Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK
“Anak-anakmu membutuhkan kehadiranmu lebih dari hadiahmu.” – Jesse Jackson
“ Orang tua adalah anutan utama bagi anak-anak. Setiap kata, setiap gerakan, dan tindakan memengaruhi. Tidak ada orang lain atau kekuatan luar yang memiliki pengaruh lebih besar pada seorang anak selain orang tua.”
Membaca Harian Kompas tanggal 30 Mei 2025, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penerapan pendidikkan gratis, memang menjadi tonggak penting dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.
Keputusan ini menegaskan bahwa pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, harus bebas biaya, dengan tujuan memperluas akses bagi seluruh anak. Namun, keputusan ini membawa tantangan besar bagi sekolah swasta.
Salah satu kekhawatiran utama adalah pendanaan operasional. Selama ini, sekolah swasta mengandalkan biaya dari orang tua murid untuk membayar gaji guru, pemeliharaan fasilitas, serta program inovasi pendidikan.
Jika pemerintah tidak memiliki skema pendanaan yang jelas, sekolah swasta bisa mengalami kesulitan dalam mempertahankan kualitas pendidikannya.
Walaupun, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menyatakan bahwa pemerintah akan segera menyusun strategi implementasi kebijakan ini, termasuk skema pembiayaan yang lebih adil bagi sekolah swasta.
Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian mengenai bagaimana pemerintah akan menanggung seluruh biaya operasional sekolah swasta, termasuk kesejahteraan guru dan inovasi pendidikan.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pendidikan gratis bisa berdampak pada mentalitas orang tua dan murid. Mengaoa? Sebab, tanpa adanya tanggung jawab finansial, ada risiko bahwa semangat belajar dan daya juang murid bisa melemah.
Apalagi jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendorong motivasi belajar, pendidikan gratis bisa menjadi bumerang bagi kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berfokus pada aksesibilitas, tetapi juga mempertahankan kualitas standar pendidikan yang tinggi.
Tanpa strategi yang matang, pendidikan gratis bisa menjadi sekadar slogan tanpa dampak nyata bagi masa depan bangsa. Sebab, pendidikan tidak gratis saja anak-anak malas untuk belajar, apalagi kalau pendidikkan gratis, bisa jadi semangat atau passion untuk belajar tidak ada, karena hilangnya tanggungjawab moral.
Demikian juga dengan sikap tanggungjawab dan peran serta dari para orang tua menjadi berkurang, bahkan hilang. Semuanya pasti dilimpahkan kepada pihak sekolah.
Jika itu yang terjadi, maka kualitas pendidikkan di Indonesia akan menjadi tanda tanya besar, quo vadis kualitas pendidikkan kita?
Di satu sisi, kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi masyarakat, terutama bagi keluarga yang kurang mampu yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Namun, di balik keputusan ini, muncul berbagai pertanyaan yang perlu dikaji lebih dalam: bagaimana nasib sekolah swasta? Apakah pemerintah mampu menanggung seluruh biaya operasional, termasuk gaji guru dan inovasi pendidikan?
Nasib Sekolah Swasta di Tengah Kebijakan Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis untuk SD dan SMP, baik negeri maupun swasta, merupakan langkah ambisius dalam pemerataan akses pendidikan.
Namun, bagi sekolah swasta, kebijakan ini bukan sekadar perubahan sistem pembiayaan, melainkan tantangan kompleks yang menyangkut keberlangsungan hidup ekosistem satuan pendidikkan dan kualitas pendidikan.
Oleh karena itu, ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, yakni 1). Bagaimana dengan pembayaran gaji guru? 2). Bagaimana dengan peningkatan kompetensi dan profesionsalisme guru? 3). Bagaimana dengan kegiatan life skill dan ekstra kurikuler bagi murid?
4). Bagaimana dengan pelaksanaan rapat dan ujian? 5). Bagaimana untuk pengembangan dan inovasi sekolah? Sebab, tidak bisa dimungkiri bahwa semua kegiatan ini membutuhkan uang, yang selama ini bersumber dari orang tua murid.
Jika kelima pertanyaan ini, semuanya dapat ditanggung pendanaannya atau disiapkan dananya oleh pemerintah, maka itu luar biasa. Itu berarti skema penggajian guru dan kegiatan lainnya, akan diatur atau ditentukan standart regulasi oleh pemerintah seperti ketika menerima dana BOS.
