Oleh: Boy Angga*
Nusa Tenggara Timur adalah provinsi yang sangat lekat dengan berbagai stigma. Nanti Tuhan Tolong dan Nasib Tidak Tentu menjadi representasi dari sekian banyak citra tersebut. Hal ini lantaran terlampau banyak persoalan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat NTT.
Ironisnya, berbagai persoalan tersebut belum mendapatkan solusi konkret. Pola pemecahan masalahnya stagnan. Sekalipun bergerak, laju pergerakannya sangat lamban.
Masalah yang menjadi prevelensi umum di NTT adalah masalah sosial dan ekonomi. Keduanya memiliki hubungan kausatif. Masalah sosial akan menjadi penyebab timbulnya masalah ekonomi. Begitupun sebaliknya, masalah ekonomi kerap menimbulkan permasalahan sosial.
Tanpa menyampingkan persoalan sosial, kajian ini lebih berfokus pada persoalan-persoalan yang menyangkut dimensi ekonomi. Persoalan ekonomi menjadi bagian yang integral dari kehidupan manusia.
Masalah ekonomi menyangkut kebutuhan dasar (basic needs) manusia. Itulah sebabnya mengapa penting diberdayakan potensi yang ada agar kebutuhan dasar tersebut dipenuhi. Tetapi kebutuhan tersebut tidak hanya berhenti pada primary needs. Kebutuhan tersebut juga meningkat seiring dengan tingkat usia, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, agama, budaya dan faktor-faktor lainnya. Sehingga kebutuhan itu berjejak panjang.
Persoalan ekonomi yang kerap mengisi ruang diskursus publik paling tidak memuat persoalan dasar tentang ekonomi makro dan mikro, berikut kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi persoalan yang muncul tersebut.
Yang paling urgen adalah konsepsi kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah. Formulasi kebijakan adalah domain dari implementasi pada tataran praksis. Jadi, formulasi kebijakan menjadi “tuan” atas implementasi kebijakan.
Dengan demikian, pola pemahaman yang sama juga kita refleksikan dengan pola pembangunan ekonomi di NTT. Upaya mempercepat pembangunan ekonomi mengalami stagnasi lantaran kebijakan yang diformulasikan juga “stagnan”. Selam ini nyaris tidak ada terobosan yang mampu mengangkat derajat perekonomian NTT. Kebijakan ekonomi yang ditempuh masih konvensional. Spirit kebijakan lama dengan multiplier effect yang rendah masih dipertahankan.
Kondisi ini juga diperparah oleh sumber daya manusia yang rendah dan topografi NTT yang berbasis kepulauan yang cukup menyulitkan dalam implementasi kebijakan. Ini menuntut kebijakan ekonomi yang prudensial.
Sampai periode 2018, perekonomian NTT masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan kontribusi sebesar 28,64%. Bukan lagi menjadi sesuatu yang mengejutkan karena memang kondisi sumber daya potensial daerah NTT didominasi oleh ketiga faktor tersebut. Sehingga predikat perekonomian agraris cocok dengan realitas di NTT.
Bagaimanapun juga, corak perekonomian agraris cukup sulit untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi seperti yang dialami oleh negara-negara bercorak industri.
Dari aspek nilai tambah, produk-produk agraris memiliki nilai tambah yang cukup rendah.
Belum lagi berhadapan dengan harganya yang fluktuatif. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, biasanya negara agraris mengekspor barang-barang primer dengan harga yang lebih rendah daripada barang industri.
Karena NTT bercorak agraris, maka ia juga menghadapi beberapa persoalan di atas. Ini adalah konsekuensi logisnya.
Pada September 2018, tercatat tiga propinsi yang angka kemiskinannya di atas 20%, atau lebih dua kali lipat dari angka kemiskinan nasional (9,66%), yaitu Nusa Tenggara Timur (21,03%), Papua Barat (22,66%), dan Papua (27,43%) (Rajali Ritonga dalam Media Indonesia.com,22/01/19).
