Oleh: Pius Rengka*
Kurang dari 20 hari, takdir politik ribuan politisi (muda tua maupun perempuan) di mana pun di negeri ini akan kian segera jelas.
Meski riuh hasil survei banyak lembaga diperdebatkan kesahihannya, bahkan di antaranya dituding survei abal-abalan, tetapi toh nasib sejarah politik elektoral tak sanggup dibelok lagi.
Waktu terus mengalir dan tak seorang jua pun sanggup membatalkannya.
Tanggal 17 April 2019, ditunggu dengan kecemasan sempurna. Meski, terus terang, memang ada di antaranya yang mengaku diri tetap santai-santai saja, tetapi sungguh mati, di dalam relung batinnya yang paling sunyi pertanyaan ini terus mengalir dan sangat mengganggu: Akankah aku terpilih?
Lembaga-lembaga survei, silakan mengunggulkan partai-partai mana saja yang dihitung lolos syarat parliament threshold 4%, tetapi saya melihat, banyak calon bekerja sungguh-sungguh tak peduli akankah partainya lolos atau tidak versi lembaga survei mana pun.
Tak peduli pagi siang malam, terang maupun gulita, dan bahkan bencana puting beliung semacam momentum strategis untuk menampakkan diri dalam semangat kental humanisme. Tak masalah, tentu saja, semua jalan benar dan baik dalam konteks seperti ini. Semua pilihan cara tampak benar pada dirinya sendiri.
Karena itu, peta berikut mungkin sedikit berguna untuk menakar diri masing-masing. Peta ini berfungsi sebagai sedikit obat penenang agar kita boleh saja sibuk bukan main menghadapi tanggal 17 April 2019, tetapi peristiwa itu disambut lebih riang gembira.
Pertama, saya duga, pertarungan sangat seru justru terjadi di bawah, bukanlah saat kempanye memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena perihal siapa yang dipilih menjadi presiden telah jelas jauh sebelum riuh rendah keributan hari-hari ini.
Pilih presiden tidak lagi sedang berada di arus utama politik waktu tersisa, melainkan tarung tempur campur debu para caleg di dua level. Yaitu di level caleg kabupaten kota dan propinsi.
Pemilihan calon legislatif di dua level (kabupaten kota dan propinsi) akan sangat seru karena semua partai politik berusaha semaksimal mungkin merebut kursi terutama untuk masing-masing caleg sendiri, sambil berharap, partai politik pengusungnya unggul di daerah pemilihan masing-masing.
Partai yang unggul di daerah pemilihan masing-masing, jelas sebagai partai yang pertama berhak mendapatkan jatah satu kursi. Kursi yang dijatah itu dijatahkan kepada calon yang perolehan suara pribadinya unggul. Ke arah itulah opini semua caleg bergerak.
Mungkin, lainnya sedang berpikir cara mana yang relatif gampang untuk mencapai ke situ. Sogok? Tetapi sogok siapa? Jual beli suara? Jualan dengan siapa? Atau apa, tetapi bagaimana dan kapan? Ini pertanyaan sampah bikin pusing.
Tempur di wilayah kabupaten kota dan propinsi ini, menurut saya, hanya berbasis pada dua alasan kunci. Yaitu, alasan identifikasi (bukan soal partai politik), dan alasan sosiologis calon.
Identifikasi diri (party identification), oleh Columbia School, menyebutnya sebagai pola tergampang konstituen melakukan pemilihan. Mereka memilih calon legislatif (kabupaten maupun propinsi), karena calon tersebut memiliki identifikasi yang sama dengan para pemilih. Atau para pemilih memandang calon tersebut sanggup menampung keinginan psikologis pemilih.
Sedangkan alasan sosiologis calon, para pemilih memilih karena pertimbangan sosiologis para pemilih. Faktor sosiologi itu, dikenalkan oleh Michigan School, terdiri dari kesamaan agama, suku, ras, pekerjaan, tempat asal dan golongan.
Maka pemilih cenderung memilih kaum yang disebut in group dibanding out group atau lebih suka memilih aktor the insider dibanding the outsider. Kaum the insider adalah mereka yang selalu hadir dalam peristiwa kemasyarakatan yang sensitif dengan kultur para pemilih.
Karena itu kaum the outsider, dimohon berdoa habis-habisan sampai jumlah doa habis sungguhan, mungkin tak akan bakal disentuh pemilih.
Jika demikian, dapatlah ditebak, para calon (dari semua partai politik) mungkin sama dalam spektrum sosiologis, tetapi harus dilihat juga faktor pertama yang lain yaitu identifikasi diri tadi.
Sebagai contoh, para pemabok akan suka memilih sesama pemabuk, tetapi tidak untuk para pemilih antimabuk. Elit intelektual akan cenderung memilih pemikir dibanding memilih orang tanpa pikiran. Begitu seterusnya dapat dikembangkan hanya dari dua teori voting itu.
Kedua, untuk caleg pusat, kalangan pemilih di bawah kelas menengah, akan kurang peduli dengan para caleg, sehingga akumulasi perolehan suara untuk kursi DPR RI, akan lebih banyak ditampung melalui perolehan suara pada level kabupaten dan propinsi.
Akibatnya, semua partai politik berpeluang sama mengungguli perolehan suara di masing-masing daerah pemilihan, tanpa memperhitungkan hasil survei dari aneka lembaga survei, sambil mengkalkulasi dua kecenderungan orientasi pilihan para pemilih di depan (teori identifikasi dan sosiologi). Tetapi, pemilih kelas menengah atas, jelas dapat memilih calon yang diperhitungkan sungguh sanggup merepresentasikan kepentingan terbaik pemilih.
Orientasi para pemilih kelas menengah atas itu ditentukan kualitas prospek calon yang dipilih. Dalam teori prospective voting, voters memilih calon legislatif atau partai, ditentukan oleh pertimbangan bahwa calon atau partai yang dipilih sanggup memenuhi kriteria normatif para voters.
Kriteria voters norms antara lain bahwa caleg sanggup memecahkan masalah ekonomi kontemporer para pemilih. Jadi orientasinya adalah social and economic decicive. Karena dengan terpilihnya calon mereka, maka para voters memiliki jaringan produktif dan solutif ke level yang lebih tinggi. Nah, karena itu, selain jumlah suara voters kelas menengah atas tidak berbanding lurus dengan jumlah voters di lapisan bawah, maka tawaran gagasan pemecahan masalah menjadi siginifikan.
Namun, bahaya yang sangat dekat pada level kelas menengah atas ini (termasuk di kalangan internal partai sendiri) ialah bahwa mereka akan mudah tergoda menjadi swing voters dan split voters.
Swing voters artinya para voters yang selama ini belum menentukan pilihan atau telah menentukan pilihan akan mudah berpindah ke calon lain yang sebelumnya tidak diperhitungkannya.
Perpindahan ini ditentukan oleh kualifikasi yang diimajinasikannya. Umumnya para voters dari kelas ini mengagungkan intelctual capacity and integrity para calon. Calon legislatif yang memiliki kapasitas intelektual tinggi dan berintegritas terandalkan menjadi pilihan utama mereka dibanding pertimbangan unsur lain.
Para voters jenis ini, pasti sangat tergoda mengkalkulasi hasil-hasil survei yang diduga credible. Kelompok ini pun umumnya dari kalangan akademisi. Tentu saja, swing voters ini tetap memperhitungkan para calon di propinsi dan kabupaten kota dengan menggunakan kriteria kapasitas dan integritas itu.
Umumnya mereka melihat mana kandidat yang sesuai dengan norma-norma pemilih, meski banyak sekali para calon itu berada di partai-partai yang disurvei tidak memenuhi syarat parliament threshold. Para voters ini menggunakan alasan kapasitas dan integritas calon.
Saya mencatat, banyak calon dari partai-partai baru di level kabupaten kota dan propinsi, berkualitas baik.
Meski teori leadership syndrome (William Lidle), patron client (Carl D. Djickson) dan infra politics (Sidel and Scoot), menawarkan model baru orientasi para pemilih, tetapi saya tetap menduga dua teori voting terdahulu itu jauh lebih berlaku di Indonesia, khususnya NTT dibanding teori-teori voting lainnya.
Lalu, bagaimana menjelaskan infrastruktur politik lain yang menggunakan budget sebagai instrumen penarik simpati atau penarik voters?
Menurut saya, menggelontorkan duit selama masa kempanye itu, tentu saja, menyenangkan bagi para pemilih pada lapisan kelas bawah, tetapi sama sekali tidak mengganggu sedikit pun orientasi pemilihan mereka.
Itulah sebabnya di antara para caleg mulai berpikir cara-cara manipulatif untuk mendapatkan suara dukungan.
Memang, duit jelas diperlukan, terutama untuk memindahkan tubuh calon sendiri dan mungkin team kerjanya. Tidak mungkin calon aksesibel dengan para pemilih tanpa biaya dan seremonial cultural yang dikagetkan dan diada-adakan pada setiap musim politik. Saat ini pula kerap kita lihat gejala lingkungan lain.
Banyak hewan atau ternak gelisah saat-saat ini, karena kawanan hewan ini dijadikan obyek persembahan untuk kepentingan menjamu para bapak dan ibu perjamuan dadakan. Akibatnya, biaya untuk melayani kepentingan ini membengkak. Para bapak dan ibu perjamuan, hendaknya segera sadar, jika tidak mau mengalami proses pauperisasi politik.
Saran saya. Para caleg menghindari semua bentuk perjamuan massal, karena selain akan ikut terlibat dalam proses pembantaian mahluk hidup lain (ayam, babi, kambing, anjing dan sapi), juga upacara perjamuan seperti itu sama sekali tidak mendidik apa pun terhadap rakyat.
Para caleg wajib (hukum maupun moral) melakukan pendidikan politik agar para pemilih bergeser sedikit dari orientasi makan dan minum gratis menuju orientasi diskursus politik pemecahan masalah.
Ketiga, pemilihan presiden. Mayoritas rakyat Indonesia, terutama NTT, adalah masyarakat petani (ladang, sawah dan nelayan), juga para peternak dan buruh tani. Mereka, biasanya suka pada hal-hal konkrit seturut lintasan kepentingan mereka. Sebagaimana dua teori voting yang dijelaskan terdahulu, mereka pun memilih calon presiden dengan orientasi identifikasi diri. Identifikasi yang mudah dijamah dengan melihat contoh-contoh konkrit.
Pidato, orasi dan provokasi, selevel apa pun kualitas provokasinya, tetap akan tidak banyak menggeser pilihan mereka (sekurang-kurangnya sampai hari ini), karena rakyat berorientasi pada hal-hal konkrit yang kecil-kecil yang telah dibuat oleh para calon presiden. Kasat mata, dan mudah melakukan identifikasi diri.
Para petani, peternak, buruh tani, melihat Jokowi sebagai bagian dari kaum mereka, terutama karena pembawan dirinya dan keluarganya yang serba sederhana. Rakyat membandingkan Jokowi dengan Soeharto dan anak-anaknya. Kisah keluarga Soeharto (presiden kedua) dan keluarganya, telah diketahui orang-orang kampung.
Sementara Jokowi dan terutama anak-anaknya, membangun keluarga mereka masing-masing tanpa meminta fasilitas ayahnya yang presiden. Jadi rakyat merasa, Jokowi itu satu front dengan mereka, senasib dengan derita mereka.
Karena itu, saya duga, mereka akan lebih gampang memilih Jokowi dibanding Prabowo lantaran urusan contoh konkrit tadi. Pada perspektif mereka, memilih Jokowi akan jauh lebih gampang dibanding memilih Prabowo. Memilih Prabowo bagi mereka akan sangat sulit, karena itu mereka tidak mau menyulitkan diri.
Namun, semuanya dapat berubah manakala pada waktu tersisa (20 hari) isu yang dipakai masing-masing calon presiden dan team pemenangan sensitif atau tidak dengan kepentingan mayoritas pemilih.
Maka, meski hasil survei (entah abal-abalan atau sungguhan) memperlihatkan Jokowi masih unggul dan Prabowo kalah, tetapi mungkin saja hasil akan berubah jika Jokowi keliru memancing dan menabur isu politik dan Prabowo justru cekatan memantulkan isu di lapisan bawah.
Intinya makin dekat hari pemilihan, harusnya kian dekat pula isu yang sensitif dengan kepentingan mayoritas rakyat pemilih.
Ancaman di balik produksi isu, tentu ada. Terasa sangat kencang di hari-hari ini. Yaitu hokas dan refreshing isu-isu sentimen agama. Isu sentimen agama ini tidak tampak kuat di level permukaan, tetapi mengalir deras di level jalan sunyi. Begitulah sekadar catatan.