Vox NTT- Rencana penambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, NTT terus menuai sorotan berbagai pihak.
Kali ini giliran Persatuan Mahasiswa Manggarai Samarinda (PMMS) yang angkat bicara dan menyampaikan kritikan.
Ketua PMMS Dion Gohem menilai rencana kehadiran pertambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen tersebut bakal mencabut akar budaya dan relasi sosial masyarakat setempat.
“Kami melihat secara sosial budaya masyarakat akan kehilangan identitas budayanya yang berhubungan dengan prinsip hidup orang Manggarai,” ujarnya dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (06/06/2020).
Menurut dia, rencana ini tentu saja tidak seperti yang dijanjikan Bupati Matim Agas Andreas saat kampanye Pilkada kali lalu.
Rencana penambangan ini juga tidak sesuai dengan visi-misi Pemkab Matim, terutama terkait budaya.
Bupati Agas juga dinilai Dion, telah mengabaikan Perda Matim Nomor 1 tahun 2018 tentang perlindungan, pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
“Artinya secara langsung Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dengan sengaja berusaha menghapus jejak-jejak budaya orang Manggarai, khususnya masyarakat di Luwuk dan Lingko Lolok dan tidak seperti yang dijanji-janjikan Bupati Manggarai Timur pada saat masa kampanye Pilkada 2018 lalu,” tegas Dion.
Padahal menurut dia, kearifan budaya lokal sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas.
Kearifan budaya tentu untuk membantu manusia dalam menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Masyarakat seperti petani biasanya memperoleh pengalaman sebagaimana diwariskan secara turun temurun.
“Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber daya alam dan bagaimana saling berinteraksi akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam,” tandasnya.
Kerusakan Ekologi
Tak hanya soal budaya, Dion juga menilai kehadiran pertambangan bakal menyebabkan kerusakan ekosistem lingkungan.
“Akibat perbuatan manusia yang berperilaku sifat buruknya terhadap alam, egoisme, keserakahan, kurang tanggung jawab dan kurangnya kepedulian untuk menjaga alam tetap dilestarikan,” pungkas Dion.
Ia menjelaskan, pesatnya pembangunan di berbagai negara, berdampak negatif pada ekologi. Dalam hal ini bumi yang menjadi tempat bernaung seluruh warga dunia.
Pilihan pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif, ternyata mendorong dengan cepat kenaikan suhu planet bumi yang mencapai 1,5 derajat celsius pada 2018, berdasarkan catatan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Penyebab utama deforestasi mangrove adalah ekspansi proyek reklamasi di seluruh pesisir Indonesia. Termasuk wacana pembangunan pertambangan di Luwuk dan Lingko Lolok Matim sebagai gerakan ekspansi para kapitalis ke bidang sektor pertanian. Upaya itu tentu saja bakal menyebabkan hilangnya mata pencaharian penduduk lokal.
“Pemerintah harus mengevaluasi seluruh proyek ini,” pinta Dion.
Ia menambahkan, masalah lingkungan mulai ramai dibicarakan sejak diselenggarakannya konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tanggal 15 Juni 1972.
Di Indonesia, tonggak sejarah masalah lingkungan hidup dimulai dengan diselenggarakannya seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Pajajaran Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972.
Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia (laju pertumbuhan penduduk).
Pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan tantangan yang dicoba diatasi dengan pembangunan dan industrialisasi.
Namun sayangnya, jelas Dion, industrialisasi tidak hanya mempercepat persediaan segala kebutuhan hidup manusia. Tetapi memberi dampak negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
“Artinya isu lingkungan bukanlah isu baru dalam hidup bermasyarakat, namun tidak sedkit tanda tanya yang bermunculan dalam masyarakat untuk merespon isu-isu tersebut,” jelas Dion.
Rencana kehadiran investor untuk pembangunan ekskratif berupa penambangan batu gamping dan pabrik semen di Matim tentu bakal menuai persoalan.
Apalagi dalam rencananya, sebut Dion, bakal merelokasikan kampung sebagai tempat naungan masyarakat Lingko Lolok.
Ia menyatakan, kehadiran perusahaan ekstraktif pabrik semen tidak akan menjawab semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Matim.
Malah semakin memperparah keadaan ekologis dan masalah lingkungan, serta budaya warga setempat.
“Banyaknya pabrik yang dibangun saat ini bukan hanya memberikan sumber pendapatan bagi masyarakat sekitarnya, namun pabrik semen juga bisa mempengaruhi lingkungan sekitarnya,” imbuhnya.
Alasan mendirikan pabrik semen untuk memberikan kesempatan kerja bagi penduduk, meningkatkan pendapatan daerah dan kemajuan ekonomi masyarakat Matim.
Meski begitu, Dion menilai alasan itu kurang tepat karena akan menimbulkan masalah lain seperti karusakan alam, kultur sosial atau kearifan lokal dan lingkungan yang lebih serius ke depannya.
Kehadiran pabrik semen malah akan meningkatkan jumlah pendatang dari daerah lain. Mereka akan datang mengambil bagian atas potensi rembesan manfaat ekonomis dari pabrik tersebut.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi persaingan yang kemungkinan besar akan dimenangkan oleh para pendatang.
Sebab mereka memiliki keahlian, keuletan dan modal dibandingkan dengan penduduk lokal yang selama ini adalah petani.
Dia melanjutkan, jika aktivitas pertambangan akan dibiarkan, maka bisa berakibat pada sektor kesehatan penduduk di sekitarnya.
Menurut Dion, keadaan lingkungan yang kurang baik, lama-lama akan menimbulkan masalah bagi penduduk yang ada di sekitar seperti wabah penyakit dan kerusakan ekosistem.
Hal tersebut akan memicu terjadinya konflik antara penduduk setempat dengan pihak investor ataupun perusahaan.
Dikatakan, jika aktivitas pertambangan dijalankan, maka rakyat Matim akan mengalami nasib yang sama seperti di berbagai daerah Indonesia yang ada pembangunan ekstratif.
“Lebih khususnya kami melihat di Kalimantan Timur, di mana dilakukan eksploitasi secara besar-besaran. Setelah selesai mengeruk kekayaan alamnya, investor lalu meninggalkan jejak buruk yang sangat mendalam atas kerusakan dan berantakan ekologi alam, bahkan banyak nyawa melayang akibat tenggelam dalam kolam bekas tambang kemudian masyarakat tetap miskin,” kata Dion mencontohkan.
Artinya, lanjut dia, tak menutup kemungkinan masyarakat bisa mengalami nasib serupa, apabila perusahaan pabrik semen beroperasi di Matim.
Kata dia, kehadiran perusahaan tidak membawa dampak perubahan signifikan bagi masyarakat setempat, kecuali menerima konsekwensi yang berkepanjangan.
“Kami berharap masyarakat Manggarai Timur jangan terlalu tergiur dengan janji-janji manis investor, sebab masyarakat hanya menikmati sementara waktu, namun akan menimbulkan dampak yang sangat dahsyat ke depannya,” pinta Dion.
Penulis: Sandy Hayon