaftaran data pemilih yang bermasalah dan bisa memicuh persoalan lain.
Tetapi di sisi lain, penyelenggara pemilu diberi tugas untuk melakukan pendataan sehingga terkesan pemilih pasif, dimana petugas pemutakhiran data pemilih datang dan temui warga serta melakukan pencocokan dan penelitian, model pasif ini perlu dibenahi kembali dari sisi regulasi sehingga bisa menjawab persoalan seperti yang terjadi di kabupaten Manggarai yang mana pemilih menolak untuk didata sebagai pemilih.
Langkah lain juga adalah memaksimalkan sosialisasi dari penyelenggara pemilu arti penting dari pendataan dan pendaftaran pemilih. Penyelenggara harus mampu merasionalkan kepada masyarakat wajib pilih bahwa memberi satu suara dalam Pemilu/Pilkada sangat bermakna untuk bangsa dan negara dalam menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan.
Hal lain juga yang wajib mengambil peran aktif yakni partai politik sebagai pihak yang mempunyai kepentingan langsung terhadap data pemilih, tentu besar harapan agar seluruh mesin partai politik dari tingkat pusat hingga desa dan kelurahan wajib digerakan mendorong proses pada tahapan ini demi mewujudkan data pemilih yang berkualitas sehingga tidak ada kesan partai politik tidak sekedar menunggu ada masalah warga yang tidak didata atau kategori tidak memenuhi syarat baru dipersoalkan di media massa atau pada saat persidangan perselisihan hasil.
Mendorong partisipasi masyarakat tidaklah hanya semata-mata menjadi beban tugas penyelenggara pemilu, namun semua elemen terlibat dalam mewujudkan partisipasi memberikan suara pada saat Pemilu/Pilkada.