Jadi, kebijakan pendidikan gratis bagi sekolah swasta membawa tantangan besar, terutama dalam aspek pendanaan, yakni:
1. Pembayaran Gaji Guru
Dengan kebijakan pendidikan gratis, sekolah swasta yang sebelumnya bergantung pada biaya pendidikan dari orang tua murid akan mengalami kesulitan apabila pemerintah tidak menyediakan dana. Itu berarti Yayasan pendidikkan dan satuan pendidikkan harus mencari sumber pendanaan lain untuk membayar gaji guru.
Jika Pemerintah tidak menyediakan pendanaan, maka bisa jadi akan ada mogok massal guru-guru swasta untuk tidak mengajar, yang berujung pada murid jadi korban.
Kemungkinan terburuk, jika pemerintah tidak menyediakan dana bagi sekolah swasta, maka sekolah swasta akan ada yang ditutup, dan PHK guru akan terjadi secara massal, dan pemerintah harus siap menanggung risiko karena kebijakan yang tidak populis bagi sekolah swasta.
Yang barangkali tidak dipahami oleh pemerintah bahwa gaji guru di sekolah swasta sering kali lebih kompetitif dibandingkan sekolah negeri, karena sekolah swasta berusaha menarik tenaga pendidik terbaik dengan insentif lebih tinggi.
Jika sekolah kehilangan sumber pendapatannya akibat kebijakan gratis, maka kesejahteraan guru bisa terdampak, baik dalam bentuk pemotongan gaji maupun pengurangan jumlah tenaga pengajar. Ini dapat berujung pada ketidakstabilan pengajaran dan bahkan penurunan motivasi guru dalam menjalankan profesinya.
2. Peningkatan Kompetensi dan
Profesionalisme Guru
Pelatihan, workshop, seminar, IHT, dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Jika sekolah swasta kehilangan sumber pendapatan utama, yakni orang tua murid, maka peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru bisa terhambat.
Pemerintah perlu memastikan bahwa ada program pelatihan, workshop, IHT, yang tetap berjalan untuk guru di sekolah swasta, mungkin melalui dana bantuan pendidikan.
3. Kegiatan Life Skill dan Ekstrakurikuler bagi Murid
Kegiatan Life Skill & ekstrakurikuler seperti olahraga, seni, merupakan roh dari sekolah dalam membentuk keterampilan hidup, karakter dan kepribadian murid. Oleh karena itu, kegiatan ini sering kali membutuhkan biaya tambahan.
Jika sekolah swasta tidak bisa menarik dana dari orang tua murid, maka logikanya pemerintah juga harus menyediakan dana agar kegiatan Life Skill dan ekstrakurikuler tetap dilaksanakan.
Bisa jadi sekolah swasta harus mencari sponsor atau bekerja sama dengan komunitas untuk tetap menyelenggarakan kegiatan ini, namun biasanya harus ada timbal baliknya.
Pertanyaannya adalah apakah semua sekolah swasta, memiliki nilai jual?
4. Pelaksanaan Rapat dan Ujian
Biaya operasional untuk rapat guru, pertemuan orang tua, serta ujian sekolah juga perlu diperhitungkan.
Bisa dibayangkan, jika pemerintah tidak menyediakan dana operasional khusus untuk sekolah swasta yang terdampak kebijakan ini.
Sebab, sesuatu yang mustahil jika pihak sekolah tidak berkolaborasi dan berkumunikasi dengan orang tua murid atau stakeholder lainnya.
Jadi, jika tidak ada kejelasan dalam skema pendanaan, sekolah swasta bisa menghadapi krisis finansial yang berujung pada penurunan kualitas pendidikan.
Digitalisasi ujian dan rapat daring bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya operasional, namun tetap saja butuh biaya operasional.
Ingatlah bahwa manusia butuh interaksi. Selain itu, tidak semua orang tua paham tentang teknologi atau dunia digital. Atau juga tidak memiliki smartphone atau telepon pintar atau ponsel.
5. Pengembangan dan Inovasi Sekolah
Tanpa pendapatan dari orang tua murid, sekolah swasta mungkin kesulitan dalam melakukan inovasi pendidikan, seperti pembaruan fasilitas atau pengembangan metode pembelajaran baru atau media pembelajaran.
Pemerintah dan pihak swasta perlu berkolaborasi untuk menciptakan skema pendanaan inovatif bagi sekolah swasta, dengan suatu kesadaran (awareness) bahwa sekolah swasta juga mendidik anak bangsa.
Sekolah swasta bisa mencari mitra industri atau lembaga pendidikan lain untuk mendukung inovasi, namun tidak semudah yang dikatakan.
