Oleh: Pius Rengka*
Saya bukan ahli sastra, itu sangat jelas. Tetapi, saya pembaca karya sastra itu pasti. Kisah Timor Leste, tentu saja, juga tentang Timor, tak hanya sebatas peta geografis.
Menafsir Felix K. Nesi, penulis Novel Orang-Orang Oetimu, juga begitu. Dia, tak hanya boleh diihat dari potongan tubuhnya. Apalagi jahitannya, agak amburadul, tentu saja dalam perspektif orang suka pakaian necis.
Felix, seorang pria. Perihal kepriaannya itu, belum tuntas bukti. Tetapi pikirannya, sepertinya sedang terbang ke mana-mana meski menjaga focus, kadang sulit dijangkau, melampaui cakrawala kepala biasa melintasi samudra nan biru membisu. Tulisannya sungguh berbisa.
Perkenalan dengan saya, sesungguhnya, tak begitu lama. Tetapi dia pernah menginap di rumah saya semalam. Meski seluruh waktu tidurnya tak selalu diisi dengan ngantuk seluruhnya. Dia sibuk membongkar dan membuka buku-buku di perpustakaan pribadi saya, terutama buku-buku karya sastra dari pengarang kelas dunia, lalu berkomentar sepotong-sepotong tetapi langsung ke isi dan kena. “Buku ini baik. Karya sastra yang luar biasa,” begitu saja ucapnya manakala ditemukannya buku sastra di rumah saya.
Lalu dilepasnya buku itu, tanpa dikembalikan ke tempat dari mana dia mengambil itu buku. Pagi-pagi selepas dia pergi, saya mesti sibuk menata ulang buku yang sudah diobrak-abrik Felix K. Nesi. Komentar istri saya, Rossy, tentangya simple.
“Bapa punya teman-teman ini banyak yang ganjil ya,” kata Rossy sekali waktu, lantaran Felix K. Nesi tanpa sungkan berkata: “Ini nasi dan lauk lumayan enak ya, tolong simpan ya untuk saya karena nanti malam saya mau makan lagi,” katanya tanpa peduli kepada siapa ucapan itu dialamatkan.
Pokoknya Felix K. Nesi, memang unik, khas, nyentrik, dan cemerlang.
Dia anak kos di bilangan Maulafa. Rumah kostnya saya tidak tahu pasti, karena sepertinya dia enggan menunjukkannya kepada saya, kecuali bertemu dan melepasnya di mulut gang tempat di mana dan dari mana dia bergerak. Dia hanya menunjuk umum saja ke arah utara letak kostnya.
Dia pun setia mencari majalah Serba Serbi Negeri Belanda yang saya suka, karena selalu di dalamnya ada cerpen pengarang Belanda yang diterjemahkan HB Jassin.
Sudah pernah saya dengar dari Gege. Kata Gege (George Hormat), “Jangan main-main melihat potongan Felix Nesi. Itu sastrawan kelas berat NTT”.
Mulanya, awasan Gege itu saya rasa biasa-biasa saja, lantaran saya sudah amat sering bertemu sastrawan, seniman, filosof, dan aneka ilmuwan yang saya jumpa dalam lintas pergaulanku di mana-mana dan ke mana-mana.
Misalnya, cendekian Ronald Witoon, dari Ilmu Politik Australian National University, pernah sangat dekat dengan saya tatkala saya study di UGM dan dia mengajar di Fisipol UGM dulu. Bahkan saya pernah menulis hasil wawancaranya di harian berwarna pertama di Indonesia, harian umum Prioritas, milik Surya Palloh.
Linus Suryadi juga begitu. Umar Kayam demikian juga. Emha Ainun Najib, sering kudengar suaranya entah saat dia membaca puisi-puisinya di Balairung UGM atau menontonnya melalui Youtube perihal petuahnya di komunitas Padang Bulan, dan terakhir saya pernah mengantar WS Rendra ke Ruteng saat dia ikut membawa batu nisan Dami N Toda yang meninggal di Jerman.
Juga pernah memoderatori ceramah Gerson Poyk, sastrawan kelas wahid milik NTT. Bahkan Julius Syaranamual, pernah melatih kami menulis deskriptif. Jadi, ketika kisah tentang Felix K. Nesi dari penulis kelas berat seperti Gege, ya saya rasa biasa-biasa saja. Lumrah beri kabar kepada sesama warga.
Namun, saya sungguh terperangah luar biasa. Hal itu terjadi ketika saya membaca Novel karya Felix K. Nesi berjudul Orang-Orang Oetimu. Saya awalnya membaca dengan sedikit rasa sungkan, tetapi kemudian berubah heran, marah, tetapi dari sana pun saya peroleh historiografi Timor dan kelakuan manusianya yang diungkap ritmis, indah, deskriptif.
Saya pun kembali mengenang tentang awasan, sekaligus memancarkan pujian Gege, terbukti betul. Ini Memang mahluk dekil luar biasa, yang tulisannya indah, deskriptif, dalam dan detail, tetap sanggup mengungkap dunia dalam, dan membawa saya seolah terlibat dalam seluruh rangkaian peristiwa. Kadang saya dibuat agak nafsu, merangsang, tetapi juga kadang membakar naluri kebinatangan saya marah, dengki dan gusar campur baur jadi satu, yang kemudian membuat saya gelisah.
Felix K. Nesi, entah apa K itu, saya juga belum peduli. Novel karya Felix K. Nesi, bukan sekadar patut dibaca, malah saya mendorong semua pihak agar Novel Orang-Orang Oetimu ini wajib dibaca.
Novel itu wajib dibaca, tak hanya, karena itu Novel yang mengungguli sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018, tetapi lantaran isinya yang sangat membuka tabir. Sebagaimana umumnya tabir, bagian luar berkesan damai, biasa-biasa saja.
Pada Novel ini terus menegaskan apa yang dikatakan Max Weber, bahwa dunia tak sebagaimana tampaknya. Dunia tak selalu indah pada rupa luarnya.
Dari Novel ini, air mata dapat dikuras habis, tetapi membakar rasa dengki, jengkel, sekaligus menampakkan kemunafikan common sense manusia. Penjajahan, kolonialisasi dan kolonialisme dicampur aduk dengan politik kekuasaan, kebejatan moral, seks tak terbelenggu, semua diungkap seperti sebuah kisah dengan detilnya yang sangat dekaden.
Bermula dari tahun 1988. Itu bukan sekadar perikop waktu, atau sejenisnya. Tetapi, itu sebuah tanda tentang nasib sejarah dimulai diungkap, terutama masa silam, aktual dan kemungkinan masa depan yang diungkap secara telanjang, dan bacaannya enak dibaca tetapi, sungguh mati, padat isi.
Dari situ kemudian saya percaya, bahwa penilaian Dewan Kesenian Jakarta atas Novel Orang-Orang Oetimu, karya Felix K. Nesi, memang pantas dan layak diberi pangkat terhormat.
Pria ceking gondrong gak karuan itu kelahiran Nesam-Insana, Kabupaten Timor Tengah Selatan itu, tamat Seminari Lalian. Mungkin sungkan menjadi pastor, dia lalu merantau mencari detak ilmu psikologi di Universitas Merdeka Malang.
Bukan malah dia menekuni urusan psikologi dan jiwa-jiwa kembara anak manusia dalam perantauannya di alam nan fana ini, tetapi dia menukik mencari dengan kerinduan untuk menemukan postur nasib manusia di Oetimu.
Kisah isi Novel ini, tak perlu saya ungkap, agar membiarkan pembaca diajak untuk menjadi pengelana dalam novel yang indah ini.
Setting ceritera, saya duga, bukan fiksi. Itu fakta yang menemukan media publikasinya dengan metode menulis Novel. Entah pula nama-nama orang yang terlibat sebagai tokoh dalam kisah itu, entah disamarkan atau sesungguhnya, kita tak perlu pusing.
Yang paling kita bahas ialah betapa nasib sejarah kolonialisasi atas manusia Timor digerus nasib sejarah manusia biasa, tentang orang-orang ekonomi sangat biasa, juga dengan imajinasi yang sangat biasa-biasa saja. Yang mencengangkan justru perslingkuhan politik, sejarah, setting politik internasional, dan fantasi seks yang luar biasa entah laki maupun perempuan.
Kata-kata makian pun, diungkapkan lugas, ditulis lurus, tanpa harus dihaluskan dengan metafora. Seperti kata, pukimai, misalnya.
Justru kekuatan Novel ini tidak hanya pada setting, plot dan konteks histori dan politik internasional campur aduk dengan politik lokal nasional serta tradisi, maka Novel Orang-Orang Oetimu adalah Novel yang, tak hanya patut dibaca, tetapi wajib dibaca.
Dibaca oleh siapa, dan mulai dari mana. Dalam pandangan saya, Novel ini, layak diajarkan di sekolah setingkat SLTA untuk pelajaran sastra, dan juga di kalangan perguruan tinggi khusus di fakultas sastra, tetapi juga untuk khalayak yang tak hanya mencintai Novel dan sastra kelas berat, juga sebagai pemikir dan penelusur serius tentang ilmu makna. Terutama, politik kolonial dan derita anak manusia. Selamat membaca, karena itu Novel penting dan berguna.
*Penulis adalah jurnalis senior NTT, pemimpin umum VoxNtt.com