Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Seperti dilansir dalam lokarkarya yang diselenggarakan Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama PRISMA di Hotel Aston Kupang pada tanggal 14 Juni 2024, dengan mengusung tema: “Pakan, Pengembangbiakan, Pencegahan Penyakit, dan Pengembangan Pasar Kunci Pemulihan Sektor Peternakan Babi yang Tangguh’, NTT termasuk provinsi dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia.
Terkait dengan itu, pertanyaan yang layak dikuak ke permukaan: “Mengapa NTT dinobatkan sebagai provinsi dengan populasi ternak terbesar di Indonesia?” Jawaban atas pertanyaan itu bisa beragam sesuai fakta lapangan, data hasil kajian, dan cara pandang masyarakat NTT berkenaan dengan kemanfaatan babi.
Tulisan ini mengulas secara sekilas beberapa makna simbolik babi dalam kebudayaan Manggarai sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai sebagai kerangka referensi yang melatari pemaknaan. Makna simbolik tersebut diulas berdasarkan serpihan-serpihan data hasil penelitian yang dilakukan penulis beberapa waktu silam.
Dengan merujuk secara khusus pada hasil penelitian yang dilakukan penulis beberapa waktu silam, babi adalah salah satu jenis hewan yang diternaki sebagian besar masyarakat Manggarai di wilayah pedesaan pada masa silam. Mengapa? Karena babi menyiratkan seperangkat makna simbolik atau makna perlambangan yang mewarnai dimensi kehidupan masyarakat Manggarai.
Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai, beberapa makna simbolik babi yang dipandang paling mengemuka dalam kebudayaan Manggarai adalah makna ekonomi, makna sosiologis, makna religius, dan makna yuridis. Beberapa makna tersebut memang salingterkait dalam satu kesatuan, namun dapat dipilah dan dibedakan sesuai konteks sebagai lingkungan nirkata yang melatari pemaknaannya.
Makna ekonomi babi dalam kebudayaan Manggarai tercermin dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, Tela galang pe’ang, dila api one yang secara leksikal berarti ‘Palungan babi di luar rumah terbuka, api di dalam rumah menyala’. Ungkapan verbal ini menyiratkan makna, babi adalah salah satu indikator kesejahteraan ekonomi rumah bagi masyarakat Manggarai pada masa silam. Makna tersebut dianalogikan secara metaforis melalui penggunaan kata galang dalam bahasa Manggarai yang menunjuk pada palungan babi.
Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai, jika palungan babi di luar rumah selalu berada dalam keadaan terbuka, hal itu menandakan adanya babi yang dipelihara. Jika ada babi yang dipelihara, maka api di dalam rumah niscaya tetap menyala karena ada makanan yang sedang dimasak, termasuk pakan babi yang dikenal dengan sebutan pakang atau peka dalam bahasa Manggarai.
Karena itu, selain ditandai dengan adanya babi yang dipelihara di luar rumah, salah satu indikator kesejahteraan ekonomi rumah masyarakat Manggarai pada masa silam ditandai pula dengan api yang selalu menyala di dalam rumah.
Makna sosiologis babi dalam kebudayaan Manggarai tercermin dalam ungkapan verbal bahasa Manggarai, Eme ela, ela muing, eme manuk, manuk muing, neka ela ngong manuk ko neka manuk ngong ela, yang secara leksikal berarti ‘Jika babi mesti babi benaran, jika ayam mesti ayam benaran, jangan sebut babi jika ayam, jangan sebut ayam jika babi’. Penggunaan kata ela (babi) dalam ungkapan verbal tersebut menyiratkan status anak rona sebagai klen pemberi istri (wife-giver) dan kata manuk (ayam) menyiratkan status anak wina sebagai klen pengambil istri (wife-taker).
Sesuai konseptualisasi yang terpatri dalam peta kognitif masyarakat Manggarai, ungkapan verbal tersebut berfungsi sebagai salah satu mekanisme kontrol atau semacam cetak biru (blue print) bagi warga masyarakat untuk tidak melakukan perkawinan dalam arah berlawanan. Manifestasi keberlakuan fungsi ungkapan verbal tersebut menyata dalam bentuk perkawinan silang-sepupu yang dikenal dengan sebutan atau istilah tungku dalam bahasa Manggarai sebagai bentuk perkawinan yang sangat didambakan masyarakat Manggarai pada masa silam.