Yang juga pemerintah harus pahami bahwa salah satu daya tarik utama sekolah swasta adalah inovasi pendidikan yang sering kali lebih fleksibel dibanding sekolah negeri.
Banyak sekolah swasta menawarkan program unggulan, seperti pendekatan berbasis teknologi, kurikulum berbasis keterampilan abad 21, atau metode pembelajaran yang lebih interaktif atau life skill. Namun, inovasi memerlukan dana yang tidak sedikit.
Jika dana pemerintah hanya mencakup kebutuhan dasar, maka sekolah swasta bisa kehilangan keunggulan yang selama ini menjadi diferensiasi atau pembeda.
Potensi Perubahan dalam Struktur Pendidikan
Kebijakan pendidikan gratis berpotensi mengubah peta pendidikan di Indonesia.
Sekolah swasta yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini mungkin terpaksa gulung tikar atau juga mengubah model, misalnya dengan beralih ke sekolah internasional atau institusi pendidikan berbasis donasi.
Di sisi lain, ada kemungkinan meningkatnya tekanan bagi sekolah negeri yang harus menampung lebih banyak murid karena eksodus dari sekolah swasta. Oleh karena itu, Keputusan MK tentang pendidikan dasar gratis perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan yang lebih detail dan realistis, terutama dalam hal pendanaan sekolah swasta.
Pemerintah harus memberikan kepastian bahwa subsidi yang diberikan tidak hanya mencakup sekolah negeri, tetapi juga memastikan keberlangsungan sekolah swasta yang selama ini berkontribusi dalam menciptakan pendidikan berkualitas.
Tanpa skema pendanaan yang jelas dan matang, maka kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua, baik bagi sekolah swasta maupun bagi kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Tantangan Pembiayaan dan Kualitas Pendidikan
Pemerintah tentu menghadapi tantangan besar dalam memastikan bahwa kebijakan ini tidak justru menurunkan kualitas pendidikan.
Anggaran pendidikan yang tersedia harus mampu mencukupi dan mencakup seluruh kebutuhan sekolah negeri dan swasta, termasuk kesejahteraan guru dan pengembangan inovasi pendidikkan.
Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa berujung pada penurunan standar pendidikan, di mana sekolah hanya berfokus pada pemenuhan kuantitas tanpa memperhatikan kualitas.
Mentalitas Orang Tua dan Murid
Pendidikan gratis juga berpotensi mengubah pola pikir masyarakat. Tanpa adanya tanggung jawab finansial, ada kekhawatiran bahwa orang tua dan murid menjadi lebih santai dalam menjalani pendidikan.
Semangat belajar dan daya juang bisa melemah karena tidak ada daya dorongan untuk berusaha lebih keras.
Pendidikan bukan hanya soal akses, tetapi juga tentang membangun karakter dan etos kerja yang kuat.
Jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendorong motivasi belajar, pendidikan gratis bisa menjadi bumerang bagi kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Berkaca dari pengalaman dan fakta, biaya pendidikkan tidak gratis saja, partisipasi orang tua murid terhadap pendidikkan putra/i nya tidak maksimal.
Dan banyak kali dilimpahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, dengan mindset bahwa para orang tua murid sudah bayar uang sekolah.
Maka, anak belajar atau tidak, punya karakter yang baik atau tidak, itu menjadi tanggung jawab sekolah, karena sudah dibayar.
Para orang tua terima hasilnya saja. Tidak bisa dibayangkan, dengan pendidikkan gratis, seperti apa mentalitas orang tua dan murid, apa semakin baik atau semakin buruk?
Mengingat tidak ada tanggung jawab moral, sehingga ada risiko bahwa orang tua menjadi kurang peduli karena mereka merasa semua sudah diurus oleh sekolah.
Begitu juga dengan anak, jika mereka melihat pendidikan sebagai sesuatu yang diberikan tanpa usaha atau konsekuensi, mereka bisa kehilangan semangat belajar dan rasa tanggung jawab terhadap pembelajarannya.
Pendidikan gratis adalah langkah maju dalam mewujudkan akses pendidikan yang lebih inklusif.
Namun, kebijakan ini harus diiringi dengan strategi dan skema yang jelas juga matang, agar tidak merugikan sekolah swasta, serta menurunkan kualitas pendidikan, atau melemahkan semangat belajar murid.
Pemerintah perlu memastikan bahwa pendanaan yang diberikan cukup untuk menjaga keseimbangan antara aksesibilitas dan mutu pendidikan.
Jika tidak, pendidikan gratis bisa menjadi sekadar slogan tanpa dampak nyata bagi masa depan bangsa.