Judul : Freeport: Bisnis Orang Kuat & Kedaulatan Negara
Penulis : Ferdy Hasiman
PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang raksasa yang menambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani tahun 1967.
Sejak mengeksplorasi emas dan tembaga di Earstberg (1971-1988), Grasberg (1991-sekarang) dan tambang underground, tambang Grasberg adalah tambang yang paling menguntungkan di dunia.
Saking kaya tambang Grasberg di Papua, banyak pengusaha-pengusaha domestik sejak zaman Orde Baru hingga zaman reformasi sekarang berebutan ingin menjadi partner bisnis dengan Freeport, mulai dari jasa memasok Bahan Bakar Minyak (BBM), bahan Peledak, jasa pembangunan pelabuhan sampai catering.
Pengusaha-pengusaha lokal ini termasuk orang-orang kuat yang memiliki akses dengan kekuasan dan partai politik. Selain itu, Freeport juga ditopang oleh kekuatan global dan negara asalnya, Amerika Serikat.
Itulah sebabnya mengapa setiap pemerintahan yang mencoba melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport mulai dari menaikan penerimaan negara, pengurangan lahan, perpanjangan kontrak, pembangunan smelter dan divestasi saham selalu sulit. Hanya pemerintahan kuat dan berdaulat yang mampu melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport.
Pemerintahan yang berani mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus adalah pemerintah yang berdaulat.
Kontrak Karya adalah sesuatu yang luxury bagi Freeport Indonesia. Kontrak Karya menjadi alat hukum bagi Freeport Indonesia untuk mendulang banyak uang dari tembaga dan emas di Earstbrg, Grasberg dan tambang underground, Papua.
Melalui Kontrak Karya, Freeport Indonesia dengan bebas melakukan ekspansi bisnis dan mengeksplorasi tembaga dan emas di Papua. Pemerintah Indonesia yang mencoba melakukan renegosiasi kontrak berkali-kali menemukan jalan buntu karna Freeport Indonesia selalu bersembunyi dibalik Kontrak Karya.
Pada zaman pemerintahan Jokowi lah, Freeport ditantang. Jokowi berani mengubah Kontrak Karya Freeport menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus.
Ini menjadi babak baru bagi Freeport dan babak baru bagi pemerintah Indonesia dan Papua. Papua mendapat ruang untuk mendapat 10 persen saham di Freeport dan pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Alumina (INALUM/BUMN) mengontrol 41 persen saham Freeport. Dengan komposisi itu, pemerintah Indonesia kemudian mengontrol 51 persen saham Freeport Indonesia.
Presiden Jokowi memiliki kepedulian besar mengembalikan kedaulatan tambang dan peduli terhadap nasib BUMN tambang. Divestasi saham Freeport bukan pekerjaan mudah bagi Jokowi.
Selain alotnya negosiasi dengan Freeport yang tak mau mengubah KK menjadi IUPK, Jokowi harus berhadapan defisit APBN akibat impor migas (bensin) terlalu besar (49% per Agustus, 2018).
Proses politik di DPR juga tak membantu dalam proses divestasi. Padahal, di sana-sini DPR berteriak agar pemerintah segera menuntaskan divestasi Freeport. DPR tak mendukung pengalihan saham perusahaan asing ke perusahaan-perusahaan BUMN dengan alasan injeksi modal ke BUMN menimbulkan defisit APBN.
Padahal, tugas menutup defisit APBN adalah pekerjaan bersama DPR dan pemerintah. DPR tidak memiliki politik konstitusional jelas dalam divestasi. Presiden kemudian bersama menteri-menterinya mencari cara lain mendapat saham Freeport. Pemerintah melakukan divestasi dengan mekanisme korporasi.
Sebelum membeli 51 persen saham Freeport, perusahaan tambang BUMN telah melakukan konsolidasi dengan membentuk perusahaan holding (PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Jika digabung, total aset INALUM sebesar Rp 86 triliun. Dengan total aset yang begitu besar, memudahkan INALUM mendapat pinjaman bank dan melakukan ekspansi bisnis. Di tambah dengan cash flow (arus kas) anak usaha (PTBA 2018 Rp4.45 triliun, PT Timah 1.29 triliun) yang besar, memudahkan INALUM membeli saham Freeport. Jika tuntas membeli 51 persen saham Freeport, total aset INALUM menjadi Rp180 triliun.
Dana pinjaman untuk membeli saham Freeport akan tertutup oleh laba bersih Freeport yang rata-rata di atas US$ 2 miliar per tahun setelah 2022. Apalagi tambang underground (93% total cadangan Freeport di underground) mulai berproduksi tahun 2019.
Nilai pasar (market value) INALUM mencapai US$15 miliar jika sukses mengontrol 51 persen saham Freeport. Nilai pasar seperti itu sudah cukup menempatkan INALUM sejajar dengan raksasa-raksasa tambang dunia, seperti Freeport McmoRRan (induk usaha Freeport) yang memiliki nilai pasar sebesar US$20.9 miliar. Angka itu memang jauh dibawah raksasa tambang dunia, Rio Tinto Plc dengan nilai pasar sebesar US$86.55 miliar.
Keputusan pemerintahan Jokowi ini sangat penting bagi masa depan pertambangan kita. Indonesia memiliki cadangan mineral berlimpah, berupa emas, tembaga, nikel, dan batubara yang melimpah.
Namun, yang mengontrol pasar nikel, bauksit, tembaga dan batubara, bukan perusahaan BUMN, tetapi perusahaan-perusahaan asing dan group lokal besar.
Selama bertahun-tahun tak ada sesuatu yang bisa kita banggakan dari perusahaan-perusahaan BUMN. BUMN tambang tak bisa diandalkan meningkatkan penerimaan negara, karena dividen kecil dan tak profitable.
Korporasi asing-domestik justru yang menjadi penopang penerimaan negara dari sektor tambang. Mereka juga ikut menentukan maju-mundurnya proyek hilirisasi mineral. Pemerintah kemudian menjadi tak konsisten menerapkan pelarangan ekspor mineral mentah. Freeport misalnya, masih saja diberikan ijin ekspor mineral.
Itu semua terjadi karena BUMN tak diberi akses ke konsensi potensial oleh negara. Negara tidak menjalankan usaha, tetapi operasionalisasi amanat konstitusi dijalankan perusahaan BUMN.