Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Seperti kita ketahui bersama, manusia adalah makluk yang bersifat monodualistis karena, selain sebagai makluk individu, manusia adalah makluk sosial.
Dalam kapasitasnya sebagai makluk sosial, manusia dituntut secara naluriah untuk selalu hidup bersama dengan sesama manusia yang lain dalam satu kesatuan hidup bersama yang dikenal dengan sebutan masyarakat.
Manusia dalam kapasitas peran sosialnya sebagai anggota suatu masyarakat dituntut pula secara naluriah untuk selalu berkomunukasi dengan sesama saudara yang lain demi pemenuhan dasar hidupnya sebagai manusia, baik kebutuhan jasmaniah maupun kebutuhan rohaniah.
Sebagaimana waktu berjalan dan dunia berubah, demikian pula media komunikasi yang digunakan manusia dalam tatanan kehidupan bermasyarakat semakin beragam.
Keberagaman itu bergayut pula dengan konteks sebagai lingkungan nirkata yang melatari keberberlangsungan komunikasi tersebut.
Sesuai kekhasan dan kekhususan konteks sebagai lingkungan nirkata yang melatarinya, paradigma komunikasi politik yang diperagakan saat ini rada berbeda dalam tataran tertentu dengan paradigma atau model komunikasi politik bersifat tradisional.
Kekhasan sebagai kekhususan pembeda dan ciri pemerlain paradigma komunikasi politik saat ini ditandai, antara lain, dengan dengan semakin ketat persaingan yang diperagakan komunikator dalam mempengaruhi, memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan.
Sebagaimana disaksikan dalam kontestasi pesta demokrasi yang berlangsung selama ini, semisal pilkada dan pileg, para kandidat melakonkan berbagai paradigma dalam melakukan komunikasi politik dengan khalayak sebagai akar rumput.
Sebagian kandidat menggunakan paradigma lama yang bersifat tradisional melalui kegiatan tatap muka dan tukar tutur langsung dengan khalayak sebagai akar rumput.
Sebagian yang lain menerapkan paradigma modern melalui pemanfaatan perangkat teknologi informasi dan komunikasi berupa penggunaan platform digital karena kita sekarang memang hidup dalam era baru yang dikenal dengan sebutan era digital sebagai dampak kepesatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Salah satu dimensi kebaruan yang mencoraki komunikasi politik dalam era digital sekarang ini dikenal dengan sebutan politik digital.
Dengan merujuk pada pandangan Johnson dan Turner (2017), politik digital adalah mekanisme komunikasi politik berdimensi baru yang diwahanai melalui penggunaan platform digital dalam mempengaruhi opini publik dan menggalang dukungan khalayak.
Seperti tersurat dari namanya, politik digital adalah salah satu lanskap atau panorama baru dalam komunikasi politik yang dilakukan tanpa tatap muka dan tukar tutur langsung dengan khalayak sebagai akar rumput.
Disanding dalam tolok bandingan dengan paradigma tradisional melalui tatap muka dan tukar tutur langsung, manifestasi politik digital sebagai paradigma berdimensi baru dalam komunikasi politik memiliki banyak kelebihan.
Salah satu kelebihan dalam penerapan politik digital adalah keterjangkauan khalayak begitu luas dalam rentang waktu relatif singkat.
Kucuran biaya juga relatif kurang karena tidak banyak mengorek kocek membayar anggota tim sukses (timses) yang melakukan akrobat politik di lapangan siang dan malam.
Dengan demikian, keberhasilgunaan dan keberdayagunaan ditilik dari aspek waktu, tenaga, dan biaya adalah salah satu nilai lebih dari politik digital dalam kontestasi pesta demokrasi.
Meskipun demikian, seperti paradidma komunikasi politik bersifat tradisional, manifestasi politik digital niscaya memiliki kekurangan.
Kekurangan yang tampak nyata selama ini adalah misinformasi dan diseminasi informasi semu dalam bentuk hoaks para haters menyebar secara meluas dalam jangka waktu relatif cepat yang mengundang polarisasi opini di tengah masyarakat.
Karena itu, perlu pemantapan dan pematangan konsep sebelum politik digital disuguhkan ke hadapan khalayak agar tidak ada ruang dan peluang luas bagi para haters merekayasa polarisasi opini.
Karena setiap paradigma memiliki kelebihan dan kekurangan, maka paradigma yang diterapkan bisa bercorak hybrid dengan mengamalgamasikan paradigma lama dalam satu kesatuan dengan paradigma baru.
Paradigma baru melalui politik digital sebagai ancangan awal dan paradigma lama bersifat tradisional sebagai ancangan peneguhan melalui tatap muka dan tukar tutur langsung sehingga terjalin hubungan batiniah dengan khalayak sebagai akar rumput.
Dengan demikian, paradigma serangan wajar yang seringkali diisukan merecoki filosofi, suara rakyat adalah suara Tuhan, yang menafasi pesta demokrasi akan menuai kesia-siaan karena paradigma serangan wajar adalah jurus bajing yang takut terkena sinar mentari pagi.