Pada saat tingkat kemiskinan nasional mengalami penurunan, NTT masih berkutat dengan persoalan serupa dengan tingkat presentase yang cukup tinggi.
Menurut indikator Bank Dunia, tingkat kemiskinan diukur berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional, maka termasuk dalam kategori miskin.
Dalam hal ini, penduduk dengan pendapatan kurang dari $2 per hari adalah penduduk miskin. Merujuk pada data tingkat kemiskinan di NTT di atas, mengindikasikan bahwa terlampau banyak masyarakat NTT yang memiliki pendapatan kurang dari $2 per hari.
Per Agustus 2018, NTT juga mencatat jumlah pengangguran terbuka sebesar 3,01%. Tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan sebesar 0,26% dari Agustus 2017.
Dalam angka, pengangguran di NTT pada Agustus 2018 sebesar 74,7 ribu orang berkurang 3,8 ribu jiwa dibandingkan pada periode yang sama pada tahun 2017.
Ini adalah sebagian dari banyak persoalan yang dihadapi oleh provinsi NTT dalam ranah ekonomi. Realitas ini turut melegitimasi bahwa sektor pertanian syarat dengan berbagai persoalan.
Para ekonom pembangunan telah lama melakukan telaah tentang realitas pengangguran, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Telaah ini berupaya untuk menguraikan ‘kekusutan” yang dialami setiap wilayah baik skala nasional maupun regional tentang ketiga persoalan mendasar di atas.
Perekonomian Subsisten
Perekonomian subsisten secara sederhana adalah perekonomian yang memiliki orientasi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar. Kondisi terpenuhinya kebutuhan primer yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal dianggap sudah cukup untuk menopang hidup bahkan untuk jangka waktu yang panjang.
Masyarakat dalam perekonomian subsisten mendefinisikan kesejahteraan dalam bingkai primary needs tersebut. Redefinisi tentang konsep kesejahteraan cukup sulit ditemukan. Hal ini lantaran masyarakatnya memiliki cara pandang yang didominasi oleh nilai-nilai yang kurang rasional.
Minimnya rasionalitas ini secara gamblang juga ditunjukkan oleh minimnya produktivitas dan rendahnya ekspansi pasar. Singkatnya, perekonomian subsisten menunjukkan pola kehidupan masyarakat yang tradisional.
Corak nyata model perekonomian subsisten yaitu pertanian subsisten, laba subsisten, upah subsisten, pasar subsisten, dan produksi subsisten.
Dalam teori pembangunan Rostow, kondisi perekonomian subsisten syarat dengan proses pembangunan pada tahap masyarakat tradisional.
Rostow menjelaskan bahwa masyarakat tradisional memiliki fungsi produksi yang terbatas, rasionalitas yang rendah, produktivitas marginal masyarakat masih sangat rendah, struktuktur pertanian tradisional yang inherent, dan mobilitas vertikal yang cukup sulit dalam kehidupan sosial masyarakatnya.
Faktum perekonomian NTT menunjukkan bahwa kita sudah jauh bergerak dari tahap awal pertumbuhan ekonomi seperti dalam konsepsi Rostow. NTT tidak lagi berkutat pada upaya memenuhi kebutuhan mendasar (basic needs). Rasionalitas manusia NTT sudah tinggi. Sehingga tingkat kebutuhan berikut cara pemenuhan kebutuhan tersebut juga mengalami peningkatan. Dengan demikian, NTT sudah terlepas dari kungkungan perekonomian primitif.
Meskipun NTT telah memasuki fase baru corak perekonomiannya, tetapi unsur penopangnya masih didominasi oleh sektor pertanian. Transisi yang dialami lebih kepada cara atau metode produksi sektor pertanian.
