Oleh: Mario Gonzaga Afeanpah
Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang
Keterlibatan rakyat dalam hal memajukan negara sudah menjadi suatu kewajiban.
Sumbangsih yang diberikan dari setiap rakyat sangat menopang kesatuan dan keutuhan negara.
Keterlibatan di sini tentunya bertolak dari latar belakang yang beraneka. Dan akan bermuara pada suatu diskonfrotasi sosial yang besar.
Setiap orang akan memperjuangkan hak pribadinya saja. Maka sangat diperlukan suatu prospek yang sehat, yang dapat menciptakan suatu kehidupan yang sejahtera.
Kehadiran sosok pemimpin yang cerdas sangat memampukan suatu pencapaian yang setara, harmonis, dan menghidupi.
Salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, yakni Plato (427 SM – 347 SM), ia hidup di Athena, yang saat itu sudah menerapkan sistem demokrasi.
Dalam kondisi sosial politik yang demokratis tersebut, tradisi intelektualitas semakin mendapatkan tempatnya, karena dalam demokrasi dikenal istilah isonomia dan isogoria, yakni suatu prinsip kebebasan berpendapat maupun persamaan di depan hukum.
Situasi sosial politik seperti itulah yang menyebabkan tradisi dialektika dan retorika semakin menguat.
Selalu mendasarkan intelektual dalam sikap kepemimpinan. Meskipun seperti itu, Plato tetap melayangkan kritik keras terhadap sistem demokrasi.
Sebab menurutnya dapat menghasilkan suatu sentimentalitas (seperti politik identitas) dan dapat membuahkan suatu ketidakadilan.
Lebih-lebih lagi, kebebasan dalam demokrasi tersebut dapat menghasilkan suatu oligarki ephitumia, yakni terpilihnya segelintir orang karena faktor kekayaan untuk memegang kekuasaan dan mereka mempunyai tujuan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan kata lain, mempunyai tujuan untuk mengejar suatu nafsu dunia.
Sementara itu menurut Plato, pemimpin harus dipilih berdasarkan alasan rasional, seperti berdasarkan kemampuan.
Sehingga, segala kekacauan yang terjadi dapat dikendalikan. Dan berani memimpin dengan kapasitas intelektual yang baik dan benar.
Demokrasi modern mendasarkan dirinya pada rasionalitas, dengan kata lain demokrasi bisa dikatakan sukses manakala diikuti dengan tumbuhnya penalaran publik.
Pendapat publik, seperti penggunaan isu SARA dalam sebuah negara demokrasi hanya akan menghasilkan suatu turbulensi politik.
Hal itulah yang sudah diperingatkan oleh Plato sejak puluhan abad lalu dalam bukunya yang berjudul Politea.
Hal itu juga yang diungkapkan oleh Budi Hardiman, seorang ahli filsafat dari STF Diryakara dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Sentimentalitas, ia mengatakan bahwa demokrasi yang berjalan dengan baik tentu akan menghindarkankan diri dari upaya sentimentalisasi publik dengan memakai sumber-sumber konflik demi tujuan-tujuan kekuasaan semata.
Penalaran merupakan upaya gigih untuk mengatasi sentimen-sentimen.
Sehingga, sangat penting jika pemegang politik mengakomodasi setiap pendapat publik, kemudian menganalisisnya.
Dalam sistem politik demokrasi, terdapat juga istilah ruang publik atau public sphere.
Budi Hardiman, dalam bukunya yang berjudul Ruang Publik, menjelaskan jika berdasarkan literarur-literatur dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat, ruang publik adalah panggung komunikasi politis dan partisipasi demokratis dalam suatu negara hukum.
Jika pada zaman Yunani klasik, ruang publik berada di jalan-jalan, teater, dan sebagainya.
Pada abad 21 ini, wacana dalam ruang publik kita banyak terjadi di cyberspace (sosial media).
Menjadi perhatian bagi kita bersama, karena bagaimanapun juga, ruang publik kita harus diisi dengan pertarungan ide dan gagasan, bukan sikap sentimental ataupun ucapan kebencian.
Bukan hanya para elit politik saja yang mempunyai tanggung jawab memberikan suatu edukasi politik kepada publik, tetapi merupakan tugas dari para akademisi juga.
Dalam situasi yang semacam ini, akademisi dituntut untuk menjungjung independensi, memberikan suatu pemahaman kepada publik dan mengkritisi ataupun mengoreksi kekeliruan-kekeliruan politisi, baik kekeliruan yang dilakukan oleh petahana atau pemegang jabatan politik maupun oposisi, bukan malah memihak sebelah dengan hanya mengoreksi satu pihak dan membiarkan kekeliruan terjadi di pihak lainnya.
Tugas akademisi adalah memberikan pemahaman yang baik kepada publik, dengan sebisa mungkin bersikap objektif, karena memang tugas akademisi dalam hal ini adalah menjaga agar bangsa ini tetap utuh dalam artian pancasila tidak sebatas kata, memberikan pencerdasan-pencerdasan kepada publik.
Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia, bahwa seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Sementara itu, Setyo Wibowo, dalam bukunya Paidea, ia memaparkan tentang apa yang menjadi penyakit dalam demokrasi, dengan mengutip pendapat dari Jacques Ranciere, seorang filsuf kontemporer dari perancis yang mengatakan jika penyakit dalam demokrasi adalah saat demokrasi dikuasai oleh oligarki.
