Jakarta, VoxNTT – Perkembangan teknologi, telah mempengaruhi kegiatan jurnalistik secara signifikan. Namun kebutuhan modal untuk teknologi tidak murah, sehingga hanya media besar yang memiliki kesempatan untuk memenangkan kompetisi.
Berkembangnya teknologi digital menuntut media masaa berani melakukan berbagai inovasi, bereksperimen dalam mencari model bisnis yang tepat, serta melakukan transformasi digital, untuk menciptakan sumber pendapatan demi keberlangsungan bisnis media.
Hal tersebut menuntut media untuk mengetahui kebutuhan pasar, dengan memproduksi dan mempublikasi berita sesuai target pasar dan platform media yang sesuai.
Persoalan itu menjadi bahasan dalam diskusi Webinar Independent Media Accelerator, dengan tema ‘Bisnis Media di Masa Depan’ pada Jumat (11/02/2022).
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini, Bonifasius Wahyu Pudjianto Direktur Pemberdayaan Informatika Kominfo, Rahayu Ketua Program Studi Magister Departemen Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Evi Mariani Direktur Eksekutif Project Multatuli, serta Ivan Tanggono News Partner Manager Google Indonesia.
Hadir sebagai penanggap Suwarjono, Pimpinan Redaksi Suara.com dan Qaris Tajudin Direktur Tempo Institute.
Direktur Eksekutif Project Multatuliv Evi Mariani mengatakan, tidak ada satu model bisnis yang bisa diterapkan untuk semua media massa.
“Di Project Multatuli, kuncinya adalah diversifikasi pendapatan. Model bisnis kami adalah hibah, menjual jasa konten, serta mengembangkan audience revenue melalui subscriber, donasi, membership,” kata Evi dalam webinar tersebut.
Menurutnya, membership bukan hanya soal berlangganan dan mendapat uang. Untuk memilih jalan tersebut, maka cara kerja redaksi Multatulib erubah.
Sehingga ruang redaksi dengan produk jurnalistiknya tidak merasa benar sendiri.Tetapi harus bisa berinteraksi dengan pembaca serta mengetahui apa yang ingin diketahui pembaca.
Inisiatif yang dilakukan adalah dengan membuat program subscriber ‘Kawan M’ dan awalnya memperoleh 547 subscriber.
Dengan membayar sekitar Rp20 ribu setiap bulan, maka medianya hanya memperoleh pendapatan Rp23 juta setiap bulan, dan itu cukup untuk biaya operasional media dengan staf yang tidak banyak.
Evi menambahkan, sebenarnya masyarakat ingin membaca berita berkualitas. Namun media online yang ada telah terjebak dengan sistem rating yang mengandalkan clickbait, membuat pembaca seringkali hanya disajikan “informasi sampah”.
Menurutnya, kolaborasi juga menjadi model bisnis yang tepat untuk medianya saat ini. Berkolaborasi dengan beragam media yang mempunyai ide dan semangat yang sama, akan menciptakan ekosistem informasi yang demokratis.
Kolaborasi juga memperkecil dampak risiko pemberitaan terutama berita investigatif. Seperti yang dilakukan pada liputan Indonesia Leak yang berkolaborasi untuk liputan sensitif.
Pemimpin redaksi Suara.com Suwarjono mengatakan, setiap media memiliki model bisnis masing-masing yang sesuai dengan target pasar dan pembacanya.
Dari 15 model bisnis media yang diterapkan perusahaannya, model bisnis subscriber atau berlangganan tidak bisa diterapkan.Sementara media besar lain bisa sukses menerapkannya.
“Banyak peluang kita untuk bereksprimen mencari model bisnis media yang sesuai. Ada 200 media di Indonesia yang menerapkan beragam model bisnis. Semua media akan memilih model bisnisnya yang sesuai,” kata dia.
Sebagian media bahkan usahanya tidak di media sendiri untuk menopang keberlanjutan media, tapi memilik usaha lain.
Menurutnya, ada 4 peran media, yaitu media sebagai ekosistem yang masih mengandalkan publisher news sebagai model bisnis. Media yang bermain sebagai content provider, namun kendalinya tetap dipegang oleh platform global.
Beberapa media di daerah, tidak hanya mengandalkan iklan, tetapi berbisnis bunga papan, bisnis agensi ataupun bisnis data.
“Kekurangan publisher adalah teknologi. Jika bisa bangun teknologi dan monetisasi sendiri, sehingga ini menjadi PR bersama,” kata Suwarjono.
Ketua Program Studi Magister Departemen Komunikasi Universitas Gadjah Mada Rahayu menjelaskan, selama ini bisnis media di Indonesia. Menurut dia, kekurangan publisher adalah teknologi.
“Jika bisa bangun teknologi dan monetisasi sendiri, sehingga ini menjadi PR bersama,” katanya.
Rahayu menjelaskan, selama ini bisnis media di Indonesia terperangkap pada satu paradigma, bahwa berita disajikan secara gratis kepada pembaca.
Menurutnya, publik sudah mengetahui informasi apa yang mereka inginkan. Sehingga media massa perlu mengetahui kebutuhan pembaca dan menggunakan teknologi digital untuk membangun kepercayaan publik dengan informasi berkualitas.
“Basisnya adalah komunitas, dan mengetahui siapa yang dilayani. Kemudian engangement community,” kata Rahayu.
Saat ini teknologi baru memanjakan konsumen dengan selera individual, sehingga media harus menggunakan medium dan target pasar yang tepat dalam menyajikan sebuah konten.
“Paradigma itu harus berubah. Sebenarnya institusi media bukan dicirikan oleh core bisnis news, tetapi layanan institusi media pada akhirnya mempunyai ciri khas, yaitu bersifat lokal dan segmented. Ke depan model bisnis kita sifatnya partisipatori,” kata Rahayu.
Sedangkan menurut Ivan Tanggono, ada 5 hal yang perlu diperhatikan agar media sukses di era digital, yakni understand audience atau tahu behaviour pembacanya dan menyajikan konten yang sesuai, Inhance journalism, menulis berita tradisional dan digital itu berbeda.
Lalu expands distributions, di mana dan chanel apa yang bisa digunakan mendistribusikan konten: web, atau media sosial. Serta bagaimana cara mendapat pendapatan atau revenue.
Sementara Bonifasius mengatakan transformasi digital merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan.
Penyebabnya, karena tuntutan adanya pandemi. Serta adanya perubahan culture yang disebabkan oleh new normal.
Sehingga dalam pola kehidupan dan pola usaha juga berubah. Makanya pemerintah menetapkan program nasional transformasi digital, sebagai akselerasi perubahan tersebut.
“Sehingga bisnis media jangan hanya mengutamakan bisnis konvensional tetapi juga harus berubah, memanfaatkan teknologi digital secara maksimal,” terangnya.
Tentang Independent Media Accelerator
Independent Media Accelerator merupakan upaya Tempo Institute bersama sejumlah lembaga, untuk mengakselerasi media media massa agar mampu bersaing di tengar era disrupsi digital saat ini.
Ada tiga hal yang ingin diakselerasikan yaitu, kualitas jurnalisme, transformasi digital, dan mencari model bisnis baru.
Kolaborator kegiatan ini adalah Independent Media Accelerator Tempo Institute, Kominfo, Google, AJI Indonesia, AMSI dan Visi Integritas.
Kegiatan yang dilakukan di antaranya serial webinar, training media dan fellowship.
Penulis: Marcel Manek
Editor: Ardy Abba