Sesuai norma yang berlaku secara mentradisi dalam perkawinan adat masyarakat Manggarai, anak laki-laki dari saudara perempuan ego sebagai anak wina sebagai klen pemberi istri bisa menikah dengan anak perempuan ego sebagai sebagai anak rona sebagai klen pengambil istri. Perkawinan dari dua arah berlawanan, semisal, anak laki-laki ego sebagai anak rona menikah dengan anak perempuan dari saudara perempuan ego sebagai anak wina dilarang karena hal itu melanggar norma adat yang dikaidahkan leluhur.
Pelanggaran norma semacam itu dikenal dengan sebutan atau istilah wali elar dalam bahasa Manggarai yang secara leksikal berarti ‘pelupuh terbalik’ dalam bahasa Indonesia. Sebutan atau istilah lain yang digunakan adalah, toe toe kop dalam bahasa Manggarai yang secara leksikal berarti ‘tidur tidak pantas’ dalam bahasa Indonesia. Karena itu, pelanggaran terhadap norma warisan leluhur tersebut dipandang sebagai dosa (ndekok) dalam sistem kepercayaan atau religi asli masyarakat Manggarai.
Makna religius babi dalam kebudayaan Manggarai dapat disaksikan dalam berbagai konteks ritual yang menggunakan babi sebagai sarana persembahan utama. Dalam konteks ritual penti ‘pesta tahun baru adat pertanian lahan kering’, misalnya, ela ‘babi’ menjadi sarana persembahan utama yang dikenal dengan sebutan atau istilah ela penti dalam bahasa Manggarai.
Selain sebagai sarana rekonsiliasi dengan kekuatan adimanusiawi, dalam hal ini Tuhan (Morin agu Ngaran), roh leluhur (ende agu ema), dan roh alam (ata pele sina), babi yang menjadi sarana persembahan dalam konteks ritual penti juga menjadi sarana rekonsilisasi sosial keluarga. Hal itu ditandai dengan acara makan bersama dan daging babi (nakeng ela) sisa persembahan untuk kekuatan adimanusiawi disantap sebagai lauk utama.
Makna yuridis babi dalam kebudayaan Manggarai dapat disaksikan dalam konteks penyelesaian konflik sosial. Hal itu ditandai dengan pengenaan denda kepada para pihak yang bersalah dengan babi berukuran paling besar yang dikenal dengan sebutan atau istilah ela wase lima dalam bahasa Manggarai. Dengan pengenaan denda babi berukuran lima pagat tangan, diharapkan pihak dinyatakan bersalah dalam konflik tersebut akan merasa jera.
Meskipun diungkap secara sekilas, diharapkan beberapa cuilan data hasil penelitian yang disajikan dalam menjadi salah satu bahan refleksi bagi masyarakat Manggarai agar tetap memelihara babi karena banyak manfaat yang dapat direguk dari beternak babi. Karena itu, tidak ada salahnya, jika pemerintah Manggarai mencanangkan gerakan sosial babinisasi sebagai salah satu ancangan pembangunan berbasis-budaya lokal Manggarai dalam sektor peternakan babi.
Dalam upaya menengarai kelangkaan pakan babi, perlu dicanangkan pula gerakan sosial penunjang seperti tanam pisang melalui ancangan pisangnisasi. Akan tetapi, kedua gerakan sosial tersebut jangan dikemas dalam satu kesatuan dengan ancangan, “tanam pisang, panen babi”, agar tidak menjadi sebuah dagelan pembangunan ekonomi rumah tangga bercorak unik berbasis budaya lokal Manggarai. Mengapa? Karena relasi maknawi antara gugus kata ‘tanam pisang’ dan gugus kata ‘panen babi’ sangat renggang sehingga sulit berterima secara nalariah sehingga tidak dipandang sebagai sesat nalar.