Friedrich List, pelopor mazhab Historismus menekankan perubahan pola produksi dalam analisisnya tentang perkembangan ekonomi. Transisi di NTT juga dapar direfleksikan seturut pendapat List.
Perubahan produksi ini terutama dipengaruhi oleh perubahan teknologi dan mumpuninya sumber daya manusia dalam menggunakan peralatan teknologi. Selain sektor pertanian, ekspansi ekonomi juga bermunculan dengan hadirnya sektor pariwisata, akomodasi, konstruksi, pertambangan, air, listrik, gas dan sektor-sektor lain yang berkontribusi dalam pembentukan PDRB NTT.
Jika merunut kepada teori Rostow, cukup sulit untuk menetapkan pada tahap mana sekarang NTT berada. Dari ke-5 tahapan yang ditawarkan Rostow, sulit menemukan konsensus untuk mengklasifikasikan pada tahap mana NTT bertengger. Terdapat tumpang tindih indikator. Kondisi tertentu memenuhi indikator tertentu untuk suatu tahapan tetapi kondisi lain memenuhi unsur untuk tahapan perkembangan ekonomi yang lain.
Berakar dari kondisi ini, penulis menawarkan neologi “subsisten menengah” untuk faktum perekonomian NTT. Terdapat beberapa dasar pemikirannya.
Pertama, sebagian besar masyarakat NTT telah melakukan perombakan masyarakat tradisional yang telah lama ada. Masyarakat NTT telah memiliki pemikiran yang rasional dalam menentukan pilihannya.
Kedua, struktur pembentuk PDRB NTT tidak mengalami kongesti. Meskipun sektor pertanian mendominasi, tetapi terdapat faktor-faktor lain yang turut “menemani” sektor pertanian.
Ketiga, investasi di NTT bergerak progres. Investasi yang meningkat memiliki eksternalitas positif terhadap ekonomi.
Keempat, kondisi infrastruktur penunjang sudah cukup baik. Infrastruktur mutlak sangat dibutuhkan untuk memperlancar aktivitas masyarakat. Untuk beberapa alasan ini, kesemuanya berada pada level yang moderat. Tidak menyentuh ambang batas paling bawah juga tidak menyentuh ambang batas paling atas.
Pariwisata NTT
New Tourism Territority menjadi slogan yang bakal menegasikan berbagai stigma yang dilekatkan untuk Propinsi NTT. Kita menjadi basis baru bagi aktivitas turisme di Indonesia bahkan kancah global.
Lalu-lintas wisatawan yang berkunjung ke wilayah NTT mengalami peningkatan. Ini mengindikasikan bahwa animo wisatawan untuk menikmati wisata di NTT sangat tingi.
Kondisi ini merupakan implikasi positif atas upaya pemerintah dan berbagai pihak yang nerupaya memomulerkan NTT di kancah global. Faktum ini patut diapresiasi. Bahwasannya pemerintah dalam seluruh kebijakannya di bidang pariwisata secara perlahan mengarah ke puncak faktualnya.
Menyoal pariwisata, aras pemikiran kita semestinya tidak hanya tertuju pada wisata ekologi. Namun mesti merambah pada wisata budaya.
Selama ini yang paling “moncer” diberdayakan adalah wisata ekologi. Wisatawan hanya disuguhkan dengan produk-produk alam. Misalnya Komodo di Labuan Bajo, Danau Tiga Warna, dan Pantai-Pantai dalam wilayah NTT.
Padahal NTT menyimpan sejuta kearifan lokal dalam bingkai kulturalnya. Kearifan lokal ini semestinya juga menjadi konsumsi bagi wisatawan.
Kita mesti membangun faktum beyond the eco-tourism. Eksternalitas positif dari wisata ekologi secara normatif harus “menciprat” wisata budaya.
Jika digambarkan secara grafik, maka wisatawan akan berada pada tingkat indiferens tertinggi jika terdapat titik ekuilibrium antara wisata ekologi dan wisata budaya. Implikasi ekonominya bahwa PDRB NTT nantinya mengalami konvergensi berikut pendapatan masyarakat juga meningkat.