Dia membagi jenis oligarki ke dalam dua kelompok, yakni oligarki kepakaran (ahli pengetahuan) dan oligarki pemodal.
Oligarki kepakaran adalah para elit politik, yang di mana untuk mendapatkan kekuasaan mereka membutuhkan legitimasi dari pemilu, sementara dalam pemilu membutuhkan modal yang banyak, saat itulah oligarki pemodal bisa menyetir oligarki kepakaran (elit politik) yang bertujuan untuk mendapatkan akumulasi modal lebih banyak lagi.
Dengan kata lain, demokrasi dijadikan sebagai sarana oleh para oligarki untuk mengamankan kepentingan-kepentingan mereka.
Menjadi refleksi bagi kita bersama, apakah demokrasi kita hari ini sudah tersandera oleh oligarki?
Atau apakah demokrasi kita sudah ditindas para pemodal? Sehingga, hakikat demokrasi ditelanjangi?
Dulu, pada abad 16, di Inggris terdapat seorang tokoh humanis renaissance yang bernama Thomas More.
Saat itu, ia berani menulis buku yang biasa disebut Utopia. Dalam buku itu, Thomas More menerangkan tentang sebuah pulau (negara) ideal, negara yang jauh dari pemerintahan tiran, negara yang menerapkan demokrasi dimana antar warganya saling bekerjasama untuk memajukan daerahnya, hubungan pemimpin dengan warganya yang harmonis dan saling bertukar wacana untuk kemajuan negara.
Karya Thomas More ini jelas mendapatkan komentar juga, karena dianggap hanya imajiner dan tidak realistis, akan tetapi nyatanya, karya More ini mendapatkan perhatian dalam diskurus filsafat politik, di samping tentunya merupakan kritik yang tajam terhadap kerajaan Inggris saat itu, Karya More pun menginspirasi banyak orang.
Untuk itu, meskipun demokrasi saat ini sudah terjangkit penyakit-penyakit, dari mulai politik identitas, ucapan kebencian, hingga mungkin sudah tersandera oleh oligarki, saya berani mengimpikan sebuah gugusan, di dalam gugusan negara itu, baik elit politiknya maupun masyarakatnya, sukses menciptakan sistem demokrasi yang sehat, di mana semangat yang diutamakan adalah keadilan sosial, persamaan di depan hukum, hingga mengutamakan keutuhan dan kemajuan negara, gugusan negara itu bernama Indonesia.
Untuk mewujudkan demokrasi yang ideal itu, kita perlu mengasah apa yang disebut etos politis dalam demokrasi.
Budi Hardiman dalam bukunya Demokrasi dan Sentimentalitas menjelaskan yang dimaksud etos politis dalam demokrasi adalah energi atau mentalitas yang menggerakan individu-individu untuk menjalankan demokrasi.
Satu kepala tentu tidak cukup untuk membangun suatu demokrasi yang ideal, diperlukan suatu kesadaran kolektif untuk menyikapi hal ini.
Barangkali, kita perlu mengikutsertakan apa yang disebut oleh Adorno, salah satu tokoh teori kritis (mazhab frankfurt) sebagai Erziehung zur Mundigkeit, yakni pendidikan untuk kedewasaan dalam penerapan demokrasi.
Tidak hanya di sekolah-sekolah, melainkan di keluarga-keluarga. Salah satu yang dikemukakan oleh Adorno dalam pendidikan untuk kedewasaan ini adalah melatih diri dalam argumentasi rasional daripada membiarkan diri diseret oleh sentimen-sentimen primordial.
Generasi saat ini, bisa memulai ini dengan mencoba menerapkannya ke diri kita sendiri, sehingga kita terbiasa dengan hal itu hingga kelak ketika kita memegang kepemimpinan, dengan harapan generasi kita dan generasi selanjutnya bisa memperbaiki budaya politik kita dan bisa menciptakan apa yang disebut sebagai demokrasi yang ideal.
Seperti halnya di Athena, semasa hidup Plato, dulu yang sudah menerapkan sistem demokrasi, dimana demokrasi itu bisa menimbulkan permasalahan, tetapi yang perlu diingatkan lagi, dalam kondisi sosial politik yang demokratis tersebut, tradisi intelektual di Athena semakin mendapatkan tempatnya.
Untuk itu, yang perlu kita lakukan sekarang adalah merawat demokrasi itu dengan akal yang sehat, sehingga demokrasi tersebut bisa meningkatkan kualitas peradaban kita dengan keragaman intelektualitas, ruang publik kita bisa diisi dengan pertarungan pemikiran.
Bukan malah menyalahgunakan kebebasan dalam demokrasi, seperti menggunakan isu SARA yang dapat membawa kepada konflik horizontal.
Sehingga, akhirnya elit politik kita bisa menunjukan kesantunan dalam berpolitik yang sesuai dengan prinsip dalam demokrasi modern dan mengutamakan keutuhan negara, bukan mengutakamakan kehendak berkuasa.
Sebab, hakikat dari demokrasi ini sudah menjadi nyata dalam tubuh Pancasila, yang merupakan pedoman hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia.