Mbay, Vox NTT- Enek adalah kampung kecil di Kabupaten Nagekeo, Provinsi NTT yang terletak di Kelurahan Mbay II, Kecamatan Aesesa.
Sejak dahulu kala, Enek dikenal sebagai penghasil tenun ikat terbaik di Nagekeo bahkan NTT.
“Menenun adalah bercinta bersama belahan jiwa” mungkin narasi yang tepat untuk menggambarkan makna menenun bagi perempuan-perempuan Enek. Menenun bagi mereka seolah-olah sedang bercumbu dengan kekasih hati saban hari.
Jika tak menenun, para Ibu itu seperti pasangan kekasih yang kehilangan momentum romantismenya.
Karena itulah mereka setia dari waktu ke waktu, beromantis sembari melampiaskan hasratnya bercumbu dengan peralatan dan komponen yang diperlukan dalam menenun hingga melahirkan tenunan cantik nan menarik.
Tradisi menenun, memang warisan luhur para leluhur mereka yang dilestarikan secara turun temurun.
Demikianlah curahan hati seorang pengrajin Enek yang memperkenalkan namanya Eliyonora Wonga (67) kepada voxntt.com, Jumat (12/10/2018) pagi tadi.
“Menenun sudah menjadi bagian hidup perempuan di rumah-rumah. Sama seperti belahan jiwa kami,” ujar Eliyonora sambil melemparkan senyumnya.
Dia mengaku, kecanggihan dunia dengan segala modernisme yang kian mempengaruhi gaya hidup dan dunia fashion show sama sekali tak melunturkan kecintaan mereka terhadap tenunan khasnya itu.
Mereka setia, walau harus bertarung dengan pengaruh kecanggihan teknologi. saban hari mereka berjuang agar tenunannya menjadi yang terbaik. Usaha mereka direspon dengan membanggakan oleh publik dunia.
Tenunan mereka pun, kini menjadi salah satu yang paling favorit untuk dijadikan bahan dasar pembuatan seragam di kantor-kantor atau untuk keperluan ajang fashion show, baik di tingkat lokal maupun nasional bahkan internasional.
Kepada media ini, Mama Elis, demikian ia disapa menyampaikan, tenunan-tenunan ikat yang cantik itu dihasilkan dari kemampuan hasil belajar autodidak dari orang tua mereka di zaman dulu. Tanpa kursus. “Saya belajar menenun dari mama saya,” tuturnya.
“Kemampuan terbaik itu adalah ilmu yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kami belajar dari orangtua-orangtua kami, secara turun menurun. Saya sendiri, salah satu pengerajin tenun ikat Mbay sejak usia muda. Pertama kali menenun kira-kira berusia 17 tahun. Dan sekarang usia saya sudah 67 tahun,” ujarnya.
Namun sebagaimana dalam usaha yang lain, usaha merawat tradisi warisan ini juga pernah mengalami era dimana mengalami suasana pasang surut.
Dikisahkan Mama Elis, kira-kira tahun 1980, tenun ikat di wilayah tersebut hampir punah. Pengrajinnya hanya sedikit. Namun, karena kualitas dan tampinan teunan ang dihasilkan menarik, orang mudah jatuh cinta.
Hal ini seiring dengan semakin banyaknya permintaan pasar akan tenun ikat Mbay ini. “Kami pun akhirnya belajar untuk menjadi penenun,” kisah Mama Elis.
Zaman yang kian berkembang, lanjut Mama Elis bukanlah hambatan untuk mereka terus berkreasi, malah menantang mereka untuk meningkatkan produktivitas.
Saat ini, demikian Mama Elis,permintaan akan tenunan ikat khas Mbay ini makin tinggi. Laris manis di Pasaran.
Tidak jarang peminat langsung mendatangi kampung tenun ini. Ada yang datang memesan, ada pula yang datang meminta penenun untuk menenun sesuai selera mereka (pembeli).
Penopang Hidup
Dengan permintaan yang tinggi itu, menenun kini tak hanya sebagai bentuk pelestarian tradisi tetapi sudah bergeser sebgai salah satu mata pencaharian dengan penghasil yang menggiurkan.
Mama Elis mengatakan, kain tenun sudah menjadi penopang kehidupan perempuan di kampung enek. Biaya hidup mereka dihasilakn dari menenun. Bahkan anak-anak mereka disekolahkan dengan uang hasil menenun.
Mereka menjadi perempuan desa yang multitasking. Membantu suami membangun ekonomi rumah tangga sekaligus merawat tradisi.
Namun demikian, menenun tidak berarti menghambat pekerjaan lain. Mama Elis mengatakan, banyak orang juga yang menenun tetpai tidak meninggalkan pekerjaan lainnya di lading.
Dia mencontohkan dirinya yang juga kerap bekerja di ladang. Namun demikian menghasilkan satu tenun bisa mengahabiskan waktu satu-sampai tiga bulan.
Harganya pun bervariasi tergantung kerumitan motif yang dipesan. Biasanya, harga yang ditawarkan berkisar Rp 7 ratusan hingga.Rp 2 juta “Kita ada tiga kelas kain nomor satu Rp 2 juta, nomor dua Rp 1 juta dan nomor tiga Rp 700 ribu,” ujarnya.
Pesanan Istri Gubenur NTT
Bebebrapa penenun yang tergabung dalam kelompok tenun Ikat Nghoe Sama kini menjahit untuk memenuhi pesanan Istri Gubernur NTT.
“Beberapa ibu asal Enek yang tergabung dalam kelompok “Tenun Ikat Nghoe Sama”, saat ini sedang menenun kain baju motif Mbay yang dipesan oleh Bunda NasDem, Julie Sutrisno Laiskodat,” ungkapnya.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Boni J