Mendominasinya eco-tourism dalam konsepsi ekonomi lebih dikarenakan oleh informasi yang tidak lengkap dari pasar. Informasi yang tidak lengkap (incomplete information) ini menjusifikasi campur tangan pemerintah yang lebih aktif (Todaro:2000).
Dengan demikian maka sangat dibutuhkan peran pemerintah yang lebih aktif dalam menyeimbangkan antara wisata budaya dan wisata ekologi. Tentunya lebih ideal lagi jika seluruh komponen dalam wadah yang disebut Nusa Tenggara Timur sama-sama berperan aktif.
Hasil analisis VoxNtt.com bersama mahasiswa STIS tentang TN Komodo menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara jumlah pengunjung dengan PNBD (Pendapatan Nasional Bruto Deflator).
Penambahan satu orang pengunjung akan menambah PNBD sebesar Rp323.000 (VoxNtt.com, 29/01/19). Peningkatan pengunjung secara eksponen memiliki efek yang sama juga terhadap PNBD.
Berdasarkan hasil analisis statistik ini, pekerjaan kita yang paling utama adalah meningkatkan kuantitas variabel independen (wisatawan) sehingga PNBD juga meningkat. Menyambut bonus demografi, realitas ini menjadi peluang besar bagi NTT.
Hubungan positif ini turut mengonfirmasi bahwa pariwisata dapat menjadi leading sector perekonomian NTT. Dengan manajemen pengelolaan yang baik maka pariwisata dapat memberikan pendapatan yang tetap (regular income) bagi perekonomian NTT.
Untuk mencapai target tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut.
Pertama, kemudahan akses. Hal yang paling urgen dalam mengelola pariwisata adalah menyangkut aksesibilitas. Sehingga, pembenahan akses menjadi prioritas. Penyediaan jalan masuk, sistem sanitasi yang memadai, dan penerangan menjadi mutlak untuk dipenuhi. Terpenuhinya syarat ini menjadi pembuka jalan untuk merambah wisata di NTT.
Kedua, informasi pasar. Konsumen membutuhkan informasi yang memadai tentang kondisi pasar (baca:objek pariwisata). Ini terpenuhi jika pola promosi yang dilakukan dilaksanakan secara berkala. Artinya bahwa promosi tidak hanya berhenti sampai pada titik tertentu. Diupayakan kedatangan wisatawan mesti melebihi target yang dicanangkan pada awal periode anggaran.
Ketiga, peran serta masyarakat. Konsep Gubernur NTT dalam meningkatkan peran serta masyarakat dengan mendorong penyediaan rumah-rumah penginapan bagi wisatawan menjadi sangat opsional. Tidak perlu investor untuk menyediakan akomodasi. Ini selaras dengan upaya meningkatkan pemerataan pendapatan.
Di samping itu masyarakat adalah unsur yang sangat dekat dengan wisatawan. Sehingga pola pelayanan diperhatikan secara serius. Keputusan wisatawan untuk menetap juga sangat dipengaruhi oleh pola pelayanan.
Diupayakan masyarakat pengelola atau yang berada di sekitar daerah pariwisata memiliki itikad yang baik dalam melayani wisatawan.
Gatra pariwisata dapat meningkatkan perekonomian NTT karena ia tidak mengalami kondisi seperti sektor pertanian. Sektor pariwisata tidak mengenal panen yang dilakukan secara musiman, fluktuatif harga produk, gagal panen, harga pupuk yang tinggi dan kekurangan air.
Kesemuanya itu tidak ditemui di sektor pariwisata. Dapat dikatakan bahwa sektor pariwisata itu stabil dengan asumsi bahwa ketiga syarat yang diajukan di atas paling tidak mendekati kondisi yang ideal. NEW TOURISM TERRITORITY.