Kupang, Vox NTT-Beberapa media online edisi Kamis 25 Juni 2019 membuat berita berjudul “Bupati Kamelus Larang Wartawan Beritakan Dirinya di Sidang Money Politic”.
Bupati Manggarai, Kamelus Deno memang pada hari itu memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang tindak pidana money politic dalam pileg 17 April 2019 yang melibatkan kader PAN Manggarai.
Bupati Deno tidak mau difoto, tidak mau memberi keterangan dan bahkan melarang wartawan memberitakan dirinya jadi saksi dalam sidang tersebut.
Ketegangan sempat terjadi ketika sidang lanjutan pada sore berakhir. Saat itu para wartawan mengabadikan momen Deno Kamelus hendak meninggalkan ruang sidang.
“Jangan muat foto saya. Saya katakan, jangan muat foto saya.” kata Deno dilansir mediaindonesia.com.
Deno juga melarang wartawan untuk meliput dirinya.
“Off the record ya. Jangan foto saya. Saya punya hak,” tegasnya.
Wartawan kata Deno, tak berhak me-record persidangan di pengadilan.
“Yang me-record semua proses itu pengadilan, bukan wartawan. Hak saya untuk menyatakan tidak boleh,” ujarnya ketika dikerumuni wartawan.
Pernyataan Deno tersebut sontak menuai sorotan terutama di berbagai grup WA dan Facebook.
Salah satunya datang dari praktisi hukum asal Manggarai, Edi Danggur.
“Bisa jadi, Bupati tidak menghadiri sidang itu sejak awal. Sebab saat membuka sidang, hakim akan memulai dengan mengetuk palu sambil mengucapkan bahwa sidang ini dinyatakan terbuka untuk umum,” terang Edi kepada VoxNtt.com, Rabu (26/06/2019).
Rasionalitas Persidangan Terbuka Untuk Umum
Edi menjelaskan, persidangan perkara pidana maupun perdata bersifat terbuka untuk umum. Semua orang yang pernah belajar ilmu hukum, pasti tahu hal itu.
Setiap kali hakim mengetuk palu tanda dimulainya sidang hakim selalu mengucapkan kata-kata ini: Persidangan ini saya nyatakan terbuka untuk umum.
Maka pintu masuk ruang sidang pun dibuka sejak awal sampai selesainya sidang. Masyarakat umum termasuk wartawan boleh hadir, menyaksikan, mendengar, merekam dan mewartakan hasil sidang ke media massa.
Terbuka untuk umumnya persidangan perkara, jelas Edi, untuk menjamin objektivitas dalam pemeriksaan perkara itu dan sekaligus menjamin terlaksananya asas equality before the law atau kesamaan kedudukan di depan hukum.
Hakim kata dia, harus mempertanggungjawabkan objektivitas peradilan kepada masyarakat. Bagi masyarakat yang tidak hadir di persidangan bisa membaca melalui media massa yang ditulis oleh para wartawan.
“Masyarakat boleh menyaksikan apakah palu hakim tumpul ke atas (pejabat) tetapi tajam ke bawah (rakyat kecil). Apakah hakim itu bersikap kasar terhadap burung merpati tetapi bersikap sangat lembut terhadap burung gagak. Apakah timbangan keadilan hakim itu berat sebelah atau pilih kasih. Masyarakat ingin memastikan bahwa di pengadilan semua orang diperlakukan sama tanpa ada yang dibeda-bedakan, ada kejujuran dalam pemeriksaan dan tidak memihak (imparsial),” jelas eks pengacara Ahok ini.
Dijelaskan Edi, persidangan yang bersifat terbuka untuk umum itu sifatnya imperatif, artinya tidak tergantung pada permintaan pejabat, atau tidak tergantung pada permintaan jaksa, terdakwa, pengacara , saksi-saksi. Dengan begitu terbuka kontrol atau pengawasan dari masyarakat.
Bahkan kalau terbukti hakim membuka sidang dengan pintu tertutup atau melaksanakan sidang di ruang hakim, maka putusan dalam perkara itu dianggap tidak, batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada.
Lanjut Edi, hanya perkara perceraian atau perzinahan saja yang dilakukan dengan pintu tertutup.
“Bisa dimengerti karena ada hal-hal bersifat sangat pribadi yang hanya bisa diungkap dalam sidang dan masyarakat luas tidak perlu tahu,” terangnya.
Apa Dasar Hukumnya?
Terkait landasan hukum, prinsip persidangan yang terbuka untuk umum itu merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 19 menegaskan: “Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum”.
Pada Pasal 20 ditegaskan juga: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
Masyarakat, demikian penjelasan Edi, mempunyai hak konstitusional atas pelaksanaan persidangan yang terbuka untuk umum guna menjamin pelaksanaan kepastian hukum yang adil serta pelakuan yang sama di depan hukum (Vide Pasal 28D ayat 1 UUD 1945) dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil (Vide Pasal 7 TAP MPR No.XVII/MPR/1998).
Selain itu, pengadilan wajib mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Vide Pasal 5 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009).
“Maka jangan hanya karena seseorang mempunyai jabatan politik di pemerintahan lantas ia dapat perlakukan khusus untuk tidak diperiksa dalam sidang,” tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya ini.
Dalam konteks perkara politik uang, lanjut Edi, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui apakah tindak pidana money politic di Manggarai telah diperiksa oleh hakim yang jujur dan adil melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaaan yang objektif. Sebab hanya dengan pemeriksaan yang objektif, akan dapat diperoleh putusan yang adil dan benar (Vide Pasal 17 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